Kepala BNPT,
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius seperti
dikutip dari Antara, saat menyampaikan kuliah umum di Gedung Sasana Budaya
Ganesa (Sabuga) Kota Bandung, (Sabtu, 10/2/18) menyatakan penyusupan paham
radikalisme sudah masuk ke kampus-kampus dengan melibatkan mahasiswa. Semua
sel-sel (paham radikalisme) itu sudah masuk tapi tingkatannya berbeda. Infiltrasi
itu juga diduga dilakukan oleh staf pengajar atau dosen kepada mahasiswanya. Sebanyak
tujuh kampus ternama yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi
Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip),
hingga Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan
Universitas Brawijaya (UB) terpapar radikalisme.
Direktur
Pencegahan BNPT, Hamli dalam sebuah diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat,
(Jumat, 25/5/18) menyebut saat ini hampir semua perguruan tinggi negeri (PTN)
sudah terpapar paham radikalisme. Paham radikalisme banyak menyasar mahasiswa
baik di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
BNPT menyebut mahasiswa-mahasiswa yang disebut BNPT terpapar radikalisme banyak
berasal dari fakultas eksakta dan kedokteran. Dari Jakarta ke Jawa Timur itu sudah
hampir kena semua, tapi tebal-tipisnya bervariasi. Universitas Indonesia (UI),
Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas
Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB) sudah disusupi
paham radikal. Pola penyebaran paham radikalisme yang berkembang di lingkungan
lembaga pendidikan saat ini sudah berubah. Awalnya penyebaran paham tersebut
dilakukan di lingkungan pesantren. Namun saat ini, kampus negeri maupun swasta
menjadi sasaran baru dan empuk bagi penyebar radikalisme.
BNPT sudah
mulai memetakan sejumlah dosen atau tenaga pengajar yang diduga memiliki paham radikalisme.
KEMENRISTEKDIKTI maupun KEMENDIKBUD diminta untuk melakukan rekrutmen pengajar
atau dosen secara ketat sebagai antisipasi penyusupan paham-paham radikalisme. Lembaga
pendidikan sangat mudah penyebar penyusupan paham radikalisme, karena hal itu
berkaitan erat dengan semakin mudahnya akses teknologi komunikasi digital. Dengan
teknologi informasi digital itu menyebar dengan cepat, sangat sulit
memonitornya. Kalau dulu kita gampang secara fisik memonitor kalau sekarang
orang diem yang dibukanya konten-konten semacam itu. Untuk mendeteksi hal itu, diperlukan
kerja sama berbagai pihak baik kalangan kampus maupun mahasiswa dengan
menginformasikan aktivitas yang dianggap mencurigakan. Identifikasi kelompok
yang memisahkan diri, bikin kelompok ekslusif dan tidak boleh dimasuki orang
lain selain golongannya.
BNPT baru
menyadari bahwa paham radikalisme menyusup ke dalam kampus ketika ada perubahan
pola pelaku terorisme tahun 2016. Dalang bom Sarinah pada tahun 2016, Bahrun
Naim, adalah lulusan program diploma 3 jurusan ilmu komputer Universitas 11
Maret, Solo, Jawa Tengah, demikian dikutip dari tempo.
Direktur
Pencegahan BNPT Hamli dalam sebuah diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, (Jumat,
25/5/18) mengatakan hampir semua perguruan tinggi negeri (PTN) sudah terpapar
paham radikalisme. Dari Jakarta ke Jawa Timur itu sudah hampir kena semua, tapi
tebal-tipisnya bervariasi. Pola penyebaran paham radikalisme yang berkembang di
lingkungan lembaga pendidikan saat ini sudah berubah. Awalnya penyebaran paham
tersebut dilakukan di lingkungan pesantren. Namun saat ini, kampus negeri maupun
swasta menjadi sasaran baru dan empuk bagi penyebar radikalisme. PTN dan PTS
yang banyak kena itu di fakultas eksakta dan kedokteran.
Rektor ITB,
Kadarsah Suryadi mengatakan, pencegahan penyusupan paham radikalisme ke
kampusnya telah dilakukan dengan berbagai cara. Mahasiswa yang baru masuk
dilantik untuk cinta NKRI juga diberikan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah
air, dan dilantik untuk tetap setia pada NKRI. Hal tersebut juga berlaku juga
bagi dosen pengajar. Apabila mereka melanggar nilai-nilai kebangsaan maka ITB
melalui komisi disiplin akan memberikan sanksi. Adapun sanksi yang paling berat
yakni dikeluarkan dari kampus. Punya kode etik dosen, punya komisi kedisiplinan
untuk mahasiswa, semua kita jaga. Mereka (dosen) juga dilantik ada janji
seperti mahasiswa setia pada NKRI, Pancasila, Undang-undang. Sanksinya sama
dikeluarkan apabila menganggar kode etik.
Menteri
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (MENRISTEKDIKTI) Mohamad Nasir di
Jakarta, seperti dilansir Antara, (Kamis, 31/5/2018) mengatakan penyebaran
paham radikalisme sekarang ini tidak hanya melalui kampus. Namun juga lewat
media sosial. Saat ini, penyebaran radikalisme tidak hanya melalui kampus,
namun langsung ke setiap individu melalui media sosial. Setelah Hizbut Tahrir
Indonesia (HIT) dibubarkan, maka yang terpapar radikalisme harus menyatakan
kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Paparan radikalisme di
kampus berlangsung sejak 35 tahun yang lalu, tepatnya pada 1983. Saat itu,
pemerintah menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK). Sehingga praktis kehidupan politik di kampus dilarang.
Kekosongan tersebut diisi dengan kelompok yang menyebarkan paham radikal
tersebut. Tidak hanya tujuh kampus itu saja yang terpapar, potensinya besar. Pada
tahun lalu, telah dilakukan deklarasi antiradikalisme di kampus. Melalui
deklarasi tersebut, pihak kampus diminta untuk menjaga kampusnya dari paham
radikal tersebut.
Mantan
rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Cendekiawan muslim Azyumardi
Azra menyebut kampus sebagai tempat bersarang paham radikal. Sarang terorisme
itu justru di perguruan tinggi umum. Kalau kita lihat gejalanya memang menganut
paham radikalisme. Pengalaman putrinya di UI yang kerap diajak bergabung oleh
kelompok mahasiswa yang ia duga berpaham radikal. Pemerintah diminta membenahi
lingkungan kampus. Salah satu cara yang ia usulkan adalah melatih kembali
tenaga pengajar soal nilai kebangsaan.
Presiden
Joko Widodo, seperti dikutip dalam situs resmi Sekretariat Kabinet, menyatakan
ideologi terorisme sudah masuk ke sekolah. Oleh karena itu dia menekankan
pentingnya soft power atau pendekatan lunak di samping hard power dalam
mencegah aksi teror. Pendekatan lunak yang dilakukan, bukan hanya dengan
memperkuat program deradikalisasi kepada mantan napi teroris, tetapi juga
memperhatikan lembaga-lembaga pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA, SMK,
Perguruan Tinggi, dan ruang-ruang publik, mimbar-mimbar umum dari ajaran-ajaran
ideologi terorisme. Langkah pencegahan ini penting setelah melihat serangan
teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo yang mulai melibatkan keluarga,
perempuan, dan anak-anak di bawah umur. Ini menjadi sebuah peringatan kepada
kita semuanya, menjadi wake up call betapa keluarga telah menjadi target
indoktrinasi ideologi terorisme. Pendekatan hard power yang lebih mengedepankan
penggunaan tindakan pencegahan sebelum aksi teror dilakukan sangat diperlukan,
tetapi belum cukup untuk mencegah aksi terorisme. Sudah saatnya kita juga
menyeimbangkan dengan pendekatan soft power. Sebagai kejahatan yang luar biasa,
terorisme harus dihadapi, diperangi dengan cara-cara yang juga luar biasa.
Data BNPT Soal
Kampus Terpapar Radikalisme Dipertanyakan
Dilansir
dari Tempo, laporan BNPT tersebut mirip dengan survei yang dilakukan oleh Badan
Intelijen Negara yang dipublikasikan pada April lalu. Menurut laporan itu, dari
20 perguruan tinggi yang disurvei di 15 provinsi sepanjang tahun 2017, 39
persen mahasiswanya anti demokrasi dan tidak setuju Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia.
Direktur
Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Purwanto, dikutip dari Republika,
menegaskan semua elemen bangsa harus terlibat secara penuh terhadap aksi-aksi
terorisme, termasuk pihak universitas, Pemerintah tidak mampu bekerja sendiri.
Berbagai elemen harus saling berupaya, terutama kalangan perguruan tinggi.
KEMRISTEKDIKTI
bersama pimpinan perguruan tinggi (PT) di seluruh Indonesia terus berupaya
untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme di perguruan tinggi. Hal ini
disampaikannya di sela-sela rapat koordinasi pengelolaan keuangan PTN. Selain
itu, juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi untuk memberikan tindakan tegas terhadap aparatur sipil
negara (ASN) yang terlibat dalam kegiatan radikalisme.
Pengamat
terorisme Al Chaidar saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui telepon, (Rabu, 30/5/18)
menyebut pernyataan yang diungkapkan salah satu petinggi BNPT itu tak berdasar.
Selama ini tak melihat mahasiswa menyukai terorisme atau paham-paham
radikalisme yang mengarah pada tindakan radikal maupun teror. Jika memang ada
percikan radikalisme yang berkembang di lingkungan kampus, hal itu pun hanya
sebagai bentuk radikalisme biasa, dalam arti pola pikir kritis khas mahasiswa. Misalnya, paham kekhilafahan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) yang banyak dianut mahasiswa, tentu tak akan berujung pada aksi
terorisme. Misalnya di IPB itu banyak mahasiswa yang dulu ikut mendukung ide
khilafah gaya HTI, tapi mereka tetap anti terorisme. Radikalisme di kalangan
mahasiswa itu hanya sekadar fanatisme.
Kepala
Bagian Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Informasi Publik UI Rifelly Dewi
Astuti, dikutip dari Tempo, menyebutkan Univesitas Indonesia telah berupaya
mencegah masuknya radikalisme ke dalam kampus. UI telah melakukan pencegahan
sejak masa penerimaan mahasiswa baru. UI dan melakukan pengawasan ketat dalam
memberi izin kegiatan mahasiswa. Jika terbukti mahasiswa itu masuk organisasi
radikal, maka akan ditindak tegas, "Sanksinya bervariasi, mulai dari
teguran keras, skors, sampai dikeluarkan sebagai sivitas UI.
Penjelasan
itu bertolak belakang dengan pernyataan rektor UI sebelumnya. Dilansir dari
CNNIndonesia, dua pekan lalu Rektor Universitas Indonesia Muhammad Anis masih
meyakini mahasiswanya sudah cukup dewasa dan memiliki kemampuan logis dalam
menentukan mana ajaran yang baik dan buruk. Mahasiswa sudah dewasa, tak perlu
diawasi. Tak perlu.
Alto
Labetubun, analis keamanan di Irak, kepada Deutsche Welle (DW) memaparkan ada
beberapa komponen yang menciptakan terjadinya radikalisme di kampus, yaitu :
1. faktor
alumni. Para dosen/pengajar yang berafiliasi dengan gerakan dan/atau organisasi
berbasis ideologi tertentu kemudian bertemu di kampus dan menciptakan ‘safe
havens' uituk menjaga dan menyebarkan ideologi mereka.
2. faktor
organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan ideologi tertentu. Mereka memanfaatkan
atau mengeksploitasi ‘kebebasan di perguruan tinggi' sebagai kesempatan untuk
berkembang dan mengembangkan jaringannya.
3. faktor
penetrasi partai politik berbasis ideologi agamis ke dalam kegiatan kampus:
"PKS misalnya punya kegiatan-kegiatan yang menyasar mahasiswa untuk
bergabung sebagai kader mereka." Kombinasi ketiga unsur dimaksud memupuk
hadirnya radikalisme di kampus: "Mahasiswa yang punya pemahaman radikal,
akan bersentuhan dengan dosen yang pernah menjadi mahasiswa dan punya ideologi
radikal dan kemudian di'empower' oleh partai politik yang mengkampanyekan ide
radikal, maka itu menciptakan ‘safe havens' radikalisme di kampus."
Ada
miskonsepsi tentang kenapa latar belakang orang menjadi radikal. Ada yang
beranggapan bahwa hanya orang-orang berpendidikan rendah dan kurang mapan
secara ekonomi saja yang berpeluang terpapar radikalisme. Tetapi, pengalaman di
lapangan, misalnya - Irak - menunjukkan bahwa orang-orang dengan pendidikan
tinggi seperti dokter, insinyur pun rentan terhadap radikalisme, bahkan
terorisme: "Secara psikologis, hal ini disebabkan karena ada 'void' dalam
pencarian identitas diri dan ketiadaan 'moral compass'. Orang-orang yang secara
akademik pintar ini merasa bahwa kepintaran mereka itu tidak memberi hasil yang
optimal dan mereka tidak berkontribusi pada sebuah perubahan dalam sistem
dimana mereka sekarang berada dan dalam konteks Indonesia, sistem tersebut
adalah NKRI."
Kalis
Mardiasih, tim media Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, mengatakan bibit
radikalisme di kampus itu sudah ada sejak pasca reformasi karena banyak
organisasi Islam transnasional yang masuk ke kampus-kampus: "Pengajian
banyak dilakukan di masjid-masjid kampus
di mana kampus seharusnya memiliki otoritas namun malah tidak mengawasi
hal itu."
KEMRISTEKDIKTI,
Nasir mengatakan akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi untuk memberikan tindakan tegas terhadap
aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat dalam kegiatan radikalisme. Para rektor
diminta untuk mengawasi dengan lebih baik organisasi-organisasi yang memiliki
potensi menyebarkan paham radikal di lingkungan kampus. Para rektor intruksikan
agar memberhentikan sementara dosen atau petinggi kampus yang dianggap ikut
serta dalam menyebarkan paham teroris. Informasi mengenai keterlibatan pengajar
di universitas maupun mahasiswa terus dipantau perkembangannya setiap sebulan
atau tiga bulan sekali. Ia berharap agar pihak kampus menindak tegas siapapun
yang memang teridikasi terlibat dalam terorisme.
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan