KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Friday, 1 June 2018

Miris... Kampus Negeri Ternama Terpapar Radikalisme?

Posted by   on Pinterest


Kepala BNPT, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius seperti dikutip dari Antara, saat menyampaikan kuliah umum di Gedung Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) Kota Bandung, (Sabtu, 10/2/18) menyatakan penyusupan paham radikalisme sudah masuk ke kampus-kampus dengan melibatkan mahasiswa. Semua sel-sel (paham radikalisme) itu sudah masuk tapi tingkatannya berbeda. Infiltrasi itu juga diduga dilakukan oleh staf pengajar atau dosen kepada mahasiswanya. Sebanyak tujuh kampus ternama yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB) terpapar radikalisme.

Direktur Pencegahan BNPT, Hamli dalam sebuah diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, (Jumat, 25/5/18) menyebut saat ini hampir semua perguruan tinggi negeri (PTN) sudah terpapar paham radikalisme. Paham radikalisme banyak menyasar mahasiswa baik di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). BNPT menyebut mahasiswa-mahasiswa yang disebut BNPT terpapar radikalisme banyak berasal dari fakultas eksakta dan kedokteran. Dari Jakarta ke Jawa Timur itu sudah hampir kena semua, tapi tebal-tipisnya bervariasi. Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB) sudah disusupi paham radikal. Pola penyebaran paham radikalisme yang berkembang di lingkungan lembaga pendidikan saat ini sudah berubah. Awalnya penyebaran paham tersebut dilakukan di lingkungan pesantren. Namun saat ini, kampus negeri maupun swasta menjadi sasaran baru dan empuk bagi penyebar radikalisme.

BNPT sudah mulai memetakan sejumlah dosen atau tenaga pengajar yang diduga memiliki paham radikalisme. KEMENRISTEKDIKTI maupun KEMENDIKBUD diminta untuk melakukan rekrutmen pengajar atau dosen secara ketat sebagai antisipasi penyusupan paham-paham radikalisme. Lembaga pendidikan sangat mudah penyebar penyusupan paham radikalisme, karena hal itu berkaitan erat dengan semakin mudahnya akses teknologi komunikasi digital. Dengan teknologi informasi digital itu menyebar dengan cepat, sangat sulit memonitornya. Kalau dulu kita gampang secara fisik memonitor kalau sekarang orang diem yang dibukanya konten-konten semacam itu. Untuk mendeteksi hal itu, diperlukan kerja sama berbagai pihak baik kalangan kampus maupun mahasiswa dengan menginformasikan aktivitas yang dianggap mencurigakan. Identifikasi kelompok yang memisahkan diri, bikin kelompok ekslusif dan tidak boleh dimasuki orang lain selain golongannya.

BNPT baru menyadari bahwa paham radikalisme menyusup ke dalam kampus ketika ada perubahan pola pelaku terorisme tahun 2016. Dalang bom Sarinah pada tahun 2016, Bahrun Naim, adalah lulusan program diploma 3 jurusan ilmu komputer Universitas 11 Maret, Solo, Jawa Tengah, demikian dikutip dari tempo.


Direktur Pencegahan BNPT Hamli dalam sebuah diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, (Jumat, 25/5/18) mengatakan hampir semua perguruan tinggi negeri (PTN) sudah terpapar paham radikalisme. Dari Jakarta ke Jawa Timur itu sudah hampir kena semua, tapi tebal-tipisnya bervariasi. Pola penyebaran paham radikalisme yang berkembang di lingkungan lembaga pendidikan saat ini sudah berubah. Awalnya penyebaran paham tersebut dilakukan di lingkungan pesantren. Namun saat ini, kampus negeri maupun swasta menjadi sasaran baru dan empuk bagi penyebar radikalisme. PTN dan PTS yang banyak kena itu di fakultas eksakta dan kedokteran.

Rektor ITB, Kadarsah Suryadi mengatakan, pencegahan penyusupan paham radikalisme ke kampusnya telah dilakukan dengan berbagai cara. Mahasiswa yang baru masuk dilantik untuk cinta NKRI juga diberikan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air, dan dilantik untuk tetap setia pada NKRI. Hal tersebut juga berlaku juga bagi dosen pengajar. Apabila mereka melanggar nilai-nilai kebangsaan maka ITB melalui komisi disiplin akan memberikan sanksi. Adapun sanksi yang paling berat yakni dikeluarkan dari kampus. Punya kode etik dosen, punya komisi kedisiplinan untuk mahasiswa, semua kita jaga. Mereka (dosen) juga dilantik ada janji seperti mahasiswa setia pada NKRI, Pancasila, Undang-undang. Sanksinya sama dikeluarkan apabila menganggar kode etik.

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (MENRISTEKDIKTI) Mohamad Nasir di Jakarta, seperti dilansir Antara, (Kamis, 31/5/2018) mengatakan penyebaran paham radikalisme sekarang ini tidak hanya melalui kampus. Namun juga lewat media sosial. Saat ini, penyebaran radikalisme tidak hanya melalui kampus, namun langsung ke setiap individu melalui media sosial. Setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HIT) dibubarkan, maka yang terpapar radikalisme harus menyatakan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Paparan radikalisme di kampus berlangsung sejak 35 tahun yang lalu, tepatnya pada 1983. Saat itu, pemerintah menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Sehingga praktis kehidupan politik di kampus dilarang. Kekosongan tersebut diisi dengan kelompok yang menyebarkan paham radikal tersebut. Tidak hanya tujuh kampus itu saja yang terpapar, potensinya besar. Pada tahun lalu, telah dilakukan deklarasi antiradikalisme di kampus. Melalui deklarasi tersebut, pihak kampus diminta untuk menjaga kampusnya dari paham radikal tersebut.

Mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Cendekiawan muslim Azyumardi Azra menyebut kampus sebagai tempat bersarang paham radikal. Sarang terorisme itu justru di perguruan tinggi umum. Kalau kita lihat gejalanya memang menganut paham radikalisme. Pengalaman putrinya di UI yang kerap diajak bergabung oleh kelompok mahasiswa yang ia duga berpaham radikal. Pemerintah diminta membenahi lingkungan kampus. Salah satu cara yang ia usulkan adalah melatih kembali tenaga pengajar soal nilai kebangsaan.

Presiden Joko Widodo, seperti dikutip dalam situs resmi Sekretariat Kabinet, menyatakan ideologi terorisme sudah masuk ke sekolah. Oleh karena itu dia menekankan pentingnya soft power atau pendekatan lunak di samping hard power dalam mencegah aksi teror. Pendekatan lunak yang dilakukan, bukan hanya dengan memperkuat program deradikalisasi kepada mantan napi teroris, tetapi juga memperhatikan lembaga-lembaga pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA, SMK, Perguruan Tinggi, dan ruang-ruang publik, mimbar-mimbar umum dari ajaran-ajaran ideologi terorisme. Langkah pencegahan ini penting setelah melihat serangan teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo yang mulai melibatkan keluarga, perempuan, dan anak-anak di bawah umur. Ini menjadi sebuah peringatan kepada kita semuanya, menjadi wake up call betapa keluarga telah menjadi target indoktrinasi ideologi terorisme. Pendekatan hard power yang lebih mengedepankan penggunaan tindakan pencegahan sebelum aksi teror dilakukan sangat diperlukan, tetapi belum cukup untuk mencegah aksi terorisme. Sudah saatnya kita juga menyeimbangkan dengan pendekatan soft power. Sebagai kejahatan yang luar biasa, terorisme harus dihadapi, diperangi dengan cara-cara yang juga luar biasa.

Data BNPT Soal Kampus Terpapar Radikalisme Dipertanyakan

Dilansir dari Tempo, laporan BNPT tersebut mirip dengan survei yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara yang dipublikasikan pada April lalu. Menurut laporan itu, dari 20 perguruan tinggi yang disurvei di 15 provinsi sepanjang tahun 2017, 39 persen mahasiswanya anti demokrasi dan tidak setuju Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Direktur Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Purwanto, dikutip dari Republika, menegaskan semua elemen bangsa harus terlibat secara penuh terhadap aksi-aksi terorisme, termasuk pihak universitas, Pemerintah tidak mampu bekerja sendiri. Berbagai elemen harus saling berupaya, terutama kalangan perguruan tinggi.

KEMRISTEKDIKTI bersama pimpinan perguruan tinggi (PT) di seluruh Indonesia terus berupaya untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme di perguruan tinggi. Hal ini disampaikannya di sela-sela rapat koordinasi pengelolaan keuangan PTN. Selain itu, juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk memberikan tindakan tegas terhadap aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat dalam kegiatan radikalisme.

Pengamat terorisme Al Chaidar saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui telepon, (Rabu, 30/5/18) menyebut pernyataan yang diungkapkan salah satu petinggi BNPT itu tak berdasar. Selama ini tak melihat mahasiswa menyukai terorisme atau paham-paham radikalisme yang mengarah pada tindakan radikal maupun teror. Jika memang ada percikan radikalisme yang berkembang di lingkungan kampus, hal itu pun hanya sebagai bentuk radikalisme biasa, dalam arti pola pikir kritis khas mahasiswa.  Misalnya, paham kekhilafahan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang banyak dianut mahasiswa, tentu tak akan berujung pada aksi terorisme. Misalnya di IPB itu banyak mahasiswa yang dulu ikut mendukung ide khilafah gaya HTI, tapi mereka tetap anti terorisme. Radikalisme di kalangan mahasiswa itu hanya sekadar fanatisme.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Informasi Publik UI Rifelly Dewi Astuti, dikutip dari Tempo, menyebutkan Univesitas Indonesia telah berupaya mencegah masuknya radikalisme ke dalam kampus. UI telah melakukan pencegahan sejak masa penerimaan mahasiswa baru. UI dan melakukan pengawasan ketat dalam memberi izin kegiatan mahasiswa. Jika terbukti mahasiswa itu masuk organisasi radikal, maka akan ditindak tegas, "Sanksinya bervariasi, mulai dari teguran keras, skors, sampai dikeluarkan sebagai sivitas UI.

Penjelasan itu bertolak belakang dengan pernyataan rektor UI sebelumnya. Dilansir dari CNNIndonesia, dua pekan lalu Rektor Universitas Indonesia Muhammad Anis masih meyakini mahasiswanya sudah cukup dewasa dan memiliki kemampuan logis dalam menentukan mana ajaran yang baik dan buruk. Mahasiswa sudah dewasa, tak perlu diawasi. Tak perlu.

Alto Labetubun, analis keamanan di Irak, kepada Deutsche Welle (DW) memaparkan ada beberapa komponen yang menciptakan terjadinya radikalisme di kampus, yaitu :
1. faktor alumni. Para dosen/pengajar yang berafiliasi dengan gerakan dan/atau organisasi berbasis ideologi tertentu kemudian bertemu di kampus dan menciptakan ‘safe havens' uituk menjaga dan menyebarkan ideologi mereka.
2. faktor organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan ideologi tertentu. Mereka memanfaatkan atau mengeksploitasi ‘kebebasan di perguruan tinggi' sebagai kesempatan untuk berkembang dan mengembangkan jaringannya.
3. faktor penetrasi partai politik berbasis ideologi agamis ke dalam kegiatan kampus: "PKS misalnya punya kegiatan-kegiatan yang menyasar mahasiswa untuk bergabung sebagai kader mereka." Kombinasi ketiga unsur dimaksud memupuk hadirnya radikalisme di kampus: "Mahasiswa yang punya pemahaman radikal, akan bersentuhan dengan dosen yang pernah menjadi mahasiswa dan punya ideologi radikal dan kemudian di'empower' oleh partai politik yang mengkampanyekan ide radikal, maka itu menciptakan ‘safe havens' radikalisme di kampus."
Ada miskonsepsi tentang kenapa latar belakang orang menjadi radikal. Ada yang beranggapan bahwa hanya orang-orang berpendidikan rendah dan kurang mapan secara ekonomi saja yang berpeluang terpapar radikalisme. Tetapi, pengalaman di lapangan, misalnya - Irak - menunjukkan bahwa orang-orang dengan pendidikan tinggi seperti dokter, insinyur pun rentan terhadap radikalisme, bahkan terorisme: "Secara psikologis, hal ini disebabkan karena ada 'void' dalam pencarian identitas diri dan ketiadaan 'moral compass'. Orang-orang yang secara akademik pintar ini merasa bahwa kepintaran mereka itu tidak memberi hasil yang optimal dan mereka tidak berkontribusi pada sebuah perubahan dalam sistem dimana mereka sekarang berada dan dalam konteks Indonesia, sistem tersebut adalah NKRI."

Kalis Mardiasih, tim media Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, mengatakan bibit radikalisme di kampus itu sudah ada sejak pasca reformasi karena banyak organisasi Islam transnasional yang masuk ke kampus-kampus: "Pengajian banyak dilakukan di masjid-masjid kampus  di mana kampus seharusnya memiliki otoritas namun malah tidak mengawasi hal itu."

KEMRISTEKDIKTI, Nasir mengatakan akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk memberikan tindakan tegas terhadap aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat dalam kegiatan radikalisme. Para rektor diminta untuk mengawasi dengan lebih baik organisasi-organisasi yang memiliki potensi menyebarkan paham radikal di lingkungan kampus. Para rektor intruksikan agar memberhentikan sementara dosen atau petinggi kampus yang dianggap ikut serta dalam menyebarkan paham teroris. Informasi mengenai keterlibatan pengajar di universitas maupun mahasiswa terus dipantau perkembangannya setiap sebulan atau tiga bulan sekali. Ia berharap agar pihak kampus menindak tegas siapapun yang memang teridikasi terlibat dalam terorisme.

SUMBER :

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat