KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Wednesday, 8 August 2018

Meskipun Berat, Anak-anak Sekolah Ini Menggapai Ilmu Dengan Tegar Tanpa Mengeluh.

Posted by   on Pinterest


Sementara masyarakat kota bisa sekolah dengan nyaman, masih banyak, anak-anak di pedalaman setiap hari harus berjuang keras untuk sampai ke sekolah. Kehidupan masyarakat kota sudah terbiasa dengan berbagai fasilitas, meski macet dan terkadang jalan berlubang, setidaknya ada jalan yang bisa dilalui dengan aman.

Memang setiap orang pasti pernah mengalami momen beratnya masing-masing, namun tidak banyak yang mengalami perjuangan menyeberangi sungai besar dengan jembatan yang putus sebelah hanya untuk ke sekolah, tanpa bersungut-sungut. Meskipun berat, mereka menghadapinya dengan tegar tanpa mengeluh.

Di Desa Bonto Matinggi, Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, puluhan anak harus berjuang menyeberangi sungai dengan arus yang cukup deras demi mencapai sekolah. Mereka menyeberangi sungai kala berangkat dan pulang sekolah setiap hari. Jika musim hujan, air sungai naik dan arusnya semakin deras. Kondisi ini kerap membahayakan nyawa anak-anak yang menyeberang untuk bersekolah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI berkoordinasi dengan Asisten Deputi Bidang Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), Elvi Hendrani menurunkan tim sebanyak lima orang untuk melakukan peninjauan pada 27-29 April 2018. Tim termasuk dua fasilitator Sekolah Ramah Anak (SRA) di Maros dan Makassar. Hasil dari peninjauan, jumlah anak yang setiap hari menyeberangi sungai untuk bersekolah mencapai lebih dari 30 anak. Mereka terdiri atas siswa SD dan SMP.  SD terdekat dari desa, yakni SDN 30 Inpres Gantarang, Desa Bonto Matinggi, Kecamatan Tompo Bulu, berjarak sekitar 3 kilometer dari pinggir sungai. Gedung SD negeri ini memprihatinkan. Ada dua ruang kelas yang rusak, tapi tak kunjung mendapat bantuan perbaikan. Padahal, sudah cukup lama rusaknya.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti (Health Liputan6.com, Rabu, 2/5/2018) dalam pesan WhatsApp ditulis, anak-anak merasa takut setiap kali akan menyeberang sungai. Apalagi jika air sedang tinggi dan arus cukup deras. Mereka harus naik ban, yang di atasnya diberi papan. Lalu mereka duduk di atas papan itu, ban akan ditarik oleh anak lain di seberang sungai. Ketika air sungai agak surut, anak-anak bisa menyeberangi pinggiran bendungan, yang ada di sungai tersebut. Lebar pinggiran bendungan sekitar 40 cm dan panjang 130 meter. Untuk menyeberang di pinggir bendungan juga harus hati-hati, arusnya terasa cukup deras dan butuh keseimbangan badan.

Ada orangtua siswa yang mengaku pernah terjatuh saat menyeberang saat berjalan di pinggir bendungan dan terbawa arus. Padahal, sungainya penuh dengan batu-batu. Itu karena anak-anak yang rata-rata masih SD diantar ibunya pergi ke sekolah. Para ibu khawatir soal keselamatan anak-anaknya saat menyeberang sungai tersebut.

Di lokasi ditemukan pondasi jembatan di kedua sisi sungai. Ternyata pondasi itu dibangun sejak 2015, tapi tidak dilanjutkan lagi hingga 2018. Hal ini membuat pembangunan jembatan penyebarangan tidak rampung sepenuhnya sampai sekarang.

Menurut pemerintah kabupaten, pihak desa tidak pernah melaporkan, permasalahan pembangunan jembatan yang belum rampung tersebut. Pemerintah daerah setempat juga tidak mengetahui, anak-anak sekolah harus bertaruh nyawa saat berangkat ke sekolah setiap harinya.

Untuk memastikan perlindungan dan keselamatan anak-anak di Desa Bonto Matinggi, KPAI mendorong Pemda Maros menyetujui pembangunan jembatan sementara. Jembatan sementara bisa menggunakan bambu yang tersedia di Desa Bonto Matinggi. Upaya ini dilakukan sembari menunggu keberlanjutan pembangunan jembatan. Itu terkait dengan dana yang sudah dianggarkan sebesar Rp 350 juta, yang masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) perubahan tahun 2018. Proses pembahasan perubahan ini masih memakan waktu lama. Pembiayaan pembuatan jembatan sementara bisa diambil dari sebagian hasil sumbangan masyarakat yang sudah terkumpul. Ada sumbangan dari masyarakat untuk mendukung pembangunan jembatan.

Di Desa Sukamaju, Kecamatan Tellulimpoe, Sinjai, Sulawesi Selatan, murid SDN 193 Jenna, berjuang melawan arus sungai demi ke sekolah. Sebuah video tentang anak-anak Sinjai yang menyeberang di derasnya aliran sungai untuk ke sekolah, menyita perhatian sejumlah pihak. Bahkan seorang pemuda Tellulimpoe Sinjai, Arief Balla yang sedang menempuh studi master double degree in TESOL and Linguistics, Southern Illinois University Carbondale Amerika melalui Beasiswa Fulbright, mengirimkan surat terbuka untuk Bupati Sinjai atas kondisi tersebut.

Dalam video yang diunggah ke youtube tersebut, menggambarkan tentang anak-anak sekolah yang sedang menyeberang sungai tanpa baju.

Video berdurasi 6 menit 20 detik tersebut pun kemudian viral di media sosial.


Berikut perjuangan anak-anak Indonesia untuk sampai ke sekolah.

Di kampung Bukit Duri, anak-anak menggunakan eretan untuk menyebrangi Sungai Ciliwung. Sejumlah pelajar menyeberangi Sungai Ciliwung menggunakan eretan di kawasan Bukit Duri, Jakarta.

Di Desa Suro dan Plempungan, Karanganyar anak sekolah memilih melewati saluran air tua yang dibangun di zaman Belanda karena menempuh jalur aman harus memutar sejauh 7 km. Taruhannya nyawa, karena di bawahnya ada jurang yang dalam dan menganga.

Di Desa Sanghiang Tanjung, Banten anak-anak sekolah tiap hari harus uji nyali dengan melalui jembatan miring yang rusak akibat diterjang banjir. Kepleset sedikit, bisa langsung nyebur ke sungai Ciberang. Perjuangan mereka yang viral di media, akhirnya membuat sebuah perusahaan baja tergerak untuk membangun jembatan baru untuk mereka.

Siswa SMP Atap Cibalong Garut harus melintasi tebing yang maha sulit untuk mencapai sekolah.

Di Desa Praibakul, Haharu, Sumba Timur setiap harinya sebelum menyeberangi sungai, anak-anak  harus mendaki bukit terjal yang bisa longsor sewaktu-waktu. Sekolahnya ada di balik bukit.

Di Boyolali anak-anak rela naik andong demi sampai di sekolah tepat waktu. Medan yang sulit bisa membuat mereka jatuh kapan saja. Tapi toh mereka tetap tertawa.

Di Kampung Baru, Singkil Utara, Aceh siswa-siswi harus berjuang melewati jembatan kayu yang roboh dari setahun sebelumnya dan merupakan satu-satunya jalur yang bisa ditempuh

Jembatan yang menghubungkan Desa Sumua Bana dan Kota Padang ini sudah rusak sejak tahun 2008. Karena itu adalah akses satu-satunya daripada harus memutar yang jaraknya cukup jauh, anak-anak sekolah mempertaruhkan nyawa setiap harinya.

Di Nagari Koto Nan Tigo yang terletak di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat ini, anak-anak harus berenang di Sungai ‘Maut’ Batang Surantih setiap harinya. Untung saja, swadaya masyarakat berhasil membangun jembatan yang cukup layak untuk dilalui.
Di Desa Cicaringin, Lebak, Banten para siswa harus melewati jembatan darurat berupa tali baja yang mudah bergoyang-goyang ditiup angin. Sementara di bawahnya Sungai Ciliman mengalir deras.

Perjuangan anak untuk mendapatkan pendidikan memang nyata adanya. Namun kesulitan yang sedemikian besarnya, toh tidak menyurutkan niat mereka untuk belajar. Nyawa dipertaruhkan demi menimba ilmu untuk masa depan.

Sejauhmana perjuanganmu mengejar citacitamu?

Semangat terus ….

SUMBER :

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat