Perlindungan
terhadap profesi guru sendiri sudah diakui dalam PP Nomor 74 Tahun 2008. Dalam
PP itu, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Dalam
mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan
kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru
juga tidak hanya berwenang memberikan penghargaan terhadap siswanya, tetapi
juga memberikan punishment kepada siswanya tersebut.
"Guru
memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar
norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak
tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan
peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah
kewenangannya," bunyi Pasal 39 ayat 1.
Dalam
ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan,
baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan
kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Pasal
40 menyebutkan "Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas
dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah
daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai
dengan kewenangan masing-masing".
Rasa
aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan
hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja.
"Guru
berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan
diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik,
orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain," tegas
Pasal 41.
Oleh
karena itu, jika guru diproses hukum dengan UU Perlindungan Anak karena sedang
menjalankan tugas profesinya -- mendidik dan mendisiplinkan siswa--, apa
jadinya generasi bangsa Indonesia nantinya?
Bagaimana kacamata pidana memandang saat seorang guru di Makassar dipukuli oleh
orang tua siswa karena . orang tua tidak terima anaknya didisiplinkan guru.?
Kasus
pemukulan orang tua siswa kepada guru terjadi di Makasar pada Rabu (10/82016)
pagi. Adnan marah dan datang ke sekolah karena anaknya AS ditampar. Dia
langsung memukul Dasrul, sebelum akhirnya dilerai. Dasrul yang kini dirawat
mengaku menampar AS, karena siswa itu mengumpat dengan kata-kata kotor saat
ditegur ketika tidak mengerjakan PR. Belakangan diketahui, ternyata Adnan
merupakan mantan murid Dasrul.
Bupati
Batang Yoyok Riyo Sudibyo di sela diskusi revolusi mental di Jakarta, Sabtu
(13/8/2016), mengatakan kasus itu harus diurus secara hukum. Menurut dia,
mencegah kasus serupa terjadi di Batang, "Menanamkan nilai-nilai agama
sedini mungkin. Jadi tidak akan ada kasus seperti itu. Saya sendiri yang
tanganin,” tambah bupati peraih Bung Hatta Award itu.
Guru
Dasrul masih dirawat di rumah sakit, sedangkan Adnan dan anaknya AS sudah
menjadi tersangka dan ditahan.
Aop
Saopudin guru SD di Majalengka, Jawa Barat, 'diseret' ke pengadilan atas nama
perlakuan diskriminatif terhadap anak. Selain itu, Aop juga dinilai menganiaya
dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada siswanya.
Kasus
bermula saat guru honorer SDN Penjalin Kidul V itu melakukan razia rambut
gondrong di kelas III pada 19 Maret 2012. Dalam razia itu, didapati 4 siswa
yang berambut gondrong yaitu AN, M, MR dan THS. Mendapati rambut gondrong ini,
Aop lalu melakukan tindakan disiplin dengan memotong rambut THS ala kadarnya.
Sepulang sekolah, orang tua THS Iwan Himawan tidak terima dan mendatangi
sekolahan. Iwan marah-marah dan mengancam balik Aop. Sang guru lalu dicukur
balik rambutnya oleh Iwan sebagai balasan. Tidak hanya sampai di situ, Iwan
juga mempolisikan Aop.
Teman-teman
Aop tidak terima dan mempolisikan balik Iwan. Iwan harus bolak-balik ke kantor
polisi dan kejaksaan. Sampai akhirnya, sang Guru, Iwan harus duduk di kursi
pesakitan menghadap meja majelis hakim dengan pasal berlapis: diskriminasi
terhadap anak, penganiayaan terhadap anak dan perbuatan tidak menyenangkan. Meski
sempat didemo para guru, polisi dan jaksa tetap melimpahkan kasus Aop ke
pengadilan. Aop dikenakan pasal berlapis, yaitu:
1.
Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap
anak. Pasal itu berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan
diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik
materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.
2.
Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak.
3.
Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.
Apakah
makna diskriminasi? Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak di atas merupakan
turunan dari Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
Berdasarkan
UU No 39/1999 tentang HAM, diskriminasi diartikan sebagai: Diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Ketentuan
mengenai larangan diskriminasi di atas juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang
telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 (LN
RI Tahun 2005 Nomor 119, TLN RI Nomor 4558). Article 2 ICCPR berbunyi:
Each State
Party to the present Covenant undertakes to respect and ensure to all
individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights
recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as
race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or
social origin, property, birth or other status.
(Setiap
Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan memastikan kepada
semua individu di dalam wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksinya hak-hak yang
diakui dalam Kovenan ini, tanpa perbedaan dalam bentuk apa pun, seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal
kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya).
Apakah
benar, Aop telah melakukan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik terhadap anak didiknya?
Di
kasus Aop, ia merazia empat siswa yaitu AN, M, MR dan THS. Dari keempatnya,
potongan rambut yang dilakukan Aop berbeda-beda bagi tiap siswanya. Lalu apakah
akibat perbuatan Aop, si anak Iwan mengalami pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya?
Dalam
pasal 3 ayat 3 UU HAM disebutkan: Setiap orang berhak atas perlindungan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Lalu,
apakah anak Iwan telah terlanggar kebebasan dasarnya yaitu berambut gondrong?
Apakah aturan larangan berambut gondrong di sekolah melanggar HAM?
Adapun
Pasal 17 UU HAM diarahkan kepada proses di peradilan yaitu: Setiap orang, tanpa
diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan,
pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi
serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang
jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Bagi
polisi dan jaksa, jawabannya adalah iya, anak Iwan telah mengalami diskriminasi
sebagaimana diartikan oleh UU HAM di atas. Polisi dan jaksa mendasarkan pada
kesaksian ahli pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto,
Dr Noor Aziz Zaid. Dalam keterangannya, Noor Aziz menyatakan perbuatan
menggunting rambut yang satu dibedakan dengan yang lain, bagaimana pun juga
akibat diskriminasi dan dilihat dari jiwa anak usia 8 tahun dan menimbulkan
efek negatif secara psikologis anak. Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal
percobaan oleh PN Majalengka dan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.
Tapi
oleh MA, hukuman itu dianulir dan menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop. Putusan
yang diketok pada 6 Mei 2014 itu diadili oleh ketua majelis hakim Dr Salman
Luthan dengan anggota Dr Syarifuddin dan Dr Margono. Ketiga
Majelis Hakim membebaskan Aop karena sebagai guru Aop mempunyai tugas untuk
mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang/gondrong untuk menertibkan
para siswa. Pertimbangannya adalah: Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah
menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak
dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan
untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.
Berdasarkan
yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang dikutip dari website MA, Jumat
(12/8/2016), guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan
tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Hal itu diputuskan saat mengadili guru
dari Majalengka, Jawa Barat, SD Aop Saopudin (31).
Bagaimana
dengan Iwan? Ia awalnya juga dihukum percobaan di tingkat pertama. Tapi oleh
Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, majelis hakim mencoret hukuman percobaan dan
menjatuhkan pidana penjara kepada Iwan selama tiga bulan. Hukuman kepada Iwan
lalu dikuatkan di tingkat kasasi.
Peran
Kemendikbud dan Sekolah
Pemerhati
anak Seto Mulyadi yang juga Ketua Umum Lembaga Pendidikan Anak Indonesia (LPAI)
(detikcom, Jumat, 12/8/2016) meminta guru, orang tua dan siswa duduk bersama
membahas aturan dan sanksi. Kekerasan di dunia pendidikan harus dihentikan
"Pertama
di lingkungan sekolah, guru harus sadar pada dasarnya semua anak itu baik,
sehingga tidak harus mengajar dengan kekerasan dan agar tidak terjadi kembali
kekerasan baik guru ke siswa, siswa ke guru atau bahkan orang tua kepada guru. Siswa,
orang tua siswa, guru dan sekolah duduk bersama membuat aturan serta komitmen
bersama bagaimana cara memberikan sanksi, itu akan membuat lingkungan sekolah
menjadi demokratis dan tidak otoriter. Dengan adanya satu forum bersama antara
guru, siswa dan orang tua akan menciptakan sebuah aturan bersama, di mana
nantinya wajib diikuti oleh semua pihak. Hal ini pula yang akan menciptakan
kedisiplinan pribadi di lingkungan sekolah. Isinya bagaimana sanksinya bila apa
dan harus apa dia mendapatkan sansksinya. Jadi bila ada hukuman yang diberikan
itu sudah berdasarkan komitmen yang dibuat, sehingga siswa akan sadar dan
disiplin aturan, di mana itu adalah aturan yang ditetapkan bersama. Tentunya
kalau guru juga berbuat salah dia juga harus kena sanksi karena melanggar
sehingga bisa memberikan contoh yang baik.
Selain
itu Kak Seto mengatakan, hal utama yang harus dibenahi dalam sistem pengajaran
Indonesia adalah peningkatan kualitas guru. Menurutnya metode pengajaran 'zaman
dulu' sudah tak cocok lagi diterapkan untuk mengajar para siswa. Pendidikan
yang paling pas menurutnya adalah menerapkan hubungan persahabatan antara guru
dengan siswa. "Sudah bukan zamannya kalau guru menerapkan cara-cara
kolonial di mana murid harus nurut dan hanya bisa diperintah guru, itu tentunya
akan membuat anak frustrasi. Guru juga harus memberikan pendidikan dengan cara
yang kreatif sehingga anak menjadi kreatif, caranya dengan menganggap mereka
sahabat dan menjalin persahabatan. kalau hanya menciptakan anak sebagai robot
dan harus menurut segala macam tentu anak itu akan meledak, apalagi di usia
remaja," jelasnya.
Kak
Seto juga meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memaksimalkan
media televisi sebagai sarana interaktif. Hal itu dilakukan agar kekerasan
dalam dunia pendidikan tidak kembali terulang. "Di sinilah peran
Kementerian Pendidikan juga harus mendidik guru sehingga memiliki karakter yang
baik, karena guru tidak hanya mengajar mata pelajaran saja, tapi guru juga
harus bisa mendidik karakter siswa-siswanya, dan untuk mendidik karakter
seorang guru juga harus memiliki karakter yang baik. Ini yang harusnya juga
diperhatikan Kementerian Pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa
memberikan saran interaktif kepada orang tua bagaimana pendidikan formal,
informal dan non-formal melalui sarana televisi. Kita tahu saat ini berapa
komposisi pendidikan di televisi yang sudah berisi berbagai acara, sedangkan
acara pendidikan hanya di bawah 1 persen dan ini yang masih kurang. Penyuluhan
di televisi ini bisa memberikan pandangan bagi orang tua bagaimana mendidik
anak di rumah, seperti dialog berdialog orang tua dengan anak, sehingga
bertangggung jawab bersama. Ini yang bisa dicoba Kementerian Pendidikan dengan
bekerja sama dengan Kemenkomifo, karena tidak hanya pendidikan tapi juga
kebudayaan juga bisa diajarkan secara langsung.”
Dinas
Pendidikan seharusmya memberikan pelatihan karakter kepada guru, sebelum
akhirnya ditempatkan di sekolah untuk mengajar. "Pemerintah bisa
memberikan pelatihan kepada para guru melalui Dinas Pendidikan. Karena apa,
saat saya tanya ke beberapa guru apa ada pelatihan pendidikan, dia jawab tidak
ada. Jadi karena metode belajarnya masih cara lama tentunya mereka juga akan mendidik
dengan cara yang sama, ini yang harusnya diperhatikan," jelas Kak Seto.
Apa
jadinya jika sangkaan polisi dan dakwaan jaksa terhadap seluruh guru di
Indonesia karena melakukan perbuatan tidak menyenangkan siswa, termasuk
membebani pekerjaan rumah (PR) misalnya, dikabulkan?
news.detik.com
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan