KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Friday, 6 July 2018

Emejing! Mahasiswa Indonesia Berlomba-lomba Mengatasi Pencemaran Limbah B3

Posted by   on Pinterest


Mengubah Logam Kromium 6 Menjadi Logam Yang Lebih Ramah Lingkungan

Di Indonesia, permasalahan pencemaran lingkungan seolah tak ada habisnya, terutama masalah pencemaran limbah beracun dan berbahaya (B3). Salah satu cara mengatasi pencemaran limbah B3 itu dengan konsep green technology menjadikan limbah B3 sebagai bahan baku batu bata tanpa pembakaran. Melalui berbagai pengujian, batu bata dari limbah B3 ini memiliki kualitas standar, murah, praktis, dan ramah lingkungan.

Penggunaan mesin otomotif yang membutuhkan teknik metalurgi menyebabkan limbah kromium VI terus meningkat. Padahal, limbah ini sangat berbahaya bagi lingkungan (B3). Berawal dari limbah berbahaya bagi lingkungan yang kerap dihasilkan Industri penyepuhan,vtiga mahasiswa Departemen Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya berhasil mengubah logam Kromium 6 menjadi logam yang lebih ramah lingkungan. Ketiganya ialah Wulan Aulia, Rahadian Abdul Rachman, dan Ulva Tri Ita Martia.

Ketua tim, Wulan Aulia (Jumat, 22/6/2018) mengatakan penggunaan logam kromium saat ini banyak digunakan dalam industri penyepuhan untuk menghindari terjadinya korosi. Banyaknya penggunaan logam kromium itu akan berdampak buruk jika limbahnya tidak diolah dengan baik, dampaknya seperti menyebabkan mutagen pada manusia serta proses pertumbuhan tanaman di sekitar pembuangan limbah akan terhambat. Agar limbah dari logam kromium 6 tidak lagi berbahaya, timnya mereduksinya menjadi logam kromium 3 dengan sistem Microbial Fuel Cell (MFC). Prinsip kerjanya yaitu logam Kromium direduksi terlebih dahulu kemudian dilakukan absorbs.

MFC sendiri merupakan sebuah sistem kimia elektrik biologis yang mampu menghasilkan listrik menggunakan bakteri. Bakteri yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae yang diletakkan dalam sistem reaktor. Sistem ini kemudian membutuhkan listrik yang bergerak dalam kutub katoda dalalm reaktor untuk kemudian mampu mereduksi limbah. Teknologi ini telah banyak digunakan dalam sistem pengolahan air limbah di abad 21. Itu sebabnya, teknik ini dapat digunakan unguk logam berat lain yang banyak ditemukan di lingkungan pertambangan seperti Timbal (Pb) dan Merkuri (Hg).
Pereduksian menjadi logam kromium 3, dinilai memiliki toksisitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kromium 6. Sedangkan untuk ukurannya sendiri, kromium 3 memiliki ukuran molekul yang lebih kecil. Ukuran molekul yang kecil ini akan membantu pada proses penyerapan saat limbah kromium 6 tidak dapat tereduksi. Dalam hal ini, timnya menggunakan material adsorbsi Zeolit Y untuk menyerap limbah dari logam kromium 6 yang tak tereduksi.

Permukaan sisi aktif dari Zeolit Y yang luas akan meningkatkan kinerja dari penyerapan limbah logam kromium 6. Mekanismenya dimulai dari menambahkan sumber bakteri Saccharomyces cerevisiae pada kutub anoda sistem reaktor. Kemudian, elektron yang dihasilkan akan bergerak menuju kutub katoda. Pada kutub katoda ini, limbah kromium 6 yang terkumpul akan diserap oleh Zeolit Y. Dalam prosesnya, variasi waktu penyerapan dilakukan setiap selang 15 menit hingga dua jam. Di setiap menitnya, dilakukan pengukuran kadar logam kromium yang telah terserap oleh Zeolit Y. Penelitian itu tidak hanya diperuntukkan logam kromium. Reduksi juga bisa dilakukan untuk logam yang memiliki toksisitas tinggi seperti timbal (Pb) dan merkuri (Hg).

Melalui inovasi tersebut, Wulan bersama timnya berharap bisa meraih medali emas pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) yang bakal digelar pada Agustus 2018 mendatang.

Menjadikan Limbah B3 Sebagai Bahan Baku Batu Bata Tanpa Pembakaran.

Di Indonesia, permasalahan pencemaran lingkungan seolah tak ada habisnya, terutama masalah pencemaran limbah beracun dan berbahaya (B3). Mahasiswa prodi Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga mengatasi pencemaran limbah B3 itu dengan konsep green technology menjadikan limbah B3 sebagai bahan baku batu bata tanpa pembakaran.

Sri Eka Dewi F Sukarelawati, Vindi E Fatikasari, dan Wildani Mahmudah yang menjadikan penelitian B3 ini mampu didanai Kemenristekdikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2018 untuk bidang penelitian eksakta (PKMPE).

Ketua Tim, Sri Eka, (surya.co.id, Kamis, 21/6/2018), mengungkapkan melalui berbagai pengujian, batu bata dari limbah B3 ini memiliki kualitas standar, murah, praktis, dan ramah lingkungan. Penelitian mereka yang berjudul Potensi Limbah B3 Iron Slag Sebagai Bahan Baku Batu Bata dengan Konsep Green Technology” ini dilakukan usai melihat aksi long march warga Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Aksi ini menyuarakan dugaan pencemaran limbah B3 oleh sebuah perusahaan pengolah limbah B3 yang dilapokan kepada Gubernur Jawa Timur.

Limbah B3, merupakan zat sisa suatu usaha atau kegiatan yang karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya, baik langsung dan tidak langsung dapat mencemarkan dan merusak lingkungan hidup. Jika tidak dilakukan pengolahan, limbah B3 dapat mengubah kualitas lingkungan.

Teknologi dalam penelitian Sri Eka dan teman-temannya ini adalah stabilisasi-solidifikasi, untuk mengurangi dan menghilangkan karakteristik limbah B3 agar tidak berbahaya. Salah satu caranya ya diolah menjadi batu bata yang pembuatannya tidak melalui pembakaran. Sebab pembakaran batu bata menggunakan kayu bakar atau batu bara juga menimbulkan masalah lingkungan tersendiri, yaitu polusi udara akibat timbulnya gas karbondioksida yang tidak ramah lingkungan. Selain polusi udara, pembuatan batu bata tanpa pembakaran dapat mengurangi biaya pembuatannya, tidak berketergantungan dengan cuaca namun menghasilkan produk dengan kualitas standar, murah, praktis dan ramah lingkungan.

Dengan konsep green technology tanpa pembakaran, dalam pembuatan batu bara dilakukan penambahan kapur, semen, dan soil hardener powder. Bahan tambahan itu berfungsi untuk pemadatan bata dan mempercepat waktu pengeringan. Penelitian ini merupakan inovasi dari beberapa penelitian sebelumnya yang mengolah limbah B3 iron slag menjadi batako. Selain itu mengolah B3 iron slag menjadi batu bata merah karena pembuatannya lebih mudah dari pada jenis bata lainnya.

Selain iron slag juga terdapat bahan sludge kertas sebagai perekat dalam pembuatan batu bata ini. Berdasarkan eksperimen dalam penelitian ini ditemukan tiga variasi terbaik dengan nilai kandungan logam berat Zn yang berbahaya. Setelah proses stabilisasi-solidifikasi ditemukan nilainya dibawah baku mutu berdasarkan ketetapan peraturan yang berlaku. Jadi hal ini membuktikan hasil penelitian PKM-PE kami ini aman untuk dimanfaatkan secara internal oleh pihak penghasil limbah dan pihak pengolah limbah sebagai solusi pengurangan timbunan limbah di landfill.

Demikian hasil penelitian tiga mahasiswa prodi Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, yaitu Sri Eka Dewi F. Sukarelawati, Vindi E. Fatikasari, dan Wildani Mahmudah. Laporan mereka dalam judul “Potensi Limbah B3 Iron Slag Sebagai Bahan Baku Batu Bata dengan Konsep Green Technology”, berhasil lolos seleksi dan memperoleh hibah penelitian Kemenristekdikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2018 untuk bidang penelitian eksakta (PKMPE).

Penelitian mahasiswa FST UNAIR itu dilakukan berangkat dari aksi long march warga Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto yang menyuarakan dugaan pencemaran limbah B3 oleh sebuah perusahaan pengolah limbah B3 yang dilapokan kepada gubernur Jawa Timur.

Menurut Sri Eka Dewi FS, ketua tim PKMPE UNAIR ini, limbah B3 merupakan zat sisa suatu usaha/kegiatan yang karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya, baik langsung dan tidak langsung dapat mencemarkan dan merusak lingkungan hidup. Jika tidak dilakukan pengolahan, limbah B3 dapat mengubah kualitas lingkungan. Pengolahan dimaksud adalah proses mengubah jenis, jumlah, dan karakteristik limbah menjadi tidak berbahaya dan tidak beracun.

Teknologi dalam penelitian Sri Eka Dewi Dkk ini adalah stabilisasi-solidifikasi, untuk mengurangi dan menghilangkan karakteristik limbah B3 agar tidak berbahaya. Salah satunya diolah menjadi batu bata yang pembuatannya tidak melalui pembakaran. Sebab pembakaran batu bata menggunakan kayu bakar atau batu bara juga menimbulkan masalah lingkungan tersendiri, yaitu polusi udara akibat timbulnya gas karbondioksida (CO2) yang tidak ramah lingkungan.

Selain polusi udara, pembuatan batu bata tanpa pembakaran dapat mengurangi biaya pembuatannya, tidak berketergantungan dengan cuacanamun menghasilkan produk dengan kualitas standar, murah, praktis dan ramah lingkungan. Dengan konsep green technology tanpa pembakaran, sehingga dalam pembuatannya dengan penambahan kapur, semen, dan soil hardener powder. Bahan tambahan itu berfungsi untuk pemadatan bata dan mempercepat waktu pengeringan.

Penelitian ini merupakan inovasi dari beberapa penelitian sebelumnya yang mengolah limbah B3 iron slag menjadi batako. Selain itu mengolah B3 iron slag menjadi batu bata merah karena pembuatannya lebih mudah dari pada jenis bata lainnya. Selain iron slag juga terdapat bahan sludge kertas sebagai perekat dalam pembuatan batu bata ini. Pengujian kualitas atas hasil batu bata itu diantaranya uji pandangan luar, uji ukuran dan toleransi, uji kuat tekan, uji garam yang membahayakan, uji kerapatan semu, uji penyerapan air,  dan uji TCLP dengan variasi bahan yang digunakan yaitu campuran antara iron slag, sludge kertas dan bahan pemadat.

Berdasarkan eksperimen dalam penelitian ini ditemukan tiga variasi terbaik dengan nilai kandungan logam berat Zn yang berbahaya. Setelah proses stabilisasi-solidifikasi ditemukan nilainya dibawah baku mutu berdasarkan ketetapan PP No.101 Tahun 2014. Jadi hal ini membuktikan bahwa hasil penelitian PKM-PE kami ini aman untuk dimanfaatkan secara internal oleh pihak penghasil limbah dan pihak pengolah limbah sebagai solusi pengurangan timbunan limbah di landfill.

Industri pengolahan batu bara di Indonesia masih menjadi industri yang diandalkan. Perkembangannya pun masih terbilang pesat. Namun tak bisa dipungkiri memang bahwa industri ini diikuti produk samping berupa limbah cair. Layaknya sampah produksi lainnya, limbah cair batu bara pun jika tidak dikelola dengan baik bisa berdampak buruk pada kelestarian lingkungan. Selain itu juga menyebabkan pencemaran yang bisa mengancam kesehatan makhluk hidup.

Nanokomposit Titani Nanotube (Tint)-Graphene, Prototipe Untuk Mendegradasi Kandungan Berbahaya Di Limbah Cair Batu Bara

Tiga mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) menciptakan sebuah prototipe berupa Nanokomposit Titani Nanotube (TiNT)-Graphene yang optimal untuk mendegradasi kandungan berbahaya di limbah cair batu bara. Temuan mereka ini secara simultan juga mampu menghasilkan hidrogen. Dengan begitu, limbah cair batu bara yang berbahaya tadi dapat secara aman dibuang ke lingkungan dan menjadi penghasil salah satu energi terbarukan serta ramah lingkungan yang bermanfaat bagi masyarakat. Ketiga mahasiswa itu adalah Raudina (Teknik Kimia), Barneus Wanglie Sugianto (Teknik Kimia), dan Isni Nur Sadrina (Teknologi Bioproses). Di bawah bimbingan Guru Besar Fakultas Teknik UI Prof. Slamet, mereka berhasil menghasilkan teknologi ini sebagai salah satu alternatif pengolahan limbah cair batu bara.

Raudina, dalam keterangan pers yang diterima Fakta.News, menyebut bahwa limbah cair batu bara mengandung senyawa fenol dan turunannya. Kontaminasi fenol pada manusia dapat menyebabkan sejumlah penyakit di antaranya iritasi, kerusakan hati dan ginjal, gangguan saraf, hingga penyakit kronis yang bersifat karsinogenik (yang menyebabkan kanker) dan teratogenik (menyebabkan cacat kelahiran). Temuan ini merupakan suatu metode efektif agar dapat mendegradasi senyawa fenolik yang terdapat pada limbah cair batu bara. Jadi dapat secara aman dibuang ke lingkungan dengan menggunakan material lokal.

Adapun material lokal nanokomposit mereka manfaatkan dan diuji sedemikian rupa menjadi satu nilai tambah dari teknologi karya mereka. Terlebih, selain bahan lokal itu tadi, juga dapat meningkatkan nilai keekonomisan. Sementara sebagai salah satu output dari teknologi ini, hidrogen diyakini mampu menjadi salah satu alternatif energi terbarukan yang akan terus berkembang dan ramai digunakan di masa depan lantaran tidak menghasilkan emisi karbon dan menghasilkan energi yang cukup besar. Belum lagi hidrogen juga tidak beracun, bukan merupakan gas rumah kaca, dan dipercaya merupakan satu-satunya bahan bakar alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan negara pada bahan bakar fosil. Selain itu hidrogen juga disebut sebagai pembawa energi bersih karena pembakarannya menghasilkan air sebagai produk sampingnya.

Raudina dan timnya berharap hasil penelitian mereka mampu berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam hal pengelolaan limbah cair batu bara, produksi hidrogen, dan nanokomposit berbahan lokal. Selain itu, mereka juga berharap penelitiannya dapat menjadi dasar dalam pengembangan skala industri dalam pengolahan limbah cair batu bara dan produksi hidrogen, sebagai energi terbarukan dan menuntaskan permasalahan pencemaran akibat limbah cair batu bara.

Inovasi Teknologi Pengolah Limbah

Lima mahasiswa UGM berhasil membuat inovasi teknologi pengolah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang bersifat portabel. Mereka adalah Vania Erizza (FKG), Gita Prasulistiyono Putra (FEB), M. Bisyri Lathif (FEB), Ahmad Widardi (FMIPA), dan Pandu Dwijayanto (FT).

Gita saat berbincang dengan wartawan di Ruang Fortakgama UGM menyampaikan pengembangan Medigold berawal dari banyaknya keluhan pengelola klinik kesehatan kecil dan menengah yang mengaku kesulitan dalam mengolah limbah medis. Meskipun telah banyak dipasarkan alat pengolah limbah mandiri yang dapat membantu mengatasi persoalan tersebut, namun harganya relatif mahal sehingga kurang bisa dijangkau untuk klinik kecil. Alat yang ada dipasaran cukup mahal sekitar Rp.5-10 juta. Selain itu dimensinya juga besar sehingga memakan tempat.

Melihat kenyataan itu, Gitta bersama bersama keempat rekannya berusaha untuk mengembangkan sebuah alat pengolah limbah yang memungkinkan untuk digunakan bagi klinik skala kecil. Alat pengolah limbah yang mereka kembangkan berukuran kecil dengan dimensi 50x40x50 cm sehingga tidak memakan ruang dan mudah dipindah tempatkan. Selain itu alat ini mereka kemas dalam bentuk yang menarik yakni layaknya sofa.

Medigold terdiri dari dua komponen utama yakni alat sterilisasi dan penghancur jarum suntik. Untuk mesin sterilisasi memanfaatkan panci presto yang dapat digunakan untuk mensterilkan berbagai jenis peralatan medis sperti kassa, kapas, maupun perban. Mesin sterilisasi ini memiliki kapasitas sebesar 6 liter serta mampu menghasilkan suhu hingga 300° Celcius dan menghasilkan tekanan sebesar 1,5 atm. Sementara mesin penghancur jarum suntik   bekerja dengan dialiri arus listrik bertegangan 50 volt dan berarus tinggi yaitu 22 amper. Untuk sterilisasi butuh waktu sekitar 1 jam, tetapi untuk menghancurkan jarum suntik hanya butuh waktu 1-2 detik saja.

Medigold dilengkapi dengan dua mode waktu operasi yakni manual dan otomatis. Untuk cara pengoperasian dengan mode otomatis yaitu dengan menngunakan timer, pengguna hanya perlu memasukkan limbah setelah klinik tutup di malam hari. Selanjutnya pada kesesokan harinya limbah sudah selesasi diolah tanpa perlu adanya penjagan seperti pada mode manual. Karena bisa dijalankan dengan mode otomatis sehingga tidak memerlukan tenaga kerja tambahan untuk pengoperasiannya.

Ahmad Widardi mengatakan, hadirnya Medigold ini diharapkan tidak hanya menjadi solusi bagi klinik kesehatan kecil dalam pengolahan limbah medisnya. Kendati begitu, alat ini juga diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap alat pengolah limbah B3 yang sebagian besar dipenuhi dari luar negeri dan diproduksi dengan harga terjangkau. “Untuk pembuatan alat ini seluruhnya memakai bahan lokal sehingga biaya produksinya jauh lebih murah daripada produk lain yang sudah ada dipasaran. Rencananya akan kami pasarkan per unitnya Rp. 2,5 juta. Selain memiliki dimensi yang kecil, portabel, dan dapat dijalankan secara otomatis, alat ini juga bersifat ramah lingkungan. Pasalnya pengoperasian Medigold tidak menimbulkan polusi asap seperti pada kebanyakan instalasi pengolahan limbah medis. Keunggulannya juga tidak mengeluarkan  asap sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar.

Sukses buat Mahasiswa Indonesia.
Tetaplah Semangat.

SUMBER :

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat