Tingkat Pendidikan Masyarakat Indonesia
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu
tujuan negara sesuai amanat UUD 1945. Namun, hingga usia 71 tahun kemerdekaan
RI, segenap masyarakatnya masih belum mempunyai akses mengenyam dunia
pendidikan formal selayaknya. Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak
Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu
anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Begitupula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat
provinsi dan kabupaten menunjukkan terdapat kelompok anak-anak tertentu yang
terkena dampak paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin
sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayan M Nuh dalam jumpa
pers di kantornya, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, (Selada, 8/11/2011)
menyebutkan bahwa Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia di tahun 2011 menurun
dibanding tahun 2010. Banyak masyarakat Indonesia yang putus sekolah dan tidak
bisa melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi.
Hal tersebut berdasarkan data dari United Nation
Development Programme (UNDP) yang dikeluarkan pada 2 November 2011 dalam Human
Development Index. Indonesia di posisi 124 di bawah Filipina, sebelumnya ranking
108. Memang di tahun 2011 ini jumlah negara yang ikut bertambah menjadi 187
negara dari tahun 2010 yang hanya 169. Penilaian tersebut terdiri dari 3
komponen yakni kesehatan hidup masyarakatnya, pengetahuan, dan pendapatan bruto
per kapita.
Indonesia ada 240 juta orang. Yang tidak pernah
sekolah itu menjadi beban untuk meningkatkan angka index. Namun yang akan dibahas
yakni hanya komponen pengetahuan atau rata-rata lama bersekolah masyarakat
Indonesia. Upaya pemerintah dalam hal ini yakni memperkecil angka putus sekolah
dan meningkatkan angka menuju jenjang pendidikan, meningkatkan akses dan mutu
pendidikan menengah, meningkatkan akses dan daya saing pendidikan tinggi, serta
meningkatkan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan.
Rektor Universitas Pertamina Profesor Akhmaloka
dalam Peresmian Perdana Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Pertamina Tahun
Akademik 2016/2017, di Mezaninne Room, Gedung Utama, Kantor Pusat Pertamina,
Jakarta, (Senin,15/8/2016) mengatakan Tingkat pendidikan di Indonesia dinilai
masih minim. Rata-rata Pendidikan Masyarakat Indonesia Tak Lulus SMP. Rata-rata
lama pendidikan di Indonesia adalah 7,6 tahun, artinya rata-rata masyarakat
Indonesia tidak lulus SMP. Di tahun 2010 saja, hanya 7,2% masyarakat yang lulus
pendidikan tinggi, 22% pendidikan menengah dan sisanya berpendidikan dasar. Untuk
menciptakan sistem pendidikan yang baik, tentu negara harus persiapkan sarana
pendidikan yang cukup dan berkualitas yang baik, tapi itu bukan hanya tugas
pemerintah saja, tapi semua pihak. SDM Malaysia 20% berpendidikan tinggi, 56%
berpendidikan menengah. Suatu negara bisa dikatakan maju bila 40% berpendidikan
tinggi 30% menengah dan 20% dasar.
Faktor ekonomi atau sistem yang tidak berpihak pada
mereka?
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas
Gadjah Mada, mengumumkan hasil penelitian Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline di
Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, dan Sulawesi Selatan. Ditemukan bahwa sebanyak 47,3 persen responden
menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, kemudian 31 persen karena
ingin membantu orang tua dengan bekerja, serta 9,4 persen karena ingin
melanjutkan pendidikan nonformal seperti pesantren atau mengambil kursus
keterampilan lainnya. Mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah ini sebagian
besar berijazah terakhir sekolah dasar (42,1 persen) maupun tidak memiliki
ijazah (30,7 persen). Meski demikian, rencana untuk menyekolahkan anak ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi ternyata cukup besar, yakni 93,9 persen.
Hanya 6,1 persen yan menyatakan tidak memiliki rencana untuk itu.
Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, S.I.P.,
M.Sc. mengatakan dalam Focused Group Discussion, pendidikan merupakan investasi
modal manusia (human capital investment) dan pemerintah harusnya memberi
perhatian yang sungguh terhadap hal ini, terlebih dalam merespons perubahan
komposisi demografi. Tingginya angka penduduk usia kerja hanya akan menjadi
bonus (window of opportunity) apabila penyediaan kesempatan kerja sudah sesuai
dengan jumlah penduduk usia kerja serta ditopang oleh kualitas angkatan kerja
yang baik. Seperti siklus, kasus anak putus sekolah saling mempengaruhi satu
sama lain dengan persoalan kemiskinan. Putus sekolah mengakibatkan bertambahnya
jumlah pengangguran, bahkan menambah kemungkinan kenakalan anak dan tindak
kejahatan dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu seterusnya karena tingkat
pendapatan yang rendah, akses ke pendidikan formal pun sulit dicapai.
Peran Pendidikan Non-Formal
Sekjen Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan
Alternatif (Asahpena), Budi Trikorayanto yang dikutip dari media
radioidola.com, mengakui faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab masih
banyaknya anak putus sekolah. Satu contoh, anak jalanan, atau pemulung didorong
untuk sekolah itu susah. Karena mereka sudah bisa mencari uang, dan merasakan
kemerdekaan di dunia jalanan dan itu lebih menarik bagi mereka ketimbang duduk
di sekolah, berseragam, dan menerima pelajaran dari sekolah. Dan itu terlalu
jauh dari apa yang mereka rasakan sehari-hari. Anak-anak jalanan saat ini lebih
memilih bekerja menjadi anak jalanan ketimbang sekolah. Tidak mudah menggiring
mereka sekolah, mestinya ada upaya sekolah yang mendatangi komunitas mereka. Tidak
bisa sekolah memaksa mereka untuk memakai seragam, itu bukan dunia anak-anak
jalanan. Jadi sekolah perlu sektor non-formal, kemudian jemput anak-anak ke
kolong jembatan, rel kereta api, dan lingkungan lainnya. Dari beberapa kasus
terungkap pula, banyaknya anak sekarang ini enggan ke sekolah salah satunya
karena faktor pengajarnya. Inilah realitas yang sering terjadi di wilayah
perkotaan. Kualitas guru kini tentu menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan
pemerintah.
Faktor Budaya
Abduh Zen, Ketua Litbang PB PGRI dan Direktur
Institute for Education Reform menilai penyebab terbesar anak putus sekolah
memang karena faktor ekonomi dan kemiskinan. Untuk itu pemerintah mesti fokus
untuk menyelesaikan problematika ini, melalui KIP misalnya. Meskipun terkendala
secara ekonomi, banyak hal yang tidak bisa diselesaikan dengan KIP. Dikarenakan
KIP harus menggunakan ATM dalam penarikannya di beberapa daerah tertentu masih
kesulitan dalam mengaksesnya. Kemudian di luar faktor ekonomi, faktor budaya
misalnya membuat orang tidak berhasrat untuk pergi ke sekolah. Karena
kompleksnya persoalan, banyak masyarakat menilai sekolah tidak lagi menarik.
Sehingga sering terdengar keluhan untuk apa sekolah. Oleh sebab itu, pemerintah
harus fokus membenahinya dan jangan seperti pemburu yang menembak secara
memberondong sembarangan di dalam hutan rimba. Adanya sekolah rumah sebagai
alternatif pendidikan bersifat sementara. Dia menilai, sekolah rumah tidak akan
menjadi solusi masalah pendidikan secara luas dan nasional. Tetapi ini menjadi
upaya penting pada daerah-daerah tertentu ketika pendidikan formal tak bisa
menjangkau. Dia mengingatkan bahwa substansi sekolah adalah membangun tradisi
literasi, kemelekan terhadap kehidupan ini. Dengan bersekolah anak memiliki
kemampuan dalam berpikir secara optimal. Setidaknya denga memiliki bekal
pendidikan, anak dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya sehari-sehari.
Intinya anak-anak akan memiliki pemikiran yang berkembang dan maju.
Tanggungjawab Pemerintah dan Swasta Dalam
Mensukseskan Pendidikan
Meskipun pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia
dinilai sukses, namun jumlah anak usia wajib belajar yang hanya sampai SD cukup
besar. Ini menjadi pekerjaan semua pihak agar pendidikan semakin merata dan
menyejahterakan. Mulai dari pemerintah, kalangan swasta dan semua lapisan
masyarakat. Masa depan di luar pendidikan sekolah. Dan, tak kalah pentingnya ke
depan, pemerintah juga mesti meningkatkan kapasitas dan kualitas guru agar
peserta didik semakin nyaman dan bersemangat untuk bersekolah. Orang bersekolah
bertujuan agar mampu berpikir, menalar secara rasional obyektif, dan bisa
memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi sehari-hari. Untuk itu perlu
ditunjang dengan sarana dan prasarana yang mendukung dan ditopang pengajar yang
bersahabat. Dan, di sini negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
bisa berperan optimal.
Kesenjangan Pembangunan Manusia Indonesia
Salah satu temuan kunci Laporan Pembangunan Manusia
2016 yang berjudul 'Pembangunan Manusia untuk Semua', yang dirilis oleh United
Nations Development Programme (UNDP) adalah Eksklusi perempuan, etnis
minoritas, dan orang-orang yang tinggal di daerah terpencil menghambat kemajuan
pembangunan manusia. Hal ini telah menyebabkan kesenjangan yang signifikan dan
menyebabkan banyak ketertinggalan di dunia, termasuk di Indonesia dan kawasan
Asia dan Pasifik. Selain itu, kelompok yang termarjinalisasi sering memiliki
kesempatan terbatas untuk mempengaruhi lembaga dan kebijakan yang menentukan
hidup mereka.
Selim Jahan penulis Laporan itu mengatakan bahwa
laporan itu mengadvokasikan fokus yang lebih besar pada kelompok
tereksklusikan, dan tindakan untuk mengatasi hambatan inklusi sangat diperlukan
untuk memastikan pembangunan manusia berkelanjutan untuk semua orang. Kita
terlalu berfokus pada rata-rata nasional, yang sering menutupi variasi yang
sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Untuk maju kita perlu meneliti lebih
dekat bukan hanya apa yang telah dicapai, tetapi siapa yang telah tertinggal
dan mengapa? Laporan tersebut menunjukkan bahwa kemajuan belum memberi manfaat
bagi semua orang dan kesenjangan berdampak pada kelompok tertentu secara tidak
proporsional. Terutama perempuan, etnis minoritas dan orang-orang yang tinggal
di daerah terpencil dapat mengalami deprivasi secara terbuka dan tersembunyi.
Di Indonesia, meskipun terjadi penurunan kemiskinan secara tajam dalam dua
dekade terakhir, 140 juta warga masih hidup dengan kurang dari Rp. 20.000 per
hari.
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) untuk
2015 adalah 0.689. Ini menempatkan Indonesia dalam kategori pembangunan manusia
menengah, dan peringkat 113 dari 188 negara dan wilayah. Nilai IPM meningkat
30,5 persen dari nilai pada tahun 1990. Hal ini mencerminkan kemajuan yang
telah dicapai Indonesia dalam hal harapan hidup saat lahir, rata-rata tahun
bersekolah, harapan lama bersekolah dan pendapatan nasional bruto (PNB) per
kapita selama periode tersebut. Namun demikian IPM Indonesia menurun tajam ke
0,563 (turun 18,2 persen) bila kesenjangan diperhitungkan. Kesenjangan pendidikan
dan harapan hidup saat lahir di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata di Asia
Timur dan Pasifik, namun Indonesia lebih baik dalam hal kesenjangan pendapatan
dan gender dibandingkan dengan rata-rata di kawasan ini. Kesetaraan gender
adalah pendorong utama pembangunan berkelanjutan. Pada tahun 2014, data yang
terpilah menurut jenis kelamin diperkenalkan ke dalam IPM, yang memungkinkan
UNDP untuk menghitung dan membandingkan IPM untuk laki-laki dan IPM untuk
perempuan. Namun sayangnya di sebagian besar negara di dunia, laki-laki dan
perempuan tidak menikmati tingkat pembangunan manusia yang sama. Di Indonesia,
Indeks untuk laki-laki adalah 0,712.
Sedangkan untuk perempuan Indonesia hanya mencapai 0,66.
Country Director UNDP Indonesia Christophe Bahuet
mempresentasikan temuan dengan fokus
pada Indonesia. IPM untuk Indonesia menunjukkan bahwa setelah begitu banyak
kemajuan yang dicapai, langkah selanjutnya menuju pembangunan manusia yang
tinggi adalah inklusi dan pengurangan kesenjangan, khususnya untuk provinsi
terpencil dan antara laki-laki dan perempuan. Laporan ini menawarkan analisis
dan rekomendasi yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan yang ada, dan
mencapai pembangunan manusia untuk seluruh Indonesia. UNDP bekerja ke arah ini,
bersama-sama dengan mitra-mitranya.
Agar negara-negara mencapai Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan dan tidak ada seorangpun yang tertinggal, laporan ini menyerukan
perhatian yang lebih besar untuk memberdayakan yang paling termarjinalisasi
dalam masyarakat dan mengakui pentingnya memberi mereka suara yang lebih besar
dalam proses pengambilan keputusan. Perubahan tersebut penting untuk memutus
siklus eksklusi dan deprivasi. Laporan Pembangunan Manusia 2016 juga menyerukan
pergeseran ke arah penilaian kemajuan dalam bidang-bidang seperti partisipasi
dan otonomi.
Helen Clark administrator UNDP mengatakan dengan
menghilangkan norma-norma sosial dan hukum yang diskriminatif, dan mengatasi
akses yang tidak setara terhadap partisipasi politik yang telah menghambat
kemajuan begitu banyak orang, kemiskinan bisa diberantas dan pembangunan yang damai,
adil dan berkelanjutan dapat dicapai untuk semua orang.
SUMBER :
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan