KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Thursday, 6 June 2019

GURU YANG MENDIDIK MURID MENJADI BAIK DAN DISIPLIN, TIDAK BISA DIPIDANA

Posted by   on Pinterest

Perlindungan terhadap profesi guru sendiri sudah diakui dalam PP Nomor 74 Tahun 2008. Dalam PP itu, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru juga tidak hanya berwenang memberikan penghargaan terhadap siswanya, tetapi juga memberikan punishment kepada siswanya tersebut.

"Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya," bunyi Pasal 39 ayat 1.

Dalam ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40 menyebutkan "Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing".
Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja.
"Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain," tegas Pasal 41.
Oleh karena itu, jika guru diproses hukum dengan UU Perlindungan Anak karena sedang menjalankan tugas profesinya -- mendidik dan mendisiplinkan siswa--, apa jadinya generasi bangsa Indonesia nantinya?      

Bagaimana kacamata pidana memandang saat seorang guru di Makassar dipukuli oleh orang tua siswa karena . orang tua tidak terima anaknya didisiplinkan guru.?

Kasus pemukulan orang tua siswa kepada guru terjadi di Makasar pada Rabu (10/82016) pagi. Adnan marah dan datang ke sekolah karena anaknya AS ditampar. Dia langsung memukul Dasrul, sebelum akhirnya dilerai. Dasrul yang kini dirawat mengaku menampar AS, karena siswa itu mengumpat dengan kata-kata kotor saat ditegur ketika tidak mengerjakan PR. Belakangan diketahui, ternyata Adnan merupakan mantan murid Dasrul.
Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo di sela diskusi revolusi mental di Jakarta, Sabtu (13/8/2016), mengatakan kasus itu harus diurus secara hukum. Menurut dia, mencegah kasus serupa terjadi di Batang, "Menanamkan nilai-nilai agama sedini mungkin. Jadi tidak akan ada kasus seperti itu. Saya sendiri yang tanganin,” tambah bupati peraih Bung Hatta Award itu.
Guru Dasrul masih dirawat di rumah sakit, sedangkan Adnan dan anaknya AS sudah menjadi tersangka dan ditahan.

Aop Saopudin guru SD di Majalengka, Jawa Barat, 'diseret' ke pengadilan atas nama perlakuan diskriminatif terhadap anak. Selain itu, Aop juga dinilai menganiaya dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada siswanya.
Kasus bermula saat guru honorer SDN Penjalin Kidul V itu melakukan razia rambut gondrong di kelas III pada 19 Maret 2012. Dalam razia itu, didapati 4 siswa yang berambut gondrong yaitu AN, M, MR dan THS. Mendapati rambut gondrong ini, Aop lalu melakukan tindakan disiplin dengan memotong rambut THS ala kadarnya. Sepulang sekolah, orang tua THS Iwan Himawan tidak terima dan mendatangi sekolahan. Iwan marah-marah dan mengancam balik Aop. Sang guru lalu dicukur balik rambutnya oleh Iwan sebagai balasan. Tidak hanya sampai di situ, Iwan juga mempolisikan Aop.

Teman-teman Aop tidak terima dan mempolisikan balik Iwan. Iwan harus bolak-balik ke kantor polisi dan kejaksaan. Sampai akhirnya, sang Guru, Iwan harus duduk di kursi pesakitan menghadap meja majelis hakim dengan pasal berlapis: diskriminasi terhadap anak, penganiayaan terhadap anak dan perbuatan tidak menyenangkan. Meski sempat didemo para guru, polisi dan jaksa tetap melimpahkan kasus Aop ke pengadilan. Aop dikenakan pasal berlapis, yaitu:
1. Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak. Pasal itu berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.
2. Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak.
3. Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.

Apakah makna diskriminasi? Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak di atas merupakan turunan dari Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Berdasarkan UU No 39/1999 tentang HAM, diskriminasi diartikan sebagai: Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Ketentuan mengenai larangan diskriminasi di atas juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 (LN RI Tahun 2005 Nomor 119, TLN RI Nomor 4558). Article 2 ICCPR berbunyi:
Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.
(Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan memastikan kepada semua individu di dalam wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksinya hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, tanpa perbedaan dalam bentuk apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya).

Apakah benar, Aop telah melakukan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik terhadap anak didiknya?
Di kasus Aop, ia merazia empat siswa yaitu AN, M, MR dan THS. Dari keempatnya, potongan rambut yang dilakukan Aop berbeda-beda bagi tiap siswanya. Lalu apakah akibat perbuatan Aop, si anak Iwan mengalami pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya?
Dalam pasal 3 ayat 3 UU HAM disebutkan: Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Lalu, apakah anak Iwan telah terlanggar kebebasan dasarnya yaitu berambut gondrong? Apakah aturan larangan berambut gondrong di sekolah melanggar HAM?
Adapun Pasal 17 UU HAM diarahkan kepada proses di peradilan yaitu: Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Bagi polisi dan jaksa, jawabannya adalah iya, anak Iwan telah mengalami diskriminasi sebagaimana diartikan oleh UU HAM di atas. Polisi dan jaksa mendasarkan pada kesaksian ahli pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr Noor Aziz Zaid. Dalam keterangannya, Noor Aziz menyatakan perbuatan menggunting rambut yang satu dibedakan dengan yang lain, bagaimana pun juga akibat diskriminasi dan dilihat dari jiwa anak usia 8 tahun dan menimbulkan efek negatif secara psikologis anak. Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan oleh PN Majalengka dan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.

Tapi oleh MA, hukuman itu dianulir dan menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop. Putusan yang diketok pada 6 Mei 2014 itu diadili oleh ketua majelis hakim Dr Salman Luthan dengan anggota Dr Syarifuddin dan Dr Margono. Ketiga Majelis Hakim membebaskan Aop karena sebagai guru Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang/gondrong untuk menertibkan para siswa. Pertimbangannya adalah: Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.

Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang dikutip dari website MA, Jumat (12/8/2016), guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Hal itu diputuskan saat mengadili guru dari Majalengka, Jawa Barat, SD Aop Saopudin (31). 

Bagaimana dengan Iwan? Ia awalnya juga dihukum percobaan di tingkat pertama. Tapi oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, majelis hakim mencoret hukuman percobaan dan menjatuhkan pidana penjara kepada Iwan selama tiga bulan. Hukuman kepada Iwan lalu dikuatkan di tingkat kasasi.

Peran Kemendikbud dan Sekolah

Pemerhati anak Seto Mulyadi yang juga Ketua Umum Lembaga Pendidikan Anak Indonesia (LPAI) (detikcom, Jumat, 12/8/2016) meminta guru, orang tua dan siswa duduk bersama membahas aturan dan sanksi. Kekerasan di dunia pendidikan harus dihentikan
"Pertama di lingkungan sekolah, guru harus sadar pada dasarnya semua anak itu baik, sehingga tidak harus mengajar dengan kekerasan dan agar tidak terjadi kembali kekerasan baik guru ke siswa, siswa ke guru atau bahkan orang tua kepada guru. Siswa, orang tua siswa, guru dan sekolah duduk bersama membuat aturan serta komitmen bersama bagaimana cara memberikan sanksi, itu akan membuat lingkungan sekolah menjadi demokratis dan tidak otoriter. Dengan adanya satu forum bersama antara guru, siswa dan orang tua akan menciptakan sebuah aturan bersama, di mana nantinya wajib diikuti oleh semua pihak. Hal ini pula yang akan menciptakan kedisiplinan pribadi di lingkungan sekolah. Isinya bagaimana sanksinya bila apa dan harus apa dia mendapatkan sansksinya. Jadi bila ada hukuman yang diberikan itu sudah berdasarkan komitmen yang dibuat, sehingga siswa akan sadar dan disiplin aturan, di mana itu adalah aturan yang ditetapkan bersama. Tentunya kalau guru juga berbuat salah dia juga harus kena sanksi karena melanggar sehingga bisa memberikan contoh yang baik.
Selain itu Kak Seto mengatakan, hal utama yang harus dibenahi dalam sistem pengajaran Indonesia adalah peningkatan kualitas guru. Menurutnya metode pengajaran 'zaman dulu' sudah tak cocok lagi diterapkan untuk mengajar para siswa. Pendidikan yang paling pas menurutnya adalah menerapkan hubungan persahabatan antara guru dengan siswa. "Sudah bukan zamannya kalau guru menerapkan cara-cara kolonial di mana murid harus nurut dan hanya bisa diperintah guru, itu tentunya akan membuat anak frustrasi. Guru juga harus memberikan pendidikan dengan cara yang kreatif sehingga anak menjadi kreatif, caranya dengan menganggap mereka sahabat dan menjalin persahabatan. kalau hanya menciptakan anak sebagai robot dan harus menurut segala macam tentu anak itu akan meledak, apalagi di usia remaja," jelasnya.

Kak Seto juga meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memaksimalkan media televisi sebagai sarana interaktif. Hal itu dilakukan agar kekerasan dalam dunia pendidikan tidak kembali terulang. "Di sinilah peran Kementerian Pendidikan juga harus mendidik guru sehingga memiliki karakter yang baik, karena guru tidak hanya mengajar mata pelajaran saja, tapi guru juga harus bisa mendidik karakter siswa-siswanya, dan untuk mendidik karakter seorang guru juga harus memiliki karakter yang baik. Ini yang harusnya juga diperhatikan Kementerian Pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa memberikan saran interaktif kepada orang tua bagaimana pendidikan formal, informal dan non-formal melalui sarana televisi. Kita tahu saat ini berapa komposisi pendidikan di televisi yang sudah berisi berbagai acara, sedangkan acara pendidikan hanya di bawah 1 persen dan ini yang masih kurang. Penyuluhan di televisi ini bisa memberikan pandangan bagi orang tua bagaimana mendidik anak di rumah, seperti dialog berdialog orang tua dengan anak, sehingga bertangggung jawab bersama. Ini yang bisa dicoba Kementerian Pendidikan dengan bekerja sama dengan Kemenkomifo, karena tidak hanya pendidikan tapi juga kebudayaan juga bisa diajarkan secara langsung.”

Dinas Pendidikan seharusmya memberikan pelatihan karakter kepada guru, sebelum akhirnya ditempatkan di sekolah untuk mengajar. "Pemerintah bisa memberikan pelatihan kepada para guru melalui Dinas Pendidikan. Karena apa, saat saya tanya ke beberapa guru apa ada pelatihan pendidikan, dia jawab tidak ada. Jadi karena metode belajarnya masih cara lama tentunya mereka juga akan mendidik dengan cara yang sama, ini yang harusnya diperhatikan," jelas Kak Seto.

Apa jadinya jika sangkaan polisi dan dakwaan jaksa terhadap seluruh guru di Indonesia karena melakukan perbuatan tidak menyenangkan siswa, termasuk membebani pekerjaan rumah (PR) misalnya, dikabulkan?

Sumber :
news.detik.com

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat