KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Friday, 17 August 2018

Ternyata, Hingga Kini Masih Ada Guru Yang Terabaikan

Posted by   on Pinterest



Terlepas dari banyaknya kabar negatif profesi guru, masih banyak guru yang dengan segenap hati mengabdi dan jadi pahlawan sesungguhnya.

Dwifa, seorang guru perempuan dan pendiri sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Zikir, di Desa Tik Teleu, Kecamatan Pelabai, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, (Selasa, 9/1/2018) menyebutkan, sekolah itu dibangun atas dasar rasa khawatir akan tingginya angka putus sekolah di daerah itu. Sekolah yang terlihat memprihatinkan itu itu dibangun pada 2011. Separuh gedungnya terbuat dari papan dan semen, sedangkan plafonnya rusak di beberapa bagian. Gedung tersebut merupakan pinjaman dari pemerintahan desa. Terdapat 38 siswa dan delapan guru sebagai tenaga pengajar. Menurut Dwifa, menjadi guru di MTs Zikir, merupakan bentuk kekhawatiran kami atas kondisi kampung halaman. Jadi, enggak mikir gajilah. Untuk kehidupan sehari-hari, dia dan suami menjadi petanijelasnya.

Hiriani, guru lainnya, yang paling yunior karena baru enam bulan bergabung di sekolah itu, berharap pengetahuan yang dimiliki dari perguruan tinggi dapat dibagi buat remaja di desa. Ia tidak mempersalahkan masalah gaji yang hanya Rp 100.000 per bulan.

Dua tahun berdiri, pada 2011 dan 2012 terdapat 14 tenaga pengajar. Selama dua tahun, 14 guru tidak digaji sama sekali. Lalu, masuk 2013 hingga 2015, barulah para guru mendapatkan gaji dari Kementerian Agama. Dananya diambil dari Bantuan Operasional Siswa (BOS). Tahun 2013 hingga 2015 gaji diterima per bulan sekitar Rp 30.000 dibayar per tiga bulan. Tiga bulan terima Rp 90.000. Gaji sebesar itu berlanjut hingga 2016, barulah naik menjadi Rp 100.000 per bulan.

Sukamdani, Kepala Sekolah MTs Zikir Pikir. Sukamdani yang memiliki gelar master pada bidang agama Islam lebih memilih kembali ke kampung halaman daripada tawaran menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi. Saat ini sekolah itu memiliki tanah sekitar satu hektar sebagai wakaf dari masyarakat. Namun, pihaknya belum dapat memanfaatkan tanah wakaf itu karena terkendala biaya pembangunan gedung.

Perjuangan Hamidah perempuan kelahiran Makassar 7 Desember 1969, sebagai guru penuh tantangan, karena untuk mengajar di sekolahnya, dia harus mengarungi lautan. Hamidah mengajar di SDN 6 Selat Nasik yang berada di Pulau Kuil. Hamidah, guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) 6 Selat Nasik, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, menerima penghargaan sebagai juara pertama Guru SD Berdedikasi di Daerah Khusus. Hamidah di Jakarta, (Sabtu, 19/8/2017) mengatakan bahwa kiprahnya sebagai guru di sekolah, daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), membuahkan hasil. Kalau ombaknya lagi tinggi, ya, tidak bisa ke mana-mana.

Pulau Kuil merupakan salah satu pulau yang ada di Kecamatan Selat Nasik. Pulau tersebut terletak di Selat Gaspar, yang memisahkan antara pulau Bangka dan Belitung. Sekolah dasar tempatnya mengajar itu merupakan satu-satunya sekolah di pulau itu. Suami dan kedua anak Hamidah tinggal di Tanjung Pandan, Ibu Kota Kabupaten Belitung. Baru satu kali dalam sebulan, dia bisa menemui anak dan suaminya. Untuk mengajar di sekolah itu, dia harus rela jauh dari suami dan kedua anaknya. Semua itu dia lakukan agar anak-anak didiknya mendapatkan pengajaran. Kalau ombaknya tinggi, baru 2 bulan sekali pulang ke rumah. Di Pulau Kuil tersebut, sinyal telepon seluler termasuk barang langka yang kadang ada dan kadang hilang. Di Pulau Kuil, dia tinggal di rumah dinas guru yang tidak jauh dari tempatnya mengajar. Rumah dinas yang ditempatinya pun terbilang sangat sederhana serta belum dialiri listrik. Untuk sekadar mengisi ulang ponselnya, dia harus berjalan kaki ke rumah warga yang berjarak sekitar 3 kilometer. Di rumah warga, listrik berasal dari mesin diesel, bukan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Itu pun hanya hidup mulai pukul 18.00 hingga 21.00 WIB.

Hamidah Wali Kelas Satu itu, sudah mengajar di sekolah itu sejak 2001, sejak pengangkatan dia sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Semasa menjadi guru honorer, dia mengabdi di SDN di Pulau Gersik yang lebih ramai daripada Pulau Kuil. Lama perjalanan dari Pulau Gersik ke Pulau Kuil sekitar 2 jam.

Menurut Hamidah mengajar di daerah khusus, memiliki tantangan tersendiri. Selain sarana dan prasarana yang masih tertinggal, juga dihadapkan dengan pandangan masyarakat yang belum menganggap penting pendidikan. Para orang tua bilang, 'Buat apa sekolah. Tidak sekolah pun, mereka bisa cari uang dan ke Tanah Suci'. Para orang tua, lebih suka mengajak anak-anaknya pergi mencari nafkah daripada sekolah. Apalagi, ketika musim mencari ikan tiba, anak-anak yang seharusnya sekolah malah pergi melaut bersama orang tuanya selama berbulan-bulan. Dia dan guru-guru lainnya terkadang harus datang ke rumah-rumah mencari murid. Anak-anak itu baru kembali ke sekolah beberapa bulan kemudian setelah pulang dari melaut. Tidaklah heran jika murid di sekolah itu terbilang sedikit. Pada awal mengajar di sekolah itu, murid yang ada kelas satu hingga kelas enam hanya 23 orang.

Jangankan berharap anak sudah mengenal huruf, memegang pensil pun banyak yang belum bisa. Meskipun demikian, potensi anak-anak di pulau itu juga tak kalah dengan anak-anak di perkotaan. Banyak anak-anak di sekolah itu yang sering ikut lomba olimpiade sains hingga ke tingkat provinsi. Cuma untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, terbilang sedikit karena belum ada SMP di pulau itu. Kalau melanjutkan ke SMP, mereka harus keluar dari pulau itu. Hanya 25 persen dari lulusan sekolah itu yang melanjutkan pendidikan. Sisanya menjadi nelayan, seperti umumnya para orang tua di pulau itu.

Sebelumnya, setiap bulannya ada tunjangan khusus untuk guru yang mengajar di daerah 3T. Tetapi sejak 2017, guru-guru yang mengajar di daerah 3T di Bangka Belitung, tak lagi mengenyam manisnya tunjangan itu.

Bukan hanya guru, Makmuri pria 52 tahun, Kepala SD Wotgalih 3, Kecamatan Pangkah, Tegal, Jawa Tengah, harus menyeberangi dua sungai besar dan menelusuri hutan dengan jalan kaki agar bisa mengajar siswanya. Jumlah siswa di sekolah yang dipimpinnya tersebut hanya 34 anak. Jumlah gurunya 10 orang.

Kendati dari rumah di Desa Penusupan, Kecamatan Jatinegara, Tegal, menggunakan sepeda motor, Makmuri tidak bisa langsung sampai di sekolah. Sebab, kondisi jalan terputus oleh aliran sungai besar. Alhasil, motornya terpaksa ditinggal di tepi sungai. Perjalanan ke sekolah pun dilanjutkan dengan berjalan kaki dan menyeberangi Sungai Rambut. Sepatunya yang sudah disemir dari rumah harus dilepas. Setelah menyeberang sungai, dia berjalan melewati hutan sejauh sekitar 2 kilometer. Tentu saja, jalannya tidak semulus di Kota Slawi. Dia harus berhati-hati karena bisa terpeleset dan jatuh di jalan yang berlumpur. Lolos dari rintangan itu, Makmuri harus menyeberangi kali lagi, yakni Sungai Lohgeni. Kalau arus sungai meluap, sering kali harus menunggu berjam-jam hingga air surut. Tapi, kalau tidak surut juga, ya pulang.

Nasib guru honorer sekolah tak sebanding dengan kebutuhan zaman sekarang. Mereka harus perpeluh dengan gilasan zaman dengan mengandalkan gaji setiap bulan sebesar Rp 200 ribu per bulan. Padahal, jasanya mengajar untuk mencerdaskan anak didik bangsa sudah berkisar 15 hingga 25 tahun.

Sudiono Saputro yang tergabung dalam Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Lampung kepada (Republika.co.id Rabu (2/5) di Bandar Lampung, mengatakan, gaji guru honorer sekolah swasta saat ini, selain tidak pernah naik gaji honor setiap tahun, harapan untuk menjadi pegawai negeri juga selalu terhalang. Gaji kami guru honorer mulai dari Rp 200 ribu dan paling tinggi Rp 500 ribu. Ada yang sudah mengajar 15 tahun dan paling lama 25 tahun tapi honor segitu saja. Sudiono sendiri sudah menginjak masa kerja guru honor selama 20 tahun lebih.

Menurut dia, guru honor di sekolah-sekolah swasta sama berartinya dengan guru aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai negeri sipil (PNS). Mereka sama-sama mengajar mata pelajaran di kelas, waktu masuk sekolah dan pulang seolah juga sama, serta beban mengajar juga sama, tapi penghargaan kepada guru honorer sangat miris sekali. Peran guru swasta dan negeri sama yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bedanya, kesejahteraan guru honor apalagi swasta sangat miris dari kesejahteraan guru pegawai negeri.

Kuswanto, guru SMP swasta di Kabupaten Lampung Selatan menyatakan, nasib guru honorer semakin tidak jelas dari pemerintah. Padahal, tugas guru sama dengan guru lainnya mengajar anak bangsa. Para guru honorer ingin menjadi ASN.

Sekretaris DPRD Lampung Kherlani mengatakan Pemprov Lampung dan DPRD mengakomodasi tuntutan para guru honor. Tuntutan guru tidak berlebihan untuk dihargai dengan diangkat menjadi ASN. Kewenangan diangkat ASN adalah pemerintah pusat. Pemprov akan merekomendasikan tuntutan para guru tersebut ke pusat. Kemungkinan para guru honorer sekolah swasta menjadi ASN masih sangat terbuka, namun harus bergantung dari kebutuhan tenaga guru, apalagi saat ini masih digodok rancangan undang undang ASN.

Ribuan guru swasta yang tergabung dalam Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) menuntut kesetaraan status. Mereka mendorong DPR merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Orator demonstrasi di depan Gedung MPR/DPR menyebut setidaknya 3.000 guru swasta hadir. Mereka menilai regulasi yang ada diskriminatif terhadap guru swasta.

Ketua Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Mohammad Fatah menilai guru swasta di Indonesia bak dianaktirikan. Diskriminasi dan praktik ketidakadilan terhadap guru-guru tersebut justru muncul dari negara. Pernyataan itu menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS, diberlakukannya PP Nomor 56 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS, kemudian terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Parahnya lagi, DPR juga berencana akan merevisi UU Nomor 5 Tahun 2014. Perundang-undangan itu tidak adil memperlakukan guru di sekolah swasta karena hanya fokus pada guru di sekolah negeri. Hanya honorer yang mengajar di sekolah negeri yang diangkat menjadi CPNS. Amanah UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, maupun PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru secara tegas tidak membedakan profesi mulia itu. Entah itu guru di sekolah swasta, maupun guru yang mengajar di sekolah negeri. Dalam aturan itu tidak menyebutkan. Pemerintah mendikotomikan guru. Pemerintah juga gagal mengemban amanah Pancasila. Utamanya sila ke-5 dan UUD Tahun 1945 Pasal 28 D ayat 2. (Medcom.id.)

SUMBER :

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat