Peringkat Pendidikan Indonesia
Dunia
pendidikan Indonesia patut berbangga, Indonesia masuk peringkat pendidikan
dunia atau World Education Ranking yang diterbitkan Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD) menentukan, di posisi mana suatu negara
maju dalam segi pendidikan. Peringkat tersebut menentukan negara mana yang
terbaik dari segi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan. Seperti yang
dilansir The Guardian, Indonesia menempati urutan ke 57 dari total 65 negara.
Berdasarkan
laporan tahunan UNESCO Education For All Global Monitoring Report 2012Di dunia
internasional, kualitas pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120
negara di seluruh dunia. Sedangkan berdasarkan Indeks Perkembangan Pendidikan
(Education Development Index, EDI), Indonesia berada pada peringkat ke-69 dari
127 negara pada 2011.
Menurut
laporan Program for International Student Assessment (PISA) 2015 - program yang
mengurutkan kualitas sistem pendidikan di 72 negara, - Indonesia menduduki
peringkat 62. Dua tahun sebelumnya (PISA 2013), Indonesia menduduki peringkat
kedua dari bawah atau peringkat 71. Menurut laporan OECD, Indonesia mendapatkan
nilai membaca 402, matematika 371, dan ilmu pengetahuan alam 383. Peringkat
pendidikan dunia tersebut berkaitan dengan (PISA). PISA merupakan program yang
dihormati di seluruh dunia, dan memungkinkan politisi dan pembuat kebijakan
untuk menilai perbedaan sistem pendidikan di berbagai negara.
Inggris
posisinya digantikan Polandia dan Norwegia. Sementara Inggris berada di
peringkat 25 untuk membaca, 28 untuk matematika, dan 16 untuk ilmu pengetahuan.
Pada tahun 2006, ketika 57 negara dilibatkan dalam penelitian tersebut, Inggris
menempati peringkat ke 17, 24 dan 14. Polandia lebih maju dibanding Inggris
dalam bidang matematika, sementara Norwegia memiliki peringkat lebih tinggi
dalam membaca dan matematika.
Andreas
Shleicher, Kepala Program PISA mengatakan, gambar peringkat untuk Inggris
dengan ungkapan “tenggelam”. “Banyak negara-negara lain telah melihat
peningkatan yang cukup signifikan. PISA membuat peringkat tersebut dengan cara
menguji pelajar usia 15 tahun untuk mengetahui apakah mereka memiliki kemampuan
dan pengetahuan - di bidang ilmu pengetahuan alam, membaca, dan matematika -
yang diperlukan agar bisa berpartisipasi penuh dalam masyarakat modern. PISA
berlandaskan asumsi bahwa seseorang bisa sukses di ekonomi modern bukan karena
apa yang mereka tahu, tetapi apa yang bisa mereka lakukan dengan apa yang
mereka tahu.
Sekretaris
Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Dr. Ir. Patdono Suwignjo, M. Eng, Sc di
Jakarta mengatakan berdasarkan data KEMENDIKBUD 2010, di Indonesia terdapat
lebih dari 1,8 juta anak setiap tahun tidak dapat melanjutkan pendidikan. Kasus
putus sekolah anak – anak usia sekolah di Indonesia juga masih tinggi Hal ini
disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor ekonomi; anak–anak terpaksa bekerja
untuk mendukung ekonomi keluarga; dan pernikahan di usia dini.
Dalam
laporan terbaru Program Pembangunan PBB tahun 2013, Indonesia menempati posisi
121 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan angka 0,629.
Dengan angka itu Indonesia tertinggal dari dua negara tetangga ASEAN yaitu
Malaysia (peringkat 64) dan Singapura (18), sedangkan IPM di kawasan Asia
Pasifik adalah 0,683.
Dalam
perkembangan pendidikan Indonesia, pemerintah telah melaksanakan berbagai
kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan guna menghadapi persaingan
bebas dunia yang akan segera berlaku dengan terwujudnya komunitas ASEAN pada
tahun 2015 mendatang.
Wakil
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Musliar Kasim mengatakan, untuk
meringankan beban serta memperkokoh dasar pendidikan pada siswa Indonesia, KEMDIKBUD
memastikan akan sepenuhnya memberlakukan Kurikulum 2013 mulai tahun 2014,
bahkan sudah menyiapkan anggaran untuk mendukung operasional kurikulum
tersebut. Kurikulum 2013 merupakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang berfokus pada penguasaan pengetahuan yang kontekstual sesuai daerah dan
lingkungan masing-masing. Kurikulum
tersebut menitikberatkan penilaian siswa pada tiga hal: sikap (jujur, santun,
disiplin), keterampilan (melalui tugas praktek/ proyek sekolah), dan
pengetahuan keilmuan. Pada tingkat dasar seperti SD, kurikulum ini lebih fokus
pada pembentukan sikap dan keterampilan
hidup, sedangkan keilmuannya
lebih 'ringan' daripada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pada tingkat
lanjutan seperti SMP dan SMA, porsi penguasaan keilmuan lebih ditingkatkan
karena pribadi murid dianggap sudah terbentuk pada tingkat dasar. Menurut
Musliar, kurikulum baru akan diterapkan pada siswa SD kelas 1, 2, 4 dan 5;
siswa SMP kelas 8 dan 9; serta siswa SMA kelas 10 dan 11.
Pemerintah
tidak akan mencetak buku bahan ajar. Seperti pelaksanaan pada tahun sebelumnya,
KEMENDIKBUD akan mengunggah buku bahan ajar ke dalam situs internet. Kemendikbud
akan menetapkan harga eceran tertinggi atas buku yang ditargetkan akan beredar
bebas tersebut. Kurikulum 2013 sendiri sebenarnya sudah dilaksanakan sejak
pertengahan tahun 2013 di sejumlah sekolah yang telah diseleksi, meski sempat
dikritik karena pelaksanaannya terkesan dipaksakan.
Kendala Darurat Pendidikan
Indonesia
Dunia
pendidikan di Indonesia masih memiliki beberapa kendala yang berkaitan dengan
mutu pendidikan diantaranya adalah keterbatasan akses pada pendidikan, jumlah
guru yang belum merata, serta kualitas guru itu sendiri dinilai masih kurang.
Terbatasnya akses pendidikan di Indonesia, terlebih lagi di daerah berujung
kepada meningkatnya arus urbanisasi untuk mendapatkan akses ilmu yang lebih
baik di perkotaan. Selain itu, jumlah guru yang sesuai dengan kualifikasi saat
ini dinilai masih belum merata di daerah.
Menurut
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendikbud Hamid Muhammad, banyak
sekolah dasar (SD) di Indonesia kekurangan tenaga guru. Jumlahnya diperkirakan
mencapai 112 ribu guru. Untuk mengatasinya, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) akan bekerja sama dengan pemerintah daerah, baik tingkat
provinsi maupun kabupaten/ kota, dalam hal distribusi guru di daerah-daerah
supaya lebih merata. Jika manajemen guru bisa ditangani lebih optimal, tidak
parsial, maka bisa dipindahkan ke kabupaten atau daerah yang berdekatan.
Kemudian, untuk meningkatkan kualitas para guru, KEMENDIKBUD akan meningkatkan
kualifikasi guru melalui beasiswa S-1 bagi guru SD dan SMP. Jumlah guru SD di
sekolah negeri dan swasta sekitar 1.850 ribu guru. Dari jumlah tersebut, hanya
60 persen guru yang sudah memenuhi kualifikasi dengan gelar S-1, sedangkan 40
persen lainnya belum memenuhi kualifikasi. Tiap tahunnya, Kemendikbud juga
menyiapkan beasiswa untuk 100 ribu calon guru guna menempuh pendidikan S-1
melalui bantuan beasiswa S-1 untuk guru SD dan SMP.
Komisioner
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam
keterangan tertulisnya, (Rabu, 2/5/2018) mengatakan pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla dianggap belum mampu merealisasikan nawa cita atau agenda
prioritas pemerintahan. Salah satu nawa cita Jokowi-JK yang masih belum tuntas
adalah melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali
kurikulum pendidikan nasional. Karena dunia pendidikan Indonesia saat ini
sedang dalam kondisi darurat.
Komnas HAM mencatat
empat kondisi darurat pendidikan Indonesia.
Pertama,
darurat karena banyak kasus pelanggaran HAM.
Adapun
jumlah tindakan pelanggaran HAM di sekolah dan perguruan tinggi dari tahun ke
tahun terus meningkat. Peningkatan jumlah juga bisa dilihat dari ragam bentuk
pelanggaran, pelaku, korban dan modus operandinya. Data Badan Persatuan
Bangsa-Bangsa untuk Anak (UNICEF) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1
dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini menunjukkan
kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan. Data Komnas HAM, merilis
kasus dugaan pelanggaran HAM terkait isu pendidikan cenderung meningkat. Pada
2017 terdapat 19 kasus, sedangkan 2018 sampai April 2018 sudah ada 11 kasus.
Hak-hak yang dilanggar, antara lain hak atas pendidikan, hak memperoleh
keadilan, hak mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan, dan hak atas hidup. Tempat
kejadiannya ada di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, Bali
dan Nusa Tenggara.
Kedua,
darurat karena ranking pendidikan Indonesia yang buruk.
Pencapaian
nilai Programme for Internasional Student Assessment (PISA) pada 2015 berada
pada posisi 64 dari 72 negara anggota Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD). Adapun di Asia Tenggara, ranking pendidikan Indonesia nomor
5 di bawah Singapura, Brunei Darusssalam, Malaysia dan Thailand. Harusnya
ranking pendidikan Indonesia bisa sejajar dengan negara-negara maju karena
anggaran pendidikannya besar mencapai 20 persen dari APBN atau lebih dari Rp
400 triliun.
Ketiga,
kondisi darurat yang terjadi lantaran banyak kasus korupsi yang berkaitan
dengan anggaran pendidikan.
Menurut
catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada rentang waktu 2005–2016 terdapat
425 kasus korupsi terkait anggaran pendidikan dengan kerugian negara mencapai
Rp 1,3 triliun dan nilai suap Rp 55 miliar. Anggaran untuk pendidikan pada 2016
lalu jumlahnya mencapai Rp 424,7 triliun. Pelakunya melibatkan kepala dinas,
guru, kepala sekolah, anggota DPR/DPRD, pejabat kementerian, dosen, dan rektor.
Kasus terbanyak terjadi di dinas pendidikan. Adapun objek yang dikorupsi
terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK), sarana dan prasarana sekolah, dana
BOS, dana buku dan infrastruktur sekolah. Pelaku Korupsi sektor pendidikan harus
di hukum berat. Sistem pendidikan yang belum berjalan dengan baik menjadi
penyebab keempat kondisi darurat pendidikan di Indonesia. Di mana sistem
tersebut dianggap belum berjalan optimal karena kualitas guru yang rendah,
suasana pembelajaran di sekolah yang tidak kondusif.
Kurikulum
pendidikan yang membebani murid dan belum mengakomodasi keragaman budaya yang
ada di masyarakat, serta metode pendidikan yang membosankan. Belum mampu
menumbuhkembangkan potensi/bakat yang dimiliki murid. Karenanya, Komnas HAM pun
merekomendasikan kepada kementerian terkait dan berbagai pihak lainnya
melakukan langkah konkrit. Langkah itu antara lain, membentuk satuan tugas
penanganan pelanggaran HAM di sekolah dan perguruan tinggi, mengimplementasikan
Program Sekolah Ramah HAM (SRHAM). Juga meningkatkan kualitas guru dan memenuhi
tenaga guru di daerah terpencil dan terluar Indonesia, memperbaiki kurikulum
yang belum sesuai harapan masyarakat.
Kualitas Pendidikan Hingga Jumlah
Jurnal Yang Mutunya Dipertanyakan
Akses
terhadap pendidikan, terutama di tingkat dasar, menjadi salah satu persoalan
paling fundamental dalam peningkatan sumber daya manusia di sebuah negara. Di
Indonesia, urusan ini mengalami peningkatan yang baik. Namun, masalah lain
muncul dan belum terselesaikan.
1. Fokus
Awal Pembangunan Gedung Sekolah
Lowy
Institute mempublikasikan hasil studi tentang kontrasnya kuantitas dengan
kualitas pendidikan di Indonesia sejak Orde Baru hingga era demokrasi. Jika pada
1965 hingga runtuhnya Order Baru pada 1998 kebijakan pendidikan terpusat, maka
pasca 1998 masing-masing daerah sudah diberikan otonomi. Salah satu yang
menjadi fokus pengembangan pendidikan adalah pembangunan gedung-gedung sekolah.
Pemerintah juga menambah jumlah guru serta mendirikan sekolah-sekolah tingkat
lanjut. Pada 2011, ada 200.000 sekolah dan tiga juga guru di Indonesia. Angka
tersebut di luar sekolah-sekolah keagamaan, misalnya madrasah, yang bukan
menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan, melainkan Kementerian Agama.
Kemudian, jika pada 1994/1995 ada 1236 institusi pendidikan tingkat tinggi,
pada 2011/2012 jumlahnya menjadi 3815.
2. Tingkat Partisipasi
Siswa
Peneliti di
Lowy Institute menyebut upaya untuk menambah akses pendidikan di segala level
dibarengi oleh peningkatan pendapatan, perubahan demografi, niat untuk menyediakan
pendidikan gratis bagi masyarakat. Alhasil, angka tingkat partisipasi siswa pun
merangkak naik. Contohnya, sejak 1872 hingga 2015 rasio partisipasi total di
level dasar meningkat dari 85 persen hingga 105 persen. Kondisi yang sama juga
terjadi pada sekolah tingkat menengah meningkat dan atas dari 18 persen menjadi
85 persen. Sedangkan partisipasi di universitas awalnya dua persen bertambah
menjadi 24 persen.
Hal yang tak
kalah bagus adalah naiknya level partisipasi perempuan di bidang pendidikan
juga berdampak pada kesetaraan gender. Antara 1972 dan 2015, Indeks Paritas
Gender (GPI) di tingkat dasar, menengah dan tinggi meningkat secara signifikan.
3. Kuantitas
tidak sejalan kualitas
Secara
akses, memang pendidikan di Indonesia sudah membaik, tapi masalah kualitas
masih belum ditangani. Contohnya, performa para siswa secara umum dalam ujian
standar internasional tidak banyak berubah sejak 1999 hingga 2015. Untuk ujian
PISA (Programme for International Student Assessment) yang dilakukan pada 2015,
42 persen siswa Indonesia berusia 15 tahun gagal mencapai standar minimal.
Kegagalan itu terjadi di tiga area: kemampuan membaca, Matematika dan ilmu
pengetahuan.
Tragisnya,
hasil tersebut menempatkan Indonesia di bawah negara tetangga yaitu Malaysia,
Vietnam serta Thailand. Universitas di Indonesia juga tak mampu menciptakan
lulusan dengan kemampuan yang dibutuhkan industri kerja, salah satunya peran
manajerial.
Kualitas
penelitian di institusi pendidikan tinggi juga dinilai buruk oleh dunia
internasional. Peringkat universitas-universitas Indonesia juga buruk. Per
2018, dari 500 universitas, Universitas Indonesia menempati peringkat 277,
sedangkan Institut Teknologi Bandung ada di urutan 331.
4. Anggaran Pendidikan
Menjadi Penyebab
Menurut Lowy
Institute, ada empat faktor yang melatar belakangi kontrasnya kuantitas dengan
kualitas pendidikan di Indonesia.
Faktor
pertama adalah anggaran. Misalnya, pada 1995 pemerintah menganggarkan kurang
dari satu persen dana APBN untuk pendidikan. Meski dalam beberapa tahun sudah
ada penambahan anggaran, tapi jumlah itu masih kurang dibandingkan
negara-negara ASEAN lainnya. Contohnya pada 2013, anggaran pendidikan Indonesia
adalah 3,35 persen, sementara Malaysia adalah 5,47 persen.
Faktor kedua
adalah kualitas tenaga pengajar baik di tingkat sekolah dasar, menengah, atas
maupun universitas. Sebelum 2005, kurang dari 40 persen pengajar memiliki gelar
sarjana. Selain itu, sedikit dari mereka yang memiliki pengetahuan dasar
terkait mata ajaran tertentu dan seni serta strategi mengajar yang baik.
Faktor
ketiga, sistem insentif yang ada tidak membuat guru dan dosen semangat
meningkatkan kualitas pengajaran mereka. Apalagi menyajikan riset dengan
kualitas tinggi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah promosi yang terjadi
usai staf pengajar memenuhi persyaratan administratif dan bukannya kemampuan
dalam mengajar serta melakukan riset.
Faktor
terakhir adalah buruknya manajemen institusi pendidikan milik pemerintah. Tak
jarang pejabat tertentu memegang kontrol berlebihan dalam aktivitas pendidikan.
Meski desentralisasi terjadi, tapi itu tak mengubah fakta bahwa institusi
pendidikan bagian dari birokrasi yang sudah buruk.
Professor
Andrew Rosser dari Universitas Melbourne yang banyak melakukan penelitian
mengenai pembangunan di Indonesia, hari (Senin, 20/11/2017) dalam acara bernama
Lowy Institute di NGV mengatakan, Indonesia sama seperti banyak negara
berkembang lainnya sudah berhasil memberikan kesempatan bagi warganya untuk
mendapatkan pendidikan namun walau anggaran semakin besar, mutu pendidikan
anak-anak Indonesia tetap rendah dibandingkan negara-negara lain. Dunia
pendidikan di Indonesia banyak digunakan untuk kepentingan lain, sehingga hal
yang utama seperti peningkatan kemampuan murid di bidang ketrampilan dasar
seperti membaca, menulis dan matematika tidak mendapat banyak perhatian. Kualitas
pendidikan di Indonesia, khususnya dibandingkan dengan negara-negara di kawasan
yang sama, bila merujuk pada sebuah pengukuran kinerja pendidikan
internasional, atau PISA, dengan melihat kualitas pendidikan di bidang sains,
matematika, dan membaca, tidak menunjukkan perbaikan. Masalah utamanya adalah
ada perbedaan politis dalam melihat masalah kualitas pendidikan, dimana
reformasi pendidikan tidak terjadi secara menyeluruh, dan yang ada hanyalah
memiliki dan membelanjakan anggaran pendidikan yang besar.
Lowy
Institute adalah sebuah lembaga pemikir ternama di Australia dan mereka secara
teratur menyelenggarakan acara di Galeri National Victoria, dan hari Senin,
Rosser hadir bersama dengan Dr Ken Setiawan juga dari Universitas Melbourne
membicarakan masalah pendidikan di Indonesia. Acara tersebut diselenggarakan
lewat kerjasama antara Lowy dengan Departemen Pendidikan negara bagian Victoria
dengan maksud untuk melihat peluang apa yang tersedia bagi kalangan pendidikan
di Australia untuk masuk ke dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Seperti yang
diketahui, anggaran untuk pendidikan dalam APBN kini telah mencapai hampir 20
persen. Dalam studi yang dilakukan oleh Profesor Rosser menemukan adanya
pengeluaran yang meningkat di bidang pendidikan adalah untuk meningkatkan gaji
guru. Tetapi hasil studi bagaimana dampak dari program sertifikasi guru
misalnya, hanya sedikit membantu kemampuan guru atau untuk meningkatkan hasil
dari pengajaran.
Upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sangatlah kompleks. Penelitian yang
menggunakan kacamata politik ekonomi untuk melihat masalah kualitas itu,
menjadi kunci variable politik, bagaimana pemerintah pusat membuat komitmen
untuk melakukan reformasi dari atas dan bagaimana melaksanakannya hingga ke
lapisan terbawah. Para ekonom dan ahli pendidikan lebih terfokus pada masalah
biaya dan anggaran, insentif bagi guru. Itu semua tentu saja penting, tapi yang
dibutuhkan adalah komitmen politis untuk melakukan sesuatu. Jadi, jika kita
memahami apa yang menjadi hambatan dalam meningkatkan kualitas, kita
benar-benar harus mengatasinya secara politis.
Profesor
Rosser mengatakan terkait dengan Australia, sebagai tetangga terdekat dan telah
memiliki hubungan bisnis dan komersial, tantangannya adalah bukan hanya sekedar
mencari pangsa pasar. Untuk memasuki pasar pendidikan di Indonesia, terlepas
dari bermitra atau membuka universitas di Indonesia, misalnya, perlu memahami
dalam konteks politik dan dinamika perubahannya. Bisnis pendidikan tidak
seharusnya hanya memperhatikan dari aspek peraturan kontraknya saja, atau hanya
melihat dari sisi ekonominya saja, tetapi juga ikut membantu meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia.
Prof Rosser
juga menyoroti mengenai usaha yang dilakukan di dunia perguruan tinggi untuk
mendorong para dosen untuk menerbitkan penelitian mereka di jurnal
internasional. Yang paling banyak dilakukan sekarang oleh dosen di Indonesia
adalah memuat penelitan atau karya tulis mereka yang bisa dilihat di Scopus,
data base internasional penelitian yang bisa dilihat dan dikaji oleh peneliti
lain. Dari sisi jumlah, angkanya meningkat tajam. Namun, tulisan yang dimuat
oleh para dosen Indonesia kebanyakan berdasarkan tulisan yang sebelumnya
dibicarakan dalam seminar dan kemudian dimuat di jurnal-jurnal yang kualitasnya
diragukan.
SUMBER :
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan