KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Thursday, 5 July 2018

Pendidikan Di Indonesia, Akses Mudah Tapi Belum Bermutu

Posted by   on Pinterest


Peringkat Pendidikan Indonesia

Dunia pendidikan Indonesia patut berbangga, Indonesia masuk peringkat pendidikan dunia atau World Education Ranking yang diterbitkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menentukan, di posisi mana suatu negara maju dalam segi pendidikan. Peringkat tersebut menentukan negara mana yang terbaik dari segi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan. Seperti yang dilansir The Guardian, Indonesia menempati urutan ke 57 dari total 65 negara.

Berdasarkan laporan tahunan UNESCO Education For All Global Monitoring Report 2012Di dunia internasional, kualitas pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120 negara di seluruh dunia. Sedangkan berdasarkan Indeks Perkembangan Pendidikan (Education Development Index, EDI), Indonesia berada pada peringkat ke-69 dari 127 negara pada 2011.

Menurut laporan Program for International Student Assessment (PISA) 2015 - program yang mengurutkan kualitas sistem pendidikan di 72 negara, - Indonesia menduduki peringkat 62. Dua tahun sebelumnya (PISA 2013), Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah atau peringkat 71. Menurut laporan OECD, Indonesia mendapatkan nilai membaca 402, matematika 371, dan ilmu pengetahuan alam 383. Peringkat pendidikan dunia tersebut berkaitan dengan (PISA). PISA merupakan program yang dihormati di seluruh dunia, dan memungkinkan politisi dan pembuat kebijakan untuk menilai perbedaan sistem pendidikan di berbagai negara.

Inggris posisinya digantikan Polandia dan Norwegia. Sementara Inggris berada di peringkat 25 untuk membaca, 28 untuk matematika, dan 16 untuk ilmu pengetahuan. Pada tahun 2006, ketika 57 negara dilibatkan dalam penelitian tersebut, Inggris menempati peringkat ke 17, 24 dan 14. Polandia lebih maju dibanding Inggris dalam bidang matematika, sementara Norwegia memiliki peringkat lebih tinggi dalam membaca dan matematika.

Andreas Shleicher, Kepala Program PISA mengatakan, gambar peringkat untuk Inggris dengan ungkapan “tenggelam”. “Banyak negara-negara lain telah melihat peningkatan yang cukup signifikan. PISA membuat peringkat tersebut dengan cara menguji pelajar usia 15 tahun untuk mengetahui apakah mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan - di bidang ilmu pengetahuan alam, membaca, dan matematika - yang diperlukan agar bisa berpartisipasi penuh dalam masyarakat modern. PISA berlandaskan asumsi bahwa seseorang bisa sukses di ekonomi modern bukan karena apa yang mereka tahu, tetapi apa yang bisa mereka lakukan dengan apa yang mereka tahu.

Sekretaris Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Dr. Ir. Patdono Suwignjo, M. Eng, Sc di Jakarta mengatakan berdasarkan data KEMENDIKBUD 2010, di Indonesia terdapat lebih dari 1,8 juta anak setiap tahun tidak dapat melanjutkan pendidikan. Kasus putus sekolah anak – anak usia sekolah di Indonesia juga masih tinggi Hal ini disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor ekonomi; anak–anak terpaksa bekerja untuk mendukung ekonomi keluarga; dan pernikahan di usia dini.
Dalam laporan terbaru Program Pembangunan PBB tahun 2013, Indonesia menempati posisi 121 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan angka 0,629. Dengan angka itu Indonesia tertinggal dari dua negara tetangga ASEAN yaitu Malaysia (peringkat 64) dan Singapura (18), sedangkan IPM di kawasan Asia Pasifik adalah 0,683.

Dalam perkembangan pendidikan Indonesia, pemerintah telah melaksanakan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan guna menghadapi persaingan bebas dunia yang akan segera berlaku dengan terwujudnya komunitas ASEAN pada tahun 2015 mendatang.

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Musliar Kasim mengatakan, untuk meringankan beban serta memperkokoh dasar pendidikan pada siswa Indonesia, KEMDIKBUD memastikan akan sepenuhnya memberlakukan Kurikulum 2013 mulai tahun 2014, bahkan sudah menyiapkan anggaran untuk mendukung operasional kurikulum tersebut. Kurikulum 2013 merupakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berfokus pada penguasaan pengetahuan yang kontekstual sesuai daerah dan lingkungan masing-masing.  Kurikulum tersebut menitikberatkan penilaian siswa pada tiga hal: sikap (jujur, santun, disiplin), keterampilan (melalui tugas praktek/ proyek sekolah), dan pengetahuan keilmuan. Pada tingkat dasar seperti SD, kurikulum ini lebih fokus pada pembentukan sikap dan keterampilan  hidup,  sedangkan keilmuannya lebih 'ringan' daripada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pada tingkat lanjutan seperti SMP dan SMA, porsi penguasaan keilmuan lebih ditingkatkan karena pribadi murid dianggap sudah terbentuk pada tingkat dasar. Menurut Musliar, kurikulum baru akan diterapkan pada siswa SD kelas 1, 2, 4 dan 5; siswa SMP kelas 8 dan 9; serta siswa SMA kelas 10 dan 11.

Pemerintah tidak akan mencetak buku bahan ajar. Seperti pelaksanaan pada tahun sebelumnya, KEMENDIKBUD akan mengunggah buku bahan ajar ke dalam situs internet. Kemendikbud akan menetapkan harga eceran tertinggi atas buku yang ditargetkan akan beredar bebas tersebut. Kurikulum 2013 sendiri sebenarnya sudah dilaksanakan sejak pertengahan tahun 2013 di sejumlah sekolah yang telah diseleksi, meski sempat dikritik karena pelaksanaannya terkesan dipaksakan. 

Kendala Darurat Pendidikan Indonesia

Dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki beberapa kendala yang berkaitan dengan mutu pendidikan diantaranya adalah keterbatasan akses pada pendidikan, jumlah guru yang belum merata, serta kualitas guru itu sendiri dinilai masih kurang. Terbatasnya akses pendidikan di Indonesia, terlebih lagi di daerah berujung kepada meningkatnya arus urbanisasi untuk mendapatkan akses ilmu yang lebih baik di perkotaan. Selain itu, jumlah guru yang sesuai dengan kualifikasi saat ini dinilai masih belum merata di daerah.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendikbud Hamid Muhammad, banyak sekolah dasar (SD) di Indonesia kekurangan tenaga guru. Jumlahnya diperkirakan mencapai 112 ribu guru. Untuk mengatasinya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan bekerja sama dengan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota, dalam hal distribusi guru di daerah-daerah supaya lebih merata. Jika manajemen guru bisa ditangani lebih optimal, tidak parsial, maka bisa dipindahkan ke kabupaten atau daerah yang berdekatan. Kemudian, untuk meningkatkan kualitas para guru, KEMENDIKBUD akan meningkatkan kualifikasi guru melalui beasiswa S-1 bagi guru SD dan SMP. Jumlah guru SD di sekolah negeri dan swasta sekitar 1.850 ribu guru. Dari jumlah tersebut, hanya 60 persen guru yang sudah memenuhi kualifikasi dengan gelar S-1, sedangkan 40 persen lainnya belum memenuhi kualifikasi. Tiap tahunnya, Kemendikbud juga menyiapkan beasiswa untuk 100 ribu calon guru guna menempuh pendidikan S-1 melalui bantuan beasiswa S-1 untuk guru SD dan SMP.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam keterangan tertulisnya, (Rabu, 2/5/2018) mengatakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dianggap belum mampu merealisasikan nawa cita atau agenda prioritas pemerintahan. Salah satu nawa cita Jokowi-JK yang masih belum tuntas adalah melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. Karena dunia pendidikan Indonesia saat ini sedang dalam kondisi darurat.

Komnas HAM mencatat empat kondisi darurat pendidikan Indonesia.

Pertama, darurat karena banyak kasus pelanggaran HAM.
Adapun jumlah tindakan pelanggaran HAM di sekolah dan perguruan tinggi dari tahun ke tahun terus meningkat. Peningkatan jumlah juga bisa dilihat dari ragam bentuk pelanggaran, pelaku, korban dan modus operandinya. Data Badan Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UNICEF) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini menunjukkan kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan. Data Komnas HAM, merilis kasus dugaan pelanggaran HAM terkait isu pendidikan cenderung meningkat. Pada 2017 terdapat 19 kasus, sedangkan 2018 sampai April 2018 sudah ada 11 kasus. Hak-hak yang dilanggar, antara lain hak atas pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan, dan hak atas hidup. Tempat kejadiannya ada di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara.

Kedua, darurat karena ranking pendidikan Indonesia yang buruk.
Pencapaian nilai Programme for Internasional Student Assessment (PISA) pada 2015 berada pada posisi 64 dari 72 negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Adapun di Asia Tenggara, ranking pendidikan Indonesia nomor 5 di bawah Singapura, Brunei Darusssalam, Malaysia dan Thailand. Harusnya ranking pendidikan Indonesia bisa sejajar dengan negara-negara maju karena anggaran pendidikannya besar mencapai 20 persen dari APBN atau lebih dari Rp 400 triliun.

Ketiga, kondisi darurat yang terjadi lantaran banyak kasus korupsi yang berkaitan dengan anggaran pendidikan.
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada rentang waktu 2005–2016 terdapat 425 kasus korupsi terkait anggaran pendidikan dengan kerugian negara mencapai Rp 1,3 triliun dan nilai suap Rp 55 miliar. Anggaran untuk pendidikan pada 2016 lalu jumlahnya mencapai Rp 424,7 triliun. Pelakunya melibatkan kepala dinas, guru, kepala sekolah, anggota DPR/DPRD, pejabat kementerian, dosen, dan rektor. Kasus terbanyak terjadi di dinas pendidikan. Adapun objek yang dikorupsi terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK), sarana dan prasarana sekolah, dana BOS, dana buku dan infrastruktur sekolah. Pelaku Korupsi sektor pendidikan harus di hukum berat. Sistem pendidikan yang belum berjalan dengan baik menjadi penyebab keempat kondisi darurat pendidikan di Indonesia. Di mana sistem tersebut dianggap belum berjalan optimal karena kualitas guru yang rendah, suasana pembelajaran di sekolah yang tidak kondusif.

Kurikulum pendidikan yang membebani murid dan belum mengakomodasi keragaman budaya yang ada di masyarakat, serta metode pendidikan yang membosankan. Belum mampu menumbuhkembangkan potensi/bakat yang dimiliki murid. Karenanya, Komnas HAM pun merekomendasikan kepada kementerian terkait dan berbagai pihak lainnya melakukan langkah konkrit. Langkah itu antara lain, membentuk satuan tugas penanganan pelanggaran HAM di sekolah dan perguruan tinggi, mengimplementasikan Program Sekolah Ramah HAM (SRHAM). Juga meningkatkan kualitas guru dan memenuhi tenaga guru di daerah terpencil dan terluar Indonesia, memperbaiki kurikulum yang belum sesuai harapan masyarakat.

Kualitas Pendidikan Hingga Jumlah Jurnal Yang Mutunya Dipertanyakan

Akses terhadap pendidikan, terutama di tingkat dasar, menjadi salah satu persoalan paling fundamental dalam peningkatan sumber daya manusia di sebuah negara. Di Indonesia, urusan ini mengalami peningkatan yang baik. Namun, masalah lain muncul dan belum terselesaikan.

1. Fokus Awal Pembangunan Gedung Sekolah
Lowy Institute mempublikasikan hasil studi tentang kontrasnya kuantitas dengan kualitas pendidikan di Indonesia sejak Orde Baru hingga era demokrasi. Jika pada 1965 hingga runtuhnya Order Baru pada 1998 kebijakan pendidikan terpusat, maka pasca 1998 masing-masing daerah sudah diberikan otonomi. Salah satu yang menjadi fokus pengembangan pendidikan adalah pembangunan gedung-gedung sekolah. Pemerintah juga menambah jumlah guru serta mendirikan sekolah-sekolah tingkat lanjut. Pada 2011, ada 200.000 sekolah dan tiga juga guru di Indonesia. Angka tersebut di luar sekolah-sekolah keagamaan, misalnya madrasah, yang bukan menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan, melainkan Kementerian Agama. Kemudian, jika pada 1994/1995 ada 1236 institusi pendidikan tingkat tinggi, pada 2011/2012 jumlahnya menjadi 3815.

2. Tingkat Partisipasi Siswa
Peneliti di Lowy Institute menyebut upaya untuk menambah akses pendidikan di segala level dibarengi oleh peningkatan pendapatan, perubahan demografi, niat untuk menyediakan pendidikan gratis bagi masyarakat. Alhasil, angka tingkat partisipasi siswa pun merangkak naik. Contohnya, sejak 1872 hingga 2015 rasio partisipasi total di level dasar meningkat dari 85 persen hingga 105 persen. Kondisi yang sama juga terjadi pada sekolah tingkat menengah meningkat dan atas dari 18 persen menjadi 85 persen. Sedangkan partisipasi di universitas awalnya dua persen bertambah menjadi 24 persen.

Hal yang tak kalah bagus adalah naiknya level partisipasi perempuan di bidang pendidikan juga berdampak pada kesetaraan gender. Antara 1972 dan 2015, Indeks Paritas Gender (GPI) di tingkat dasar, menengah dan tinggi meningkat secara signifikan.

3. Kuantitas tidak sejalan kualitas
Secara akses, memang pendidikan di Indonesia sudah membaik, tapi masalah kualitas masih belum ditangani. Contohnya, performa para siswa secara umum dalam ujian standar internasional tidak banyak berubah sejak 1999 hingga 2015. Untuk ujian PISA (Programme for International Student Assessment) yang dilakukan pada 2015, 42 persen siswa Indonesia berusia 15 tahun gagal mencapai standar minimal. Kegagalan itu terjadi di tiga area: kemampuan membaca, Matematika dan ilmu pengetahuan.

Tragisnya, hasil tersebut menempatkan Indonesia di bawah negara tetangga yaitu Malaysia, Vietnam serta Thailand. Universitas di Indonesia juga tak mampu menciptakan lulusan dengan kemampuan yang dibutuhkan industri kerja, salah satunya peran manajerial.

Kualitas penelitian di institusi pendidikan tinggi juga dinilai buruk oleh dunia internasional. Peringkat universitas-universitas Indonesia juga buruk. Per 2018, dari 500 universitas, Universitas Indonesia menempati peringkat 277, sedangkan Institut Teknologi Bandung ada di urutan 331.

4. Anggaran Pendidikan Menjadi Penyebab

Menurut Lowy Institute, ada empat faktor yang melatar belakangi kontrasnya kuantitas dengan kualitas pendidikan di Indonesia.
Faktor pertama adalah anggaran. Misalnya, pada 1995 pemerintah menganggarkan kurang dari satu persen dana APBN untuk pendidikan. Meski dalam beberapa tahun sudah ada penambahan anggaran, tapi jumlah itu masih kurang dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Contohnya pada 2013, anggaran pendidikan Indonesia adalah 3,35 persen, sementara Malaysia adalah 5,47 persen.
Faktor kedua adalah kualitas tenaga pengajar baik di tingkat sekolah dasar, menengah, atas maupun universitas. Sebelum 2005, kurang dari 40 persen pengajar memiliki gelar sarjana. Selain itu, sedikit dari mereka yang memiliki pengetahuan dasar terkait mata ajaran tertentu dan seni serta strategi mengajar yang baik.
Faktor ketiga, sistem insentif yang ada tidak membuat guru dan dosen semangat meningkatkan kualitas pengajaran mereka. Apalagi menyajikan riset dengan kualitas tinggi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah promosi yang terjadi usai staf pengajar memenuhi persyaratan administratif dan bukannya kemampuan dalam mengajar serta melakukan riset.
Faktor terakhir adalah buruknya manajemen institusi pendidikan milik pemerintah. Tak jarang pejabat tertentu memegang kontrol berlebihan dalam aktivitas pendidikan. Meski desentralisasi terjadi, tapi itu tak mengubah fakta bahwa institusi pendidikan bagian dari birokrasi yang sudah buruk.

Professor Andrew Rosser dari Universitas Melbourne yang banyak melakukan penelitian mengenai pembangunan di Indonesia, hari (Senin, 20/11/2017) dalam acara bernama Lowy Institute di NGV mengatakan, Indonesia sama seperti banyak negara berkembang lainnya sudah berhasil memberikan kesempatan bagi warganya untuk mendapatkan pendidikan namun walau anggaran semakin besar, mutu pendidikan anak-anak Indonesia tetap rendah dibandingkan negara-negara lain. Dunia pendidikan di Indonesia banyak digunakan untuk kepentingan lain, sehingga hal yang utama seperti peningkatan kemampuan murid di bidang ketrampilan dasar seperti membaca, menulis dan matematika tidak mendapat banyak perhatian. Kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya dibandingkan dengan negara-negara di kawasan yang sama, bila merujuk pada sebuah pengukuran kinerja pendidikan internasional, atau PISA, dengan melihat kualitas pendidikan di bidang sains, matematika, dan membaca, tidak menunjukkan perbaikan. Masalah utamanya adalah ada perbedaan politis dalam melihat masalah kualitas pendidikan, dimana reformasi pendidikan tidak terjadi secara menyeluruh, dan yang ada hanyalah memiliki dan membelanjakan anggaran pendidikan yang besar.

Lowy Institute adalah sebuah lembaga pemikir ternama di Australia dan mereka secara teratur menyelenggarakan acara di Galeri National Victoria, dan hari Senin, Rosser hadir bersama dengan Dr Ken Setiawan juga dari Universitas Melbourne membicarakan masalah pendidikan di Indonesia. Acara tersebut diselenggarakan lewat kerjasama antara Lowy dengan Departemen Pendidikan negara bagian Victoria dengan maksud untuk melihat peluang apa yang tersedia bagi kalangan pendidikan di Australia untuk masuk ke dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Seperti yang diketahui, anggaran untuk pendidikan dalam APBN kini telah mencapai hampir 20 persen. Dalam studi yang dilakukan oleh Profesor Rosser menemukan adanya pengeluaran yang meningkat di bidang pendidikan adalah untuk meningkatkan gaji guru. Tetapi hasil studi bagaimana dampak dari program sertifikasi guru misalnya, hanya sedikit membantu kemampuan guru atau untuk meningkatkan hasil dari pengajaran.

Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sangatlah kompleks. Penelitian yang menggunakan kacamata politik ekonomi untuk melihat masalah kualitas itu, menjadi kunci variable politik, bagaimana pemerintah pusat membuat komitmen untuk melakukan reformasi dari atas dan bagaimana melaksanakannya hingga ke lapisan terbawah. Para ekonom dan ahli pendidikan lebih terfokus pada masalah biaya dan anggaran, insentif bagi guru. Itu semua tentu saja penting, tapi yang dibutuhkan adalah komitmen politis untuk melakukan sesuatu. Jadi, jika kita memahami apa yang menjadi hambatan dalam meningkatkan kualitas, kita benar-benar harus mengatasinya secara politis.

Profesor Rosser mengatakan terkait dengan Australia, sebagai tetangga terdekat dan telah memiliki hubungan bisnis dan komersial, tantangannya adalah bukan hanya sekedar mencari pangsa pasar. Untuk memasuki pasar pendidikan di Indonesia, terlepas dari bermitra atau membuka universitas di Indonesia, misalnya, perlu memahami dalam konteks politik dan dinamika perubahannya. Bisnis pendidikan tidak seharusnya hanya memperhatikan dari aspek peraturan kontraknya saja, atau hanya melihat dari sisi ekonominya saja, tetapi juga ikut membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Prof Rosser juga menyoroti mengenai usaha yang dilakukan di dunia perguruan tinggi untuk mendorong para dosen untuk menerbitkan penelitian mereka di jurnal internasional. Yang paling banyak dilakukan sekarang oleh dosen di Indonesia adalah memuat penelitan atau karya tulis mereka yang bisa dilihat di Scopus, data base internasional penelitian yang bisa dilihat dan dikaji oleh peneliti lain. Dari sisi jumlah, angkanya meningkat tajam. Namun, tulisan yang dimuat oleh para dosen Indonesia kebanyakan berdasarkan tulisan yang sebelumnya dibicarakan dalam seminar dan kemudian dimuat di jurnal-jurnal yang kualitasnya diragukan.

SUMBER :

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat