KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Monday, 16 July 2018

Menguji Kisruh Zonasi PERMEN 14-2018

Posted by   on Pinterest


Sistem zonasi sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 memicu kekacauan penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2018 di sejumlah daerah. Sistem zonasi ini dasarnya diterapkan sebagai strategi pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses dan mutu pendidikan secara nasional.

Penerapan sistem zonasi sekolah untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih berbuntut masalah di berbagai daerah. Penerapan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru jadi pemicu rangkaian peristiwa bunuh diri, demonstrasi, hingga aksi penyanderaan mewarnai proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur reguler di sejumlah sekolah seperti di Bandung, Manado, dan Tangerang.

Di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau,  sejumlah orang tua yang mendaftarkan anak-anaknya ke Sekolah Menengah Atas (SMA) menemukan ketidakwajaran sistem PPDB dalam jaringan. An, seorang warga, di Tanjungpinang, (Antara, Selasa, 11/7/2018), menyoroti ketidakwajaran ketika sejumlah siswa yang nilainya rendah bisa masuk ke SMAN 1 yang menjadi salah satu sekolah favorit di sana. Mereka itu saling mengenal sehingga mengetahui persis nilai pada ijazah masing-masing siswa. Jadi anak-anak yang memiliki nilai tinggi tidak bisa diterima, sedangkan rekannya memiliki nilai rendah bisa masuk SMAN 1 Tanjungpinang. An memastikan nilai di SMP yang diperoleh anaknya jauh lebih tinggi dari sejumlah anak dari SMP yang sama, yang berhasil masuk ke SMAN 1 Tanjungpinang. Sy, putri dari An kini hanya bisa menangis. Sy tidak ingin sekolah meski diterima di SMAN lainnya. An pun ikut menangis karena Sy akhirnya sakit dan tidak mau sekolah.

Di Tangerang, Banten, ratusan warga Panunggangan, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang merangsek ke dalam Gedung SMP 23 Pinang, lantas menyandera Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang, Abduh Surahman. Mereka yang menyandera adalah para orang tua tua yang kecewa anaknya tak diterima di sekolah tersebut. Mereka kesal lantaran Abduh tak bisa membantu meloloskan anak-anak mereka. Selain menyandera kepala dinas, ratusan orang tua siswa juga menyegel gedung sekolah. Sementara aparat kepolisian yang berjaga tak dapat berbuat banyak. Sri Masnah, warga yang menggeruduk SMP 23  mencetuskan bahwa jaraknya ada, 3 meter. Rumah saya ke-aling-an ini, nih. Satu RW, orang asli sini, tapi enggak bisa masuk karena NEM-nya kecil dan zona program. Padahal dulu anak yang deket enggak boleh sekolah jauh tapi nyatanya malah anak lain yang diterima. Anak saya mah kaga.

Di Manado, Sulawesi Selatan, para orang tua siswa berebut mendaftarkan anaknya di SMP Negeri 1 Manado yang memang menjadi salah satu sekolah primadona. Para orang tua berebut masuk ke dalam sekolah untuk mendapatkan nomor antrean. Padahal SMP Negeri 1 hanya bisa menerima 384 siswa baru. Dari jumlah itu, sekolah hanya diperbolehkan menyisihkan 10 persen kuota untuk calon siswa di luar zonasi. Asrin, operator penerimaan masuk siswa baru SMP Negeri 1 mencatat dari 384 kuota yang dimiliki sekolah, ada 600 orang tua siswa yang mendaftarkan anaknya sejak Senin siang kemarin. Sementara aparat kepolisian yang berjaga tak dapat berbuat banyak. Mereka hanya berusaha menenangkan warga sambil mengevakuasi kela dinas.

Di Bandung, Jawa Barat, ratusan orang tua dan calon siswa menggelar demonstrasi di kantor Gubernur Jabar, Gedung Sate. Ratusan orang tua dan calon siswa yang kompak mengenakan pita merah itu, menuntut kejelasan sistem PPDB 2018. Dalam aksinya, massa juga menuntut agar pemerintah daerah menjembatani ke pemerintah pusat mengenai kisruh PPDB yang terjadi di Kota Bandung dan Jawa Barat. Siti Aminah (54), salah satu orang tua siswa yang ikut berdemo mempersoalkan anaknya yang sudah mendaftar di sekolah terdekat namun tidak diterima. Ia pun menyebut sistem zonasi yang ditetapkan pemerintah tidak berpihak. Aminah lantas menuntut pemerintah daerah membebaskan atau meringankan biaya pendaftaran seandainya anaknya harus masuk ke sekolah swasta. Kalau seperti ini orang miskin semakin bodoh. Hoyong atuh abdi ge orang miskin pinter, jadi pejabat. Deni, warga Bandung yang ikut berdemo di Gedung Sate kemarin mengaku tak sanggup membiayai jika anaknya mendaftar di sekolah swasta. Tadi ke swasta daftar saja Rp200 ribu. Total harus ada uang sekitar Rp. 4 juta. Saya berharap ada jaminan bebas biaya ke swasta.

Pada Juni lalu, seorang remaja putri di Blitar, Jawa Timur, EP (16), tewas bunuh diri setelah dirinya khawatir tidak bisa diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Blitar karena sistem zonasi yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kekhawatiran EP ini rupanya mewakili kekhawatiran para orang tua siswa.

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Hamid Muhammad mengatakan Sistem zonasi penerimaan siswa baru diatur dalam Permendikbud No 17 tahun 2017 tentang PPDB, yang kemudian disempurnakan lewat Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018. Dari Permendikbud tersebut, kriteria utama dalam PPDB adalah jarak, bukan faktor lain seperti usia atau prestasi. Itu (jarak, red.) yang diutamakan, kedua baru faktor lainnya, seperti umur. Dalam sistem zonasi, sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Sisanya, sebanyak lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial. Ketentuan zonasi diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah (pemda), sesuai dengan kondisi geografis wilayah. Harapannya, siswa tak perlu lagi mengeluarkan ongkos transportasi lebih untuk menuju ke sekolahnya masing-masing.

MENDIKBUD Muhadjir Effendy memberi contoh siswa-siswa di Jepang, yang hanya berjalan kaki ke sekolahnya masing-masing. Kalau tidak terima dengan sistem zonasi, masuklah ke swasta. Nantinya kami akan mendorong agar sekolah swasta dibenahi, ditingkatkan kualitasnya jangan sampai sekolah didirikan hanya untuk mengharapkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Permendikbud 14/2018 memiliki banyak kelemahan, sehingga menuai banyak masalah. Padahal peraturan yang diteken Menteri Muhadjir Effendy pada 2 Mei 2018 itu bertujuan untuk pemerataan pendidikan dan meminimalisasi mobilitas siswa ke sekolah tertentu.

Puluhan ribu pendaftar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jawa Tengah menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) palsu alias sebenarnya orang mampu demi diterima di sekolah favorit. Sementara sejumlah sekolah di Solo malah kekurangan murid karena berlokasi jauh dari permukiman penduduk.



Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo (CNNIndonesia.com, Rabu, 11/7/2018) mengatakan pengertian di sejumlah pasal Permendikbud 14/2018 itu cukup bias. PPDB tahun ini makin gaduh.

Masalah pertama, kelemahan Permendikbud 14/2018 pada Bab III tentang Tata Cara PPDB. Pada Bagian Keenam tentang Biaya di pasal 19 berbunyi, "Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM."
Pada Bagian Keempat tentang Sistem Zonasi, dijelaskan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Sisanya, sebanyak lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial.
Mulai dari pasal satu sampai enam Bagian Keempat tentang Sistem Zonasi, tidak satu pasal pun menyebut SKTM. Masalah SKTM tidak ada sangkut pautnya dengan proses penerimaan siswa baru. Dengan demikian, penerimaan dengan jalur SKTM sebagaimana terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak berlandaskan payung hukum. Dalam praktiknya, ternyata daerah mengimplementasikannya beda.

Masalah kedua terlihat pada pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, "Domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB."
Pasal tersebut tidak mengukur dengan jelas alasan migrasi dukcapilnya dari suatu daerah ke daerah lain. Banyak migrasi DUKCAPIL digunakan hanya untuk memperoleh peluang masuk sekolah negeri atau sekolah favorit. Akibatnya, tertutup peluang siswa alih jenjang di zona tersebut. FSGI menemukan fakta tersebut dilakukan oleh siswa berinisial F dari Cibinong, Bogor. F bersama kakaknya menumpang KK di keluarga saudaranya yang berada di Kramat Jati, Jakarta Timur. Selanjutnya, F diterima bersekolah di SMA negeri di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Sementara kakaknya diterima di salah satu SMA negeri di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.

Masalah ketiga, terkait pengertian 'radius terdekat' yang terdapat pada pasal 16 ayat 1 berbunyi, "Sekolah yang diselengarakan oleh Pemda wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima."
Pasal tersebut membatasi sekolah-sekolah yang ada di pusat kota dan jauh dari konsentrasi pemukiman warga. Sehingga, sekolah-sekolah yang saling berdekatan itu kekurangan pendaftar. FSGI menemukan kasus serupa di Solo, yakni SMPN 3, SMPN 25, dan SMPN 26.
Kelemahan pasal tersebut juga merugikan sekolah-sekolah yang tidak terpenuhi daya tampungnya. Akibatnya, guru di sekolah itu tidak terpenuhi jumlah jam mengajar 24 jam. Mereka terancam tak mendapat tunjangan sertifikasi yang selama ini diterima. Kalau sekolah enggak kebagian murid, guru mengajar apa? (Jam mengajar) kurang dari 24 jam seminggu. Akhirnya, dia enggak bisa mendapat tunjangan sertifikasi guru.

Masalah keempat, masih terkait dengan pasal 16 ayat 1. Persoalan ini terjadi di tiga kecamatan di Kabupaten Blora, Jateng; Kecamatan Jepon, Kecamatan Jiken dan Kecamatan Bogorejo. Tiga kecamatan tersebut menjadi satu zona, di mana hanya berdiri satu SMA negeri. Dengan demikian, siswa alih jenjang yang berada paling jauh dari sekolah tidak ada peluang untuk diterima. Menurut laporan jaringan FSGI, di ketiga kecamatan tersebut, siswa yang ingin alih jenjang sekitar 40 kelas. Sementara, ada tujuh kelas yang diperebutkan di SMAN 1 Jepon. Adapun kecamatan yang paling jauh adalah Kecamatan Jiken. Alhasil, siswa yang alih jenjang dari Kecamatan Jiken berpeluang sangat minim. Jika demikian, siswa dari radius yang paling jauh dalam satu zona tersebut yang dirugikan. Tentu ini tidak adil.

Penyimpangan praktik PPDB sistem zonasi di daerah dari pedoman Permedikbud 14/2018 lantaran kurang sosisalisasi. Kemendikbud tidak memberikan petunjuk teknis yang jelas mengenai PPDB. Seharusnya, dinas pendidikan di level provinsi/kabupaten/kota memiliki pemahaman teknis yang sama. Ada misunderstanding terhadap PERMENDIKBUD. Melihat kegaduhan-kegaduhan PPDB sistem zonasi yang bersandar pada Permendikbud 14/2018 itu, FSGI merekomendasikan beberapa hal.

Pertama, Bab III Bagian Keenam perlu diperbaiki, khususnya pasal 19 ayat 1-3 sehingga tidak menimbulkan kerancuan-kerancuan dalam alih jenjang baik dari SMP ke SMAN/SMKN dalam bentuk PPDB jalur SKTM. Perbaikan tersebut bisa dengan membuat Surat Edaran Mendikbud untuk menjelaskan secara gamblang tentang pasal-pasal yang dianggap bermasalah. Sebab untuk perbaikan PERMENDIKBUD tentu membutuhkan waktu agak lama, sedangkan PPDB sedang berlangsung.
Kedua, perlu ada penegasan alasan pada pasal 16 ayat 2 dalam migrasi dukcapil dalam satu KK paling lambat enam bulan.
Ketiga, Kemendikbud bersama Dinas Pendidikan terkait seharusnya memetakan kembali zonasi secara cermat hingga tingkat kelurahan/desa. Selain itu perlu ada peningkatan sarana pendidikan seperti mendirikan sekolah-sekolah di tiap kecamatan untuk alih jenjang. Hal ini agar terjadi pemerataan pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan untuk kemajuan pendidikan dasar dan menengah.
Keempat, Heru mengimbau kepada para orang tua dan pengurus RT/RW agar bertindak jujur terkait SKTM. Pembuatan SKTM oleh oknum keluarga mampu hanya demi bisa bersekolah di sekolah favorit tertentu, dapat merugikan peluang calon siswa lainnya.

Berkaca dari kisruh-kisruh tersebut, sistem zonasi jelas perlu pematangan konsep dan persiapan yang lebih mantap. Tanpa itu, niat baik pemerintah lewat sistem zonasi hanya akan menjadi mimpi buruk bagi para siswa dan orang tua siswa.

SUMBER :
www.cnnindonesia.com

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat