KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Tuesday, 14 November 2017

Perempuanmu Bukan NAKUSHI

Posted by   on Pinterest

Pengalaman Perempuan Dunia

Diskriminasi terhadap anak perempuan bukan hal baru di India. Namun, tidak ada yang lebih kasar dibandingkan dengan yang dilakukan di Satara, Maharashtra. Untuk menegaskan bahwa seorang anak perempuan itu tidak diinginkan, orangtua mereka memberi nama "Nakushi" yang artinya "tidak diinginkan". Dinas kesehatan distrik itu berniat mengubahnya. Mereka akan melacak anak-anak yang bernama Nakushi dan mengganti namanya, Indian Express melaporkan, Selasa (18/10/2011). Hal ini dilakukan untuk mendidik warga bahwa anak perempuan sama berharganya dengan anak lelaki serta harus mendapat kasih sayang dan perhatian seperti yang diterima anak lelaki.

Pemberian nama baru itu akan menjadi sebuah acara resmi, tutur Menteri Kepala Prithviraj Chava. Sebanyak 222 anak perempuan bernama Nakushi akan mendapat nama baru. Keinginan mereka memiliki anak lelaki sangat besar sehingga mereka menamai anak-anak perempuan yang lahir dengan Nakhusi, bahkan tanpa upacara pemberian nama seperti seharusnya. Praktik pember
ian nama Nakushi ini diketahui tahun lalu ketika dokter Bhagwan Pawar, seorang pejabat dinas kesehatan Distrik Satara, memperhatikan papan nama sebuah rumah. Ternyata di Satara, orangtua tidak segan memberi nama Nakushi apabila anak itu tidak diinginkan.

Tahun ini, dinas kesehatan setempat melakukan upaya identifikasi anak-anak bernama Nakushi di wilayah itu. Total ditemukan 222 anak perempuan bernama itu. Sebagian besar datang dari keluarga miskin. "Kami meminta mereka memilih nama sendiri," kata UB Sawant, pejabat dinas informasi Distrik Satara.
Pemerintah provinsi Madhya Pradesh, India, memasang iklan berwarna satu halaman penuh di berbagai surat kabar, Jumat (30/9/2011). Iklan itu bertema "anak perempuan memberi kebahagiaan”. Mereka lebih memilih memiliki anak lelaki ketimbang anak perempuan sehingga banyak ibu melakukan aborsi saat mengetahui jenis kelamin janinnya perempuan”.

Pemasangan iklan itu terkait praktik memilih jenis kelamin anak yang banyak dilakukan keluarga India. Mereka lebih memilih memiliki anak lelaki ketimbang anak perempuan sehingga banyak ibu melakukan aborsi saat mengetahui jenis kelamin janinnya perempuan. Praktik ini mengakibatkan ketidakseimbangan gender yang terus memburuk. Saat ini jumlah anak perempuan lebih sedikit ketimbang anak lelaki, dengan perbandingan 914 anak perempuan untuk setiap 1.000 anak lelaki. Perbandingan terburuk sejak 1947.
Dalam iklan itu ditegaskan bahwa "anak perempuan memberi kebahagiaan dalam hidup. Mereka mengisi hidup kita dengan senyuman. Mereka mampu melakukan apapun," bunyi iklan yang dilengkapi foto kepala menteri sedang menggendong bayi perempuan.Iklan itu merupakan bagian dari kampanye "selamatkan anak perempuan" yang akan dimulai pada 5 Oktober 2011 mendatang.

Kaum perempuan India menghadapi tekanan kuat untuk melahirkan anak lelaki, yang memang dianggap pencari nafkah, pemimpin keluarga, dan pelindung orangtua. Sebaliknya, dalam keluarga tradisional, anak perempuan dianggap sebagai beban karena orangtua harus menyiapkan mahar yang besar saat akan menikahkan mereka. Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah terus berkampanye untuk mengubah pola sosial yang bias terhadap anak perempuan. Salah satunya dengan menawarkan insentif pada orangtua yang sedang menanti kelahiran anak. Sayangnya, upaya itu tidak memberi pengaruh besar.

Masyarakat sebuah distrik di negara bagian Uttar Pradesh, India, merasakan akibat tradisi memilih anak lelaki ketimbang anak perempuan. Dan, lagi-lagi yang menjadi korban adalah kaum perempuan. Praktik aborsi hanya gara-gara janin yang dikandung adalah perempuan mengakibatkan populasi perempuan di daerah itu tidak seimbang dengan populasi kaum lelaki. Hal ini berdampak pada sulitnya kaum lelaki mendapatkan istri. Namun, justru kaum perempuan yang menanggung derita dalam hal ini karena seorang suami berhak membagi istrinya dengan saudara-saudaranya yang belum menikah.

Salah satunya dialami Munni, berusia sekitar 40 tahun. Dia dipaksa melayani hasrat seksual dua saudara lelaki suaminya yang masih lajang. Tak hanya itu, Munni juga tidak bisa berdaya ketika dia hamil akibat hubungannya dengan lelaki yang bukan suaminya itu. Suami dan keluarganya mengatakan dia harus membagi diri untuk saudara suaminya. Mereka membawa dia semau mereka, siang ataupun malam. Kalau menolak, mereka akan memukulinya dengan apa pun yang bisa mereka raih.

Tak jarang mereka melempar Munni keluar rumah dan menyuruhnya tidur di situ. Atau mereka menyiramnya dengan minyak tanah. Munni berhasil kabur dari rumah suaminya, dengan alasan hendak ke dokter, Munni mendapat izin pergi. Munni yang memiliki tiga anak dari suami dan saudara-saudaranya, tidak melaporkan yang dialaminya itu kepada polisi.

Kasus-kasus seperti itu jarang sekali sampai ke telinga kepolisian karena kaum perempuan di masyarakat itu jarang punya kesempatan keluar rumah tanpa ditemani. Menurut para pekerja sosial, praktik aborsi bayi perempuan di sejumlah wilayah di India telah menyebabkan penurunan jumlah perempuan di negara itu. Hal ini berdampak pada peningkatan kasus pemerkosaan, perdagangan manusia (human trafficking), dan praktik "berbagi suami".

"Kita sudah melihat dampak merosotnya jumlah perempuan di sejumlah masyarakat," kata Bhagyashri Dengle, direktur eksekutif lembaga bantuan anak Plan India.
"Kami harus menjadikan ini sebagai peringatan dan kami harus melakukan sesuatu, kalau tidak kami akan berada pada situasi di mana kaum perempuan terancam penculikan, pemerkosaan, dan hal yang buruk lainnya," ujar Dengle.

Berdasarkan hasil sensus di India pada 2011, di antara 1.000 lelaki hanya terdapat 858 perempuan di distrik Baghpat. Tren ini juga terjadi di negara bagian Haryana, Punjab, Rajasthan, dan Gujarat.
Di setiap desa setidaknya terdapat lima atau enam lajang yang tidak berhasil mendapat istri. Di distrik-distrik lain terdapat tiga hingga empat pria lajang dalam satu keluarga. "Ini menjadi masalah yang serius. Praktik (berbagi istri) dilakukan diam-diam. Tidak ada yang mau mengakuinya secara terbuka, tetapi kami mengetahui yang sedang terjadi. Beberapa keluarga membeli pengantin perempuan dari wilayah lain, sementara di keluarga lainnya ada seorang menantu perempuan dengan banyak anak lelaki yang belum beristri," kata Shri Chand, seorang pensiunan polisi.

Eksploitasi perempuan seperti berbagi istri merupakan praktik ilegal di India. Namun, banyak kejahatan serupa yang akhirnya "dimaklumi" di kalangan masyarakat yang tertutup karena biasanya para korban tidak berani mengungkap sementara tetangga mereka enggan ikut campur.

Diskriminasu Tidak Ada dikalangan Perempuan Inggris

Perempuan di Inggris ternyata mengaku sudah tak merasakan perbedaan perlakuan akibat jenis kelamin. Dalam sebuah jajak pendapat yang diadakan untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia, diungkapkan bahwa tak sampai empat dari 10 perempuan yang mengaku mengalami perilaku diskriminatif atau komentar-komentar yang menyinggung perasaan oleh karena gender mereka. Mayoritas pria dan wanita sama-sama berpikir bahwa mereka mampu melakukan tugas-tugas tradisional kaum lelaki.

Hasil jajak pendapat ini menyarankan agar perempuan lebih memedulikan problem sehari-hari yang mereka alami, ketimbang melawan pertempuran untuk kesetaraan. Namun direktur Amnesty International Inggris, Kate Allen, mengatakan bahwa temuan ini masih menunjukkan jurang perbedaan gender yang mengkhawatirkan.

"Bila tidak dilakukan upaya untuk mengubah sikap tersebut dalam setiap bagian dari masyarakat, sebagian perempuan akan selalu diperlakukan sebagai warga kelas dua," utur Allen. "Amnesty International telah menemukan bahwa pandangan negatif inilah yang dalam contoh paling ekstrem bisa menyebabkan penganiayaan terhadap perempuan, dan penyangkalan mendasar terhadap hak-hak perempuan."

Menurut survei ini, hanya satu dari 20 perempuan yang merasa bahwa masalah terbesar yang menghadang mereka adalah perbedaan perlakuan di tempat kerja, meskipun pria tiga kali lebih banyak yang percaya bahwa diskriminasi gender adalah tantangan terbesar perempuan. Jajak pendapat yang melibatkan 1.028 partisipan ini mendapati bahwa 47 persen perempuan tidak percaya bahwa laki-laki dan perempuan diperlakukan sama, dan 38 persen perempuan mengaku secara pribadi telah mengalami komentar-komentar dan perilaku yang bernada diskriminatif. Angka ini naik hingga 60 persen di antara perempuan di bawah usia 30 tahun. Yang menarik, 15 persen pria mengatakan bahwa mereka juga masih menerima diskriminasi gender dan perilaku seksis.


PBB mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai 'setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau mungkin mengakibatkan, kerugian fisik, seksual atau mental atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan , apakah itu terjadi di publik ataupun dalam kehidupan pribadi. "

Kekerasan pasangan intim mengacu pada perilaku dalam suatu hubungan intim yang menyebabkan fisik, seksual atau psikologis kerugian, termasuk agresi fisik, pemaksaan seksual, pelecehan psikologis dan perilaku mengendalikan.
Kekerasan seksual adalah setiap tindakan seksual, upaya untuk mendapatkan suatu tindakan seksual, komentar seksual yang tidak diinginkan atau uang muka, atau tindakan untuk lalu lintas, atau diarahkan terhadap seksualitas seseorang menggunakan paksaan, oleh setiap orang terlepas dari hubungan mereka dengan korban, dalam pengaturan apapun. Ini termasuk perkosaan, didefinisikan sebagai penetrasi dipaksa secara fisik atau dipaksa dari vulva atau anus dengan bagian, tubuh penis lainnya atau objek.

Ruang lingkup masalah

Tingkat populasi survei berdasarkan laporan dari para korban memberikan perkiraan yang paling akurat dari prevalensi kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual dalam pengaturan non-konflik. WHO Multi-negara studi tentang kesehatan perempuan dan kekerasan rumah tangga terhadap perempuan di 10 negara terutama berkembang menemukan bahwa, di antara perempuan berusia 15 sampai 49 tahun:
  • antara 15% wanita di Jepang dan 70% wanita di Ethiopia dan Peru melaporkan kekerasan fisik dan / atau seksual oleh pasangan intim;
  •  antara 0,3-11,5% dari wanita dilaporkan mengalami kekerasan seksual oleh pasangan non-;
  • pengalaman seksual pertama bagi banyak perempuan dilaporkan sebagai dipaksakan - 24% di pedesaan Peru, 28% di Tanzania, 30% di pedesaan Bangladesh, dan 40% di Afrika Selatan.
Pasangan intim dan kekerasan seksual kebanyakan dilakukan oleh laki-laki terhadap anak perempuan dan wanita. Namun, kekerasan seksual terhadap anak juga umum. Studi internasional menunjukkan bahwa sekitar 20% dari wanita dan 5-10% pria melaporkan korban kekerasan seksual menjadi sebagai anak-anak.
Studi berbasis populasi kekerasan hubungan antara orang muda (atau kekerasan kencan) menunjukkan bahwa ini mempengaruhi sebagian besar populasi kaum muda. Misalnya, di Afrika Selatan penelitian terhadap orang berusia 13-23 tahun menemukan bahwa 42% perempuan dan 38% laki-laki dilaporkan menjadi korban kekerasan kencan fisik.

Fakta kunci :

Kekerasan terhadap perempuan - baik kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual terhadap perempuan - adalah masalah kesehatan masyarakat yang utama dan pelanggaran hak asasi perempuan.
Sebuah studi multi-negara WHO menemukan bahwa antara 15-71% dari wanita melaporkan mengalami kekerasan fisik dan / atau seksual oleh pasangan intim di beberapa titik dalam hidup mereka.
Bentuk-bentuk kekerasan dalam hasil kesehatan fisik, mental, seksual, dan reproduksi dan masalah kesehatan lainnya, dan dapat meningkatkan kerentanan terhadap HIV.

Faktor risiko untuk menjadi pelaku termasuk pendidikan rendah, paparan masa lalu untuk penganiayaan anak atau kekerasan menyaksikan antara orang tua, penggunaan berbahaya alkohol, sikap menerima ketidaksetaraan kekerasan dan gender. Sebagian besar juga faktor risiko untuk menjadi korban dari pasangannya dan kekerasan seksual.

Sekolah berbasis program untuk mencegah kekerasan hubungan antara orang muda (atau kencan kekerasan) yang didukung oleh bukti terbaik efektivitas.Lain strategi pencegahan primer, seperti keuangan mikro dikombinasikan dengan pelatihan kesetaraan gender dan inisiatif berbasis komunitas yang membahas ketidaksetaraan gender dan komunikasi dan keterampilan hubungan, menjanjikan.
Situasi konflik konflik, pos dan perpindahan dapat memperburuk kekerasan yang ada dan bentuk-bentuk baru ini kekerasan terhadap perempuan.

Konsekuensi kesehatan

Pasangan intim dan kekerasan seksual serius pendek dan jangka panjang fisik, mental, masalah kesehatan seksual dan reproduksi bagi korban dan anak-anak mereka, dan menyebabkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi.
Efek kesehatan dapat termasuk sakit kepala, nyeri punggung, nyeri perut, fibromyalgia, gangguan pencernaan, mobilitas terbatas dan kesehatan secara keseluruhan yang buruk. Dalam beberapa kasus, baik luka fatal dan non-fatal dapat terjadi.

Mitra kekerasan intim dan kekerasan seksual dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan, masalah ginekologi, aborsi induksi dan infeksi menular seksual, termasuk HIV. Mitra kekerasan intim pada kehamilan juga meningkatkan kemungkinan keguguran pengiriman, lahir mati, prematur dan berat badan lahir rendah.
Bentuk-bentuk kekerasan dapat menyebabkan depresi, stres pasca-trauma gangguan, kesulitan tidur, gangguan makan, gangguan emosi dan usaha bunuh diri.

Kekerasan seksual, khususnya selama masa kanak-kanak, dapat menyebabkan peningkatan, obat merokok dan penyalahgunaan alkohol, dan perilaku seksual berisiko di kemudian hari. Hal ini juga terkait dengan perbuatan kekerasan (untuk laki-laki) dan menjadi korban kekerasan (untuk perempuan).

Dampak pada anak-anak

Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga di mana ada kekerasan pasangan intim mungkin menderita berbagai gangguan perilaku dan emosional yang dapat dikaitkan dengan perbuatan atau mengalami kekerasan di kemudian hari. Kekerasan pasangan intim juga telah dikaitkan dengan tingkat lebih tinggi dari kematian bayi dan anak dan morbiditas (misalnya penyakit kekurangan gizi, diare).

Biaya Sosial dan ekonomi

Biaya sosial dan ekonomi sangat besar dan memiliki efek riak di seluruh masyarakat. Wanita mungkin menderita isolasi, ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan upah, kurangnya partisipasi dalam kegiatan rutin dan kemampuan terbatas untuk merawat diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.

Faktor risiko

Faktor ditemukan terkait dengan pasangannya dan kekerasan seksual - atau faktor risiko - terjadi dalam individu, keluarga dan komunitas dan masyarakat luas.Beberapa faktor yang terkait dengan pelaku kekerasan, beberapa yang terkait dengan korban kekerasan dan beberapa yang terkait dengan keduanya.
Faktor risiko untuk kedua pasangan intim dan kekerasan seksual termasuk:
  •  rendah tingkat pendidikan (pelaku dan korban);
  • paparan penganiayaan anak (pelaku dan korban);
  • menyaksikan kekerasan orang tua (pelaku dan korban);
  • gangguan kepribadian antisosial (pelaku);
  • berbahaya penggunaan alkohol (pelaku dan korban);
  • laki-laki yang mempunyai banyak partner atau mitra mereka dicurigai oleh perselingkuhan (pelaku), dan
  • sikap yang menerima kekerasan (pelaku dan korban).
Faktor risiko khusus untuk kekerasan pasangan intim meliputi:
  •  masa lalu sejarah kekerasan sebagai pelaku atau korban;
  •  perkawinan perselisihan dan ketidakpuasan (pelaku dan korban).
Faktor risiko spesifik untuk perbuatan kekerasan seksual termasuk:
  •  keyakinan dalam kehormatan keluarga dan kemurnian seksual;
  •  ideologi hak seksual laki-laki; dan
  •  lemah hukum sanksi bagi kekerasan seksual.
Posisi setara terhadap perempuan relatif terhadap laki-laki dan penggunaan normatif kekerasan untuk menyelesaikan konflik sangat terkait dengan kedua kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual oleh pelaku apapun.

Pencegahan

Saat ini, ada beberapa intervensi yang efektivitas telah terbukti secara ilmiah.Sumber daya lebih banyak diperlukan untuk memperkuat pencegahan primer pasangannya dan kekerasan seksual - yaitu menghentikan hal itu terjadi di tempat pertama.
Strategi pencegahan primer dengan bukti terbaik untuk efektivitas untuk kekerasan pasangan intim adalah sekolah berbasis program untuk remaja untuk mencegah kekerasan dalam hubungan kencan. Ini, bagaimanapun, masih harus dikaji untuk digunakan dalam rangkaian miskin sumber daya. Bukti yang muncul untuk efektivitas beberapa strategi pencegahan primer lainnya: mereka yang menggabungkan keuangan mikro dengan pelatihan kesetaraan gender; yang mempromosikan kemampuan komunikasi dan hubungan dalam masyarakat; yang mengurangi akses ke, dan penggunaan berbahaya alkohol, dan bahwa norma-norma budaya mengubah jenis kelaminnya.

Untuk mencapai perubahan yang abadi, adalah penting untuk melaksanakan legislasi dan mengembangkan kebijakan yang melindungi perempuan; alamat diskriminasi terhadap perempuan dan mempromosikan kesetaraan gender, dan membantu untuk memindahkan kultur jauh dari kekerasan.

Sebuah respon yang tepat dari sektor kesehatan dapat berkontribusi dalam cara yang penting untuk mencegah terulangnya kekerasan dan mengurangi konsekuensinya (pencegahan sekunder dan tersier). Sensitisasi dan pendidikan kesehatan dan penyedia layanan lainnya Oleh karena itu strategi lain yang penting.Untuk mengatasi sepenuhnya konsekuensi dari kekerasan dan kebutuhan korban / orang yang selamat membutuhkan respon multi-sektoral.

WHO, bekerja sama dengan sejumlah mitra, adalah:
bangunan dasar bukti mengenai ruang lingkup dan jenis pasangan intim dan kekerasan seksual dalam pengaturan yang berbeda dan mendukung upaya negara untuk mendokumentasikan dan mengukur kekerasan ini. Hal ini penting untuk memahami besarnya dan sifat masalah di tingkat global; mengembangkan pedoman teknis untuk berbasis bukti pasangan intim dan pencegahan kekerasan seksual dan untuk memperkuat tanggapan sektor kesehatan untuk kekerasan semacam itu; menyebarluaskan informasi dan mendukung upaya-upaya nasional untuk memajukan hak-hak perempuan dan pencegahan dan respons terhadap pasangannya dan kekerasan seksual terhadap perempuan, dan bekerja sama dengan badan-badan internasional dan organisasi untuk mengurangi / menghilangkan pasangan intim dan kekerasan seksual secara global.

Perhatian Terhadap Perempuan Indonesia

Kasus kekerasan masih menjadi masalah yang menghantui perempuan dan anak-anak. Di Kota Solo tercatat sebanyak 634 kasus kekerasan terjadi selama 2006-2010. Angka ini diyakini jauh lebih kecil dari jumlah sebenarnya yang terjadi di tengah masyarakat.

”Perempuan masih enggan melapor karena nrimodan menganggap malah mengumbar aib,” kata Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bappermas) Kota Solo Nuning Sri Sulistyaningsih seusai pertemuan dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional, Selasa (8/3/2011).

Nurul Sutarti dari Yayasan Krida Paramita Solo mengungkapkan, kasus kekerasan yang paling banyak menimpa perempuan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sedangkan anak-anak banyak menghadapi kasus eksploitasi seksual anak (eska). Ia mencontohkan, pada tahun 2008, kasus KDRT perempuan mencapai 61 persen, sedangkan kasus eska mencapai 52 persen.

Penyebab utama terjadinya KDRT, baik menurut Nuning maupun Nurul, terjadi karena kondisi ekonomi keluarga. Ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki dalam keluarga menyebabkan perempuan tidak berdaya saat terjadi KDRT.

Kota Solo sebenarnya telah memiliki Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) yang terdiri dari 44 elemen, seperti lembaga swadaya masyarakat, institusi penegak hukum, dewan perwakilan daerah, dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Masing-masing juga telah diberikan peran dan standar operasional prosedur.

Sayangnya, implementasinya belum optimal karena belum ada kesamaan persepsi dan komitmen akan perlindungan perempuan dan anak. Sebagai contoh, anggaran yang minim dan kapasitas sumber daya manusia yang masih terbatas. ”Saya tidak bisa bayangkan daerah lain yang belum punya seperti PTPAS ini barangkali upaya perlindungan perempuan dan anaknya masih sangat terbatas,” kata Nurul.

Nuning mengakui, belum adanya pemahaman yang sama tentang peran dan tugas masing -masing. Demikian pula dengan anggaran yang terbatas . Ia berharap, tim anggaran dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bisa lebih berpihak pada upaya perlindungan perempuan dan anak melalui PTPAS.

”Sinergi belum bisa terjadi. Keterlibatan dalam PTPAS masih sebatas formalitas di atas kertas,” kata Nuning.
Pada acara media briefing peringatan Hari Perempuan di Kantor SP, Jakarta, Rabu (9/3/2011), Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) Riska Umar menyesalkan sikap pemerintah yang dinilai kurang melindungi hak asasi perempuan. Menurutnya, saat ini tidak ada langkah kongkrit dari pemerintahan mengatasi permasalah tersebut. Harusnya negara dapat merealisasikan hal tersebut, karena dulu mereka sudah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) melalui UU No 7 Tahun 1984. Hal tersebut terlihat dari kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah yang justru menguatkan elit politik tertentu.

Penegakan hukum Indonesia semakin jauh dari perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, di mana salah satunya adalah menjamin hak atas otonomi tubuh perempuan. Untuk itu, pemerintah harus berhenti memproduksi peraturan diskriminatif dan memberikan perlindungan atas kebebasan hak perempuan di Indonesia. Kita sangat mengharapkan sekali pemerintah saat ini lebih concern terhadap perempuan. Salah satunya adalah berhenti memproduksi peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan karena hal tersebut bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Dr. Ema Marhumah menuliskan dalam bukunya berjudul : Konstruksi Sosial Gender di Pesantren, Studi Kuasa Kiai atas Wacana Perempuan [Penerbit : LKiS Yogyakarta Tahun : I Januari 2011 Tebal : xviii + 206 halaman] sebagai berikut.

Sudahkah praktik sosialisasi gender yang bias (timpang) sirna dari bumi Indonesia? Agaknya, meski gerakan feminisme menuju dunia egaliter bagi sesama manusia, laki-laki dan perempuan, sudah diperjuangkan sejak lama, pola hubungan gender yang bias masih kerap ditemukan di Indonesia. Selain mendapat legitimasi dari adat dan budaya, bias gender juga terkesan mendapatkan legitimasi dari Islam (pesantren). Tidak ayal, paradigma gender yang bias pun masih berurat-berakar dalam masyarakat kita.

Pesantren yang diharapkan mampu melahirkan generasi yang sadar gender, justru melembagakan pola hubungan gender yang bias. Kita bisa lihat misalnya bagaimana pengkalsifikasian yang berbeda antara santri laki-laki dan perempuan di pesantren. Peraturan pesantren mensyaratkan santri perempuan yang akan keluar pesantren harus sudah kembali ke pesantren sebelum datangnya waktu maghrib, sementara untuk laki-laki tidak berlaku ketentuan tersebut. Perbedaan ini pada akhirnya akan mendukung ketidaksetaraan akses dan kontrol terhadap informasi dan ekspresi kejiwaan pada masing-masing santri laki-laki dan perempuan.(hal. 75).

Praktik demikian diperkokoh dengan kurikulum pendidikan di pesantren yang masih mempertahankan kitab-kitab klasik sebagai rujukan keberagamaan mereka. Bagi komunitas pesantren, ajaran dalam kitab-kitab klasik tersebut masih terlalu suci untuk dikontekstualisasikan. Padahal, harus disadari bahwa ajaran dalam kitab-kitab klasik tersebut cenderung melanggengkan nilai-nilai yang menempatkan laki-laki sebagai superior dan kurang berpihak pada perempuan. Bahkan tidak jarang kitab-kitab klasik menempatkan perempuan sekedar sebagai pemenuh kebutuhan biologis laki-laki. Bukankah sejatinya Islam adalah agama yang ramah perempuan?

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat