Putus Sekolah Bisa Sukses,
Kerusakan Dunia Pendidikan?.
Erik P.M.
Vermeulen, seorang Profesor | Eksekutif | Inovator. di medium.com, yang selalu berbagi
wawasan tentang bagaimana dunia digital mengubah cara kita hidup, bekerja, dan
belajarmeyakinkan bahwa memiliki gelar sarjana atau universitas akan membuka
lebih banyak peluang. “Saya masih percaya (pandidikan) itu penting. Saya yakin
akan hal itu”, tulisnya.
Bagaimanapun,
bagi Erick sebagai seorang guru dan menjadi seorang guru sangat bermanfaat. Baginya
membantu generasi berikutnya mempersiapkan hal-hal yang akan datang selalu
menginspirasi. Pandangannya tentang pendidikan wajar. Tetapi dia harus mengakui
dan menyadari ada banyak, bahkan semakin banyak kebenaran dalam gagasan atau
pemikiran bahwa seluruh sistem pendidikan telah kita rusak. Mengapa?
Berikut
bukti yang dipaparkannya. Bayangkan Anda seorang guru. Anda akan berharap
bahwa, secara umum, mahasiswa pascasarjana lebih siap untuk masa depan daripada
sarjana. Sophomores akan lebih terbuka terhadap hal-hal baru daripada siswa
tahun pertama. Siswa senior akan memiliki gagasan yang lebih baik tentang apa
yang terjadi daripada siswa junior. Tidak pantas Guru bisa berharap sebaliknya
kan? Tampak jelas bahwa semakin seseorang "naik" dalam pendidikan,
semakin baik dia mendapatkannya.
Namun, pengalaman
baru-baru ini menunjukkan yang sebaliknya. Ya, kita semua tahu tentang kisah seseorang
yang sukses putus sekolah/ universitas.
Mengajar
siswa pada tahun pertama biasanya melibatkan pengajaran dasar dengan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Itu menyenangkan tetapi tidak
bisa dibandingkan dengan diskusi mendalam tentang masyarakat, tren masa depan,
dan perkembangan dengan siswa yang lebih senior. "Semakin senior,"
semakin baik percakapannya.
Tetapi
belakangan, itu mulai berubah. Siswa junior secara bertahap menjadi lebih
tertarik pada apa yang terjadi di dunia (revolusi teknologi, masalah
lingkungan, dll.). Sebaliknya bahwa siswa senior semakin kurang terbuka untuk
berpikir di luar kebiasaan. Jujur, kita tidak bisa menyalahkan merek.
Sebenarnya,
konten dan gaya pengajaran belum banyak berubah selama dekade terakhir. Memang,
dalam kurikulum sekolah kita menemukan lebih banyak teknologi. Namun, teknologi
baru dan baru (dan bagaimana hal itu mengubah cara kita hidup, bekerja, dan
belajar) itu, belum menjadi bagian integral dari sebagian besar program. Jadi,
dalam konteks ini, masuk akal bagi siswa untuk berpegang teguh pada apa yang
telah mereka pelajari. Hal terakhir yang ingin mereka dengar adalah bahwa kita
saat ini sedang mengalami revolusi yang membuat model, teori, dan doktrin yang
telah mereka pelajari menjadi usang.
Sampai
sekarang, pendekatan itu mungkin tidak masalah. Urusan dengan gangguan/ masalah
sebelumnya selalu menemukan cara untuk "bertahan hidup." Dan,
meskipun kita telah menjadi lebih bergantung secara digital (kami mencintai
media sosial dan tidak dapat bekerja tanpa terhubung secara digital), cara
kerja masyarakat dan ekonomi belum berubah secara signifikan.
Jadi,
mengapa kita khawatir? Apa yang berbeda sekarang? Dan mengapa harus berpikir
sistem pendidikan rusak dan perlu diperbaiki?
Memanusiakan Teknologi itu Normal
Erick memaparkan
tentang tren desentralisasi dan ledakan pertumbuhan teknologi (yang pasti, dia
yakin kedua hal ini juga benar), tetapi sebagian besar melibatkan prediksi masa
depan. Dan kita semua tahu bagaimana itu bisa terjadi. Namun, sesuatu yang lain
sudah terjadi sekarang. Sesuatu yang menarik dan penting. Erick menyebut "Manusia
teknologi" dimana semakin sedikit gangguan manusia (dalam memikirkan
algoritma, belajar mandiri dan jaringan saraf yang mengatur sendiri).
Kita dapat
melihat tiga tren (kebanyakan dari mereka terkait dengan kecerdasan buatan,
Internet of Things dan konektivitas) yaitu :
Personalisasi.
Teknologi telah memungkinkan untuk menerima pengalaman yang lebih pribadi dari
produk dan layanan. Waktu produksi massal berakhir. Semuanya tentang
personalisasi. Semakin banyak kita menggunakan produk atau layanan, semakin
pintar mereka mendapatkannya. Mereka menjadi semakin personal. Kita memiliki
hubungan dengan teknologi.
Kemitraan.
Teknologi menjadi mitra atau asisten kami. Jika semuanya menjadi rumit, kami
meminta komputer untuk belajar bagaimana membantu kami. Algoritma pembelajaran
yang dalam mendorong pembelajaran mandiri jaringan saraf.
Interaksi.
Teknologi cepat beradaptasi dengan kita. Kami tidak membutuhkan banyak
pelatihan untuk menggunakan teknologi lagi. Antarmuka pengguna menjadi lebih
manusiawi. Kami semakin berinteraksi dengan teknologi "seolah-olah"
kami berinteraksi dengan manusia. Kontrol suara. Pengenalan wajah. Sensor.
Dengan cara
ini, tanpa kita sadari teknologi menjadi bagian integral dari kehidupan kita.
Dan ini fantastis. Ini menawarkan begitu banyak peluang ; Kenyamanan,
Penyederhanaan dan Penyertaan.
Tapi usia
" manusia teknologi" yang sudah lepas landas, berbahaya. Kita perlu
memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang sedang terjadi. Selain itu,
kita (dan generasi berikutnya) harus lebih siap untuk dunia di mana kita hidup
tanpa hambatan, bekerja, dan belajar dengan mesin.
Apakah Sistem Pendidikan Masih
Relevan?
Apa yang
harus menjadi pilar utama pendidikan di era ‘manusia teknologi’?
Keterampilan
digital. Dalam hal ini Erick tidak merujuk pada keterampilan yang memberi seseorang
akses dan membantunya berinteraksi dengan teknologi. Ini lebih pada tentang
memahami bagaimana manusia teknologi bekerja, bagaimana operasinya, bagaimana
membuat keputusan. Ketika teknologi menjadi lebih manusiawi, kita juga harus
memastikan bahwa itu berperilaku seperti yang diharapkan manusia. Tapi bisakah
kita mempercayai teknologi? Keamanan dan etika muncul dalam pikiran.
Perlindungan (data, privasi) dan regulasi harus tertanam dalam manusia teknologi.
Guru hanya dapat melakukan itu ketika Guru memiliki pemahaman yang lebih dalam
tentang apa yang terjadi dalam " manusia teknologi".
Keterampilan
manusia. Erick merujuk pada keterampilan yang tidak dimiliki komputer dan mesin
otonom (dan tidak bisa). Kemampuan berkomunikasi. Kreativitas yang asli (dan
tidak ditiru).
Mengajar
bagaimana dan apa yang harus dipelajari. Dunia berubah dengan cepat. Kita harus
belajar "bagaimana dan apa yang harus dipelajari" di dunia yang
terkait teknologi digital dan manusia. Generasi selanjutnya harus mengerti cara
belajar. Ini juga tentang ‘branding’
diri : Bagaimana seseorang bisa membedakan diri dari orang lain? Bagaimana seseorang
bisa menunjukkan kreativitasnya? Bagaimana seseorang bisa menggunakan teknologi
sebagai alat promosi diri?
Kata kunci dari
semua ini adalah "relevansi." Di zaman manusia teknologi, kita harus
memastikan bahwa generasi berikutnya tetap relevan, dan terkendali. Dan kita
hanya bisa berhasil jika kita terus memastikan bahwa pendidikan masih tetap relevan.
FBZ seorang
penulis di medium.com yakin bahwa pendidikan sangatlah penting. Sangat-sangat
penting. Secara tidak langsung, selama beberapa tahun dari masa hidup bangsa,
pemerintah bisa bebas memasukkan ilmu dan pengetahuan, yang mungkin telah
dipilih dan disaring yang mana yang menguntungkan bagi negara, untuk kita
pelajari. Kita dididik baik secara hard skill maupun soft skill agar kita
menjadi individu yang diinginkan negara. Kita dilatih agar negara setidaknya
bisa bertahan hidup meskipun terseok-seok di era globalisasi ini. Dan kita
menerimanya.
Pertanyaannya,
sudah berapa lama yang sudah dihabiskan bangsa ini di sekolah? Pasti tidak
singkat. Lalu, pernahkan kita berandai-andai, bahwa bangsa ini bisa menggunakan
waktu di sekolah itu untuk melakukan suatu hal yang lain? Sesuatu hal yang mungkin
kitapun tidak tahu karena tidak punya waktu untuk mencari tahu? Sekarang,
sekolah mungkin bukan lagi pilihan!
Selayaknya ‘sekolah’
adalah suatu keharusan sebagai usaha untuk mencapai hidup yang lebih baik. Kita
dituntut untuk menjadi orang yang cerdas dan serba bisa, mampu memanipulasi
fakta, membuat pencitraan yang baik, dan akhirnya, kita akan berada di tempat
dimana kita bisa hidup senang.
Sayangnya,
sistem pendidikan telah membuat kita lebih memikirkan diri kita sendiri baru
orang lain. Jadi, kita harus mendapat nilai bagus dulu, kerja di perusahaan
mapan, kaya, jadi kita bisa membantu orang lain. Seperti itu kah? Sistem
pendidikan, seakan menghilangkan sifat-sifat baik manusia, hanya demi bisa
bertahan hidup. Hanya sedikit manusia yang mampu mempertahankan sifat baiknya.
Pemerintah
Indonesia, sepertinya belum puas hingga selalu mengganti sistem pendidikan yang
ada. Seperti yang kita tahu dan rasakan, bahwa pendidikan adalah hal vital yang
berpengaruh terhadap sifat suatu bangsa. Kita mau mencerdaskan kehidupan
bangsa, tapi nyatanya, kita hanya terus berkembang dan berkembang. Lalu, apakah
lantas mengganti sistem pendidikan akan menyelesaikan semua masalah? Apakah
dengan kita bercermin kepada negara-negara maju, lantas kita bisa menyelesaikan
permasalahan kita? Tentu saja tidak. Jika kita mencoba mengikuti suatu sistem
milik negara lain yang memang sudah berlaku dan berhasil di negara lain, apakah
mental anak bangsa bisa siap menghadapi perubahan yang begitu cepat?
Dalam sistem
pendidikan kita, dituntut untuk mendapatkan nilai yang baik, dituntut untuk
menjadi yang terbaik, yang kompetitif, mempunyai daya saing dan daya tahan
hidup. Kita dijejali dengan banyak ilmu dan pengetahuan tanpa tahu untuk apa
kita mengetahui hal itu, atau bahkan, tanpa tahu cara menggunakannya. Sehingga,
maklumlah jika akhirnya ilmu itu akan hilang dan tidak akan terpakai karena
kita sendiri tidak menghargaimya.
Sekarang, apakah
sistem pendidikan yang terus-menerus diganti akan memberikan suatu solusi, dan
kita hanya harus terus mengganti sampai secara kebetulan, kita menemukan sistem
yang tepat? Mengapa kita tidak bertanya kepada diri kita sendiri, apa akar
permasalahan dari sistem pendidikan? Apa yang membuat sistem ini tidak efektif?
Murid Mahasiswa? Guru? Dosen? Orang tua? Lingkungan? Pemerintah? Atau
jangan-jangan ini suatu konspirasi dari negara maju untuk membuat kita tetap berkembang
dan membuat kita menjadi sumber daya yang sangat nikmat bagi mereka? Mungkin
semuanya benar, mungkin hanya salah satu atau beberapa yang benar. Mungkin juga
jawabannya tidak terdapat pada pernyataan di atas.
FBZ ingin
mengingatkan kita terhadap satu sistem pendidikan yang membuat baik murid
maupun guru dan pihak-pihak terkait sama-sama berpikir, menganalisis, mencari
masalah dan jawaban bersama.
Cara
mengajar Socrates.
Socrates
adalah seorang filsuf, dia adalah guru dari Plato yang namanya kita pasti tahu
dan kenal. Socrates mengajar dengan cara berdiskusi. Ia bertanya dan bertanya
untuk mengetahui apa yang dipikirkan lawan diskusinya, sehingga otak akan
bekerja dengan baik, konstruktif. Lalu,ketika sang lawan sudah tidak mampu lagi
menjawab karena sudah mencapai batas kemampuan menjawabnya, Socrates kemudian
membuat sang lawan diskusi ini merefleksikan pikirannya, sehingga akan tercapai
jawaban yang rinci dan runut dari sebuah permasalahan. Dalam refleksi tersebut,
kedua belah pihak bersifat sebagai guru dan murid, belajar bersama-sama melalui
dialog-dialog yang membangun suasana pembelajaran yang aktif, dalam mencapai
sebuah jawaban. Metode ini disebut andragony, dimana pengetahuan melibatkan
subjek secara aktfif.
Tentunya,
kita semua tahu sistem ini tidak bisa diterapkan di dalam kelas yang berisi
lebih dari 5 orang karena, semakin banyak orang, semakin sedikit kesempatan
untuk berbicara. Namun, apakah sistem belajar mengajar agar efektif, harus
dilakukan secara massal pada jam-jam tertentu agar materi didapatkan oleh
murid? Pertanyaan yang lebih penting lagi adalah, apakah pembelajaran sekarang
hanya mengejar tersampaikannya materi, tanpa peduli dengan aftermathnya?
Ya, sekarang,
kita harus segera saling refleksi dan menemukan solusi. Mungkin!
Baca artikel
asli disini
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan