Sistem
zonasi sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 14 Tahun 2018 memicu kekacauan penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2018 di
sejumlah daerah. Sistem zonasi ini dasarnya diterapkan sebagai strategi
pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses dan mutu pendidikan secara
nasional.
Penerapan
sistem zonasi sekolah untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih
berbuntut masalah di berbagai daerah. Penerapan sistem zonasi dalam penerimaan
siswa baru jadi pemicu rangkaian peristiwa bunuh diri, demonstrasi, hingga aksi
penyanderaan mewarnai proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur reguler
di sejumlah sekolah seperti di Bandung, Manado, dan Tangerang.
Di Kota
Tanjungpinang, Kepulauan Riau, sejumlah
orang tua yang mendaftarkan anak-anaknya ke Sekolah Menengah Atas (SMA) menemukan
ketidakwajaran sistem PPDB dalam jaringan. An, seorang warga, di Tanjungpinang,
(Antara, Selasa, 11/7/2018), menyoroti ketidakwajaran ketika sejumlah siswa
yang nilainya rendah bisa masuk ke SMAN 1 yang menjadi salah satu sekolah
favorit di sana. Mereka itu saling mengenal sehingga mengetahui persis nilai
pada ijazah masing-masing siswa. Jadi anak-anak yang memiliki nilai tinggi
tidak bisa diterima, sedangkan rekannya memiliki nilai rendah bisa masuk SMAN 1
Tanjungpinang. An memastikan nilai di SMP yang diperoleh anaknya jauh lebih
tinggi dari sejumlah anak dari SMP yang sama, yang berhasil masuk ke SMAN 1
Tanjungpinang. Sy, putri dari An kini hanya bisa menangis. Sy tidak ingin
sekolah meski diterima di SMAN lainnya. An pun ikut menangis karena Sy akhirnya
sakit dan tidak mau sekolah.
Di
Tangerang, Banten, ratusan warga Panunggangan, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang
merangsek ke dalam Gedung SMP 23 Pinang, lantas menyandera Kepala Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang, Abduh Surahman. Mereka yang
menyandera adalah para orang tua tua yang kecewa anaknya tak diterima di
sekolah tersebut. Mereka kesal lantaran Abduh tak bisa membantu meloloskan
anak-anak mereka. Selain menyandera kepala dinas, ratusan orang tua siswa juga
menyegel gedung sekolah. Sementara aparat kepolisian yang berjaga tak dapat
berbuat banyak. Sri Masnah, warga yang menggeruduk SMP 23 mencetuskan bahwa jaraknya ada, 3 meter.
Rumah saya ke-aling-an ini, nih. Satu RW, orang asli sini, tapi enggak bisa
masuk karena NEM-nya kecil dan zona program. Padahal dulu anak yang deket
enggak boleh sekolah jauh tapi nyatanya malah anak lain yang diterima. Anak
saya mah kaga.
Di Manado,
Sulawesi Selatan, para orang tua siswa berebut mendaftarkan anaknya di SMP
Negeri 1 Manado yang memang menjadi salah satu sekolah primadona. Para orang
tua berebut masuk ke dalam sekolah untuk mendapatkan nomor antrean. Padahal SMP
Negeri 1 hanya bisa menerima 384 siswa baru. Dari jumlah itu, sekolah hanya
diperbolehkan menyisihkan 10 persen kuota untuk calon siswa di luar zonasi. Asrin,
operator penerimaan masuk siswa baru SMP Negeri 1 mencatat dari 384 kuota yang
dimiliki sekolah, ada 600 orang tua siswa yang mendaftarkan anaknya sejak Senin
siang kemarin. Sementara aparat kepolisian yang berjaga tak dapat berbuat
banyak. Mereka hanya berusaha menenangkan warga sambil mengevakuasi kela dinas.
Di Bandung,
Jawa Barat, ratusan orang tua dan calon siswa menggelar demonstrasi di kantor
Gubernur Jabar, Gedung Sate. Ratusan orang tua dan calon siswa yang kompak
mengenakan pita merah itu, menuntut kejelasan sistem PPDB 2018. Dalam aksinya,
massa juga menuntut agar pemerintah daerah menjembatani ke pemerintah pusat
mengenai kisruh PPDB yang terjadi di Kota Bandung dan Jawa Barat. Siti Aminah
(54), salah satu orang tua siswa yang ikut berdemo mempersoalkan anaknya yang
sudah mendaftar di sekolah terdekat namun tidak diterima. Ia pun menyebut
sistem zonasi yang ditetapkan pemerintah tidak berpihak. Aminah lantas menuntut
pemerintah daerah membebaskan atau meringankan biaya pendaftaran seandainya
anaknya harus masuk ke sekolah swasta. Kalau seperti ini orang miskin semakin
bodoh. Hoyong atuh abdi ge orang miskin pinter, jadi pejabat. Deni, warga
Bandung yang ikut berdemo di Gedung Sate kemarin mengaku tak sanggup membiayai
jika anaknya mendaftar di sekolah swasta. Tadi ke swasta daftar saja Rp200
ribu. Total harus ada uang sekitar Rp. 4 juta. Saya berharap ada jaminan bebas
biaya ke swasta.
Pada Juni
lalu, seorang remaja putri di Blitar, Jawa Timur, EP (16), tewas bunuh diri
setelah dirinya khawatir tidak bisa diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) 1
Blitar karena sistem zonasi yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Kekhawatiran EP ini rupanya mewakili kekhawatiran para orang tua
siswa.
Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Hamid Muhammad
mengatakan Sistem zonasi penerimaan siswa baru diatur dalam Permendikbud No 17
tahun 2017 tentang PPDB, yang kemudian disempurnakan lewat Permendikbud Nomor
14 Tahun 2018. Dari Permendikbud tersebut, kriteria utama dalam PPDB adalah
jarak, bukan faktor lain seperti usia atau prestasi. Itu (jarak, red.) yang
diutamakan, kedua baru faktor lainnya, seperti umur. Dalam sistem zonasi,
sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon
peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Dari jumlah
keseluruhan peserta didik yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon
peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Sisanya, sebanyak
lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau
terjadi bencana alam atau sosial. Ketentuan zonasi diserahkan sepenuhnya kepada
pemerintah daerah (pemda), sesuai dengan kondisi geografis wilayah. Harapannya,
siswa tak perlu lagi mengeluarkan ongkos transportasi lebih untuk menuju ke
sekolahnya masing-masing.
MENDIKBUD
Muhadjir Effendy memberi contoh siswa-siswa di Jepang, yang hanya berjalan kaki
ke sekolahnya masing-masing. Kalau tidak terima dengan sistem zonasi, masuklah
ke swasta. Nantinya kami akan mendorong agar sekolah swasta dibenahi,
ditingkatkan kualitasnya jangan sampai sekolah didirikan hanya untuk
mengharapkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Permendikbud 14/2018 memiliki banyak
kelemahan, sehingga menuai banyak masalah. Padahal peraturan yang diteken
Menteri Muhadjir Effendy pada 2 Mei 2018 itu bertujuan untuk pemerataan
pendidikan dan meminimalisasi mobilitas siswa ke sekolah tertentu.
Puluhan ribu pendaftar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jawa Tengah menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) palsu alias sebenarnya orang mampu demi diterima di sekolah favorit. Sementara sejumlah sekolah di Solo malah kekurangan murid karena berlokasi jauh dari permukiman penduduk.
Sekretaris
Jenderal FSGI Heru Purnomo (CNNIndonesia.com, Rabu, 11/7/2018) mengatakan
pengertian di sejumlah pasal Permendikbud 14/2018 itu cukup bias. PPDB tahun
ini makin gaduh.
Masalah
pertama, kelemahan Permendikbud 14/2018 pada Bab III tentang Tata Cara PPDB. Pada
Bagian Keenam tentang Biaya di pasal 19 berbunyi, "Pemprov wajib menerima
dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga
ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling
sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima
dibuktikan dengan SKTM."
Pada Bagian
Keempat tentang Sistem Zonasi, dijelaskan bahwa sekolah yang diselenggarakan
oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada
radius zona terdekat. Dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima,
minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada
radius zona terdekat. Sisanya, sebanyak lima persen untuk jalur prestasi dan
lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial.
Mulai dari
pasal satu sampai enam Bagian Keempat tentang Sistem Zonasi, tidak satu pasal
pun menyebut SKTM. Masalah SKTM tidak ada sangkut pautnya dengan proses
penerimaan siswa baru. Dengan demikian, penerimaan dengan jalur SKTM
sebagaimana terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak berlandaskan payung
hukum. Dalam praktiknya, ternyata daerah mengimplementasikannya beda.
Masalah
kedua terlihat pada pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, "Domisili calon peserta
didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Kartu Keluarga
(KK) yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB."
Pasal
tersebut tidak mengukur dengan jelas alasan migrasi dukcapilnya dari suatu
daerah ke daerah lain. Banyak migrasi DUKCAPIL digunakan hanya untuk memperoleh
peluang masuk sekolah negeri atau sekolah favorit. Akibatnya, tertutup peluang
siswa alih jenjang di zona tersebut. FSGI menemukan fakta tersebut dilakukan
oleh siswa berinisial F dari Cibinong, Bogor. F bersama kakaknya menumpang KK
di keluarga saudaranya yang berada di Kramat Jati, Jakarta Timur. Selanjutnya,
F diterima bersekolah di SMA negeri di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
Sementara kakaknya diterima di salah satu SMA negeri di Kecamatan Cipayung,
Jakarta Timur.
Masalah
ketiga, terkait pengertian 'radius terdekat' yang terdapat pada pasal 16 ayat 1
berbunyi, "Sekolah yang diselengarakan oleh Pemda wajib menerima calon
peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota
paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang
diterima."
Pasal
tersebut membatasi sekolah-sekolah yang ada di pusat kota dan jauh dari
konsentrasi pemukiman warga. Sehingga, sekolah-sekolah yang saling berdekatan
itu kekurangan pendaftar. FSGI menemukan kasus serupa di Solo, yakni SMPN 3,
SMPN 25, dan SMPN 26.
Kelemahan
pasal tersebut juga merugikan sekolah-sekolah yang tidak terpenuhi daya
tampungnya. Akibatnya, guru di sekolah itu tidak terpenuhi jumlah jam mengajar
24 jam. Mereka terancam tak mendapat tunjangan sertifikasi yang selama ini
diterima. Kalau sekolah enggak kebagian murid, guru mengajar apa? (Jam
mengajar) kurang dari 24 jam seminggu. Akhirnya, dia enggak bisa mendapat
tunjangan sertifikasi guru.
Masalah
keempat, masih terkait dengan pasal 16 ayat 1. Persoalan ini terjadi di tiga
kecamatan di Kabupaten Blora, Jateng; Kecamatan Jepon, Kecamatan Jiken dan
Kecamatan Bogorejo. Tiga kecamatan tersebut menjadi satu zona, di mana hanya
berdiri satu SMA negeri. Dengan demikian, siswa alih jenjang yang berada paling
jauh dari sekolah tidak ada peluang untuk diterima. Menurut laporan jaringan
FSGI, di ketiga kecamatan tersebut, siswa yang ingin alih jenjang sekitar 40
kelas. Sementara, ada tujuh kelas yang diperebutkan di SMAN 1 Jepon. Adapun
kecamatan yang paling jauh adalah Kecamatan Jiken. Alhasil, siswa yang alih
jenjang dari Kecamatan Jiken berpeluang sangat minim. Jika demikian, siswa dari
radius yang paling jauh dalam satu zona tersebut yang dirugikan. Tentu ini
tidak adil.
Penyimpangan
praktik PPDB sistem zonasi di daerah dari pedoman Permedikbud 14/2018 lantaran
kurang sosisalisasi. Kemendikbud tidak memberikan petunjuk teknis yang jelas
mengenai PPDB. Seharusnya, dinas pendidikan di level provinsi/kabupaten/kota
memiliki pemahaman teknis yang sama. Ada misunderstanding terhadap PERMENDIKBUD.
Melihat kegaduhan-kegaduhan PPDB sistem zonasi yang bersandar pada Permendikbud
14/2018 itu, FSGI merekomendasikan beberapa hal.
Pertama, Bab
III Bagian Keenam perlu diperbaiki, khususnya pasal 19 ayat 1-3 sehingga tidak
menimbulkan kerancuan-kerancuan dalam alih jenjang baik dari SMP ke SMAN/SMKN
dalam bentuk PPDB jalur SKTM. Perbaikan tersebut bisa dengan membuat Surat
Edaran Mendikbud untuk menjelaskan secara gamblang tentang pasal-pasal yang
dianggap bermasalah. Sebab untuk perbaikan PERMENDIKBUD tentu membutuhkan waktu
agak lama, sedangkan PPDB sedang berlangsung.
Kedua, perlu
ada penegasan alasan pada pasal 16 ayat 2 dalam migrasi dukcapil dalam satu KK
paling lambat enam bulan.
Ketiga,
Kemendikbud bersama Dinas Pendidikan terkait seharusnya memetakan kembali
zonasi secara cermat hingga tingkat kelurahan/desa. Selain itu perlu ada
peningkatan sarana pendidikan seperti mendirikan sekolah-sekolah di tiap
kecamatan untuk alih jenjang. Hal ini agar terjadi pemerataan pendidikan,
meningkatkan anggaran pendidikan untuk kemajuan pendidikan dasar dan menengah.
Keempat,
Heru mengimbau kepada para orang tua dan pengurus RT/RW agar bertindak jujur
terkait SKTM. Pembuatan SKTM oleh oknum keluarga mampu hanya demi bisa
bersekolah di sekolah favorit tertentu, dapat merugikan peluang calon siswa
lainnya.
Berkaca dari
kisruh-kisruh tersebut, sistem zonasi jelas perlu pematangan konsep dan
persiapan yang lebih mantap. Tanpa itu, niat baik pemerintah lewat sistem
zonasi hanya akan menjadi mimpi buruk bagi para siswa dan orang tua siswa.
SUMBER :
www.cnnindonesia.com
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan