Teroris Tertangkap Di Kampus
Pada
Sabtu, 2 Juni 2018, Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap tiga terduga
teroris di di gelanggang kampus Universitas Riau (UNRI). Mereka merupakan
alumni perguruan tersebut. Densus 88 menemukan bom rakitan yang siap diledakan.
Selain itu ada beberapa serbuk yang diambil dari laboratorium untuk meracik bom
tersebut. Dari pemeriksaan polisi, ketiga terduga teroris itu memilih
lingkungan kampus karena dinilai aman.
Pengamat
terorisme Al Chaidar kepada Tempo melalui sambungan telepon, Senin, 4 Juni
2018, mengatakan paham radikalisme dan terorisme sudah cukup lama masuk ke
lingkungan kampus. Hal itu semakin intensif sejak deklarasi Negara Islam Irak
dan Suriah (ISIS) pada tahun 2013. Mereka mendeklarasikannya di mana-mana di
kampus-kampus. Mahasiswa yang terlibat dalam paham radikal dan terorisme selama
ini tak terlalu banyak. Dari data base penelitian, baru ada delapan orang
mahasiswa yang terlibat dan terbukti secara langsung. Itu pun dari tahun 2000
sampai 2018, dalam 18 tahun ini. Kebanyakan yang terlibat dalam terorisme ini
merupakan alumni universitas bukan lagi mahasiswa. Meskipun, ada pula mahasiswa
yang berstatus aktif dan tidak aktif. Itu juga tidak ada dari kampus terkenal,
yang bagus-bagus tak ada.
Sebagaimana
dikutip dari kompas.com, pada 15 Juni 2014 di acara Car Free Day, Solo
digegerkan oleh kehadiran sekelompok orang dengan atribut bendera hitam ala
ISIS dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), yang mengganggu jalannya pentas musik
yang diadakan oleh Slankers, bertindak anarkis terhadap pengunjung, dan
meresahkan warga sekitar. Mereka membubarkan, memukul, dan meludahi salah
seorang warga, kemudian melakukan aksi baris berbaris di area parkir Benteng
Vastenberg. Sebelumnya,
pada 16 Maret 2014, liputanislam.com melaporkan Bundaran HI tampak ‘diramaikan’
oleh acara bertajuk “Tabligh Akbar:Menyongsong Kehadiran Khilafah ‘Ala Minhajin
Nubuwwah; Support & Solidarity for
ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).” ISIS adalah salah satu dari sekian
banyak kelompok militan yang menyerbu dan mengobrak-abrik Suriah dengan alasan
jihad dan ingin menggulingkan rezim Assad karena ingin mendirikan khilafah di
Suriah dan Irak.
Al
Chaidar menilai pemerintah kurang ketat melakukan pengawasan di lingkungan
kampus. Hal itu karena kampus telah memiliki autoimmune terhadap terorisme. Seperti
penolakan dari beberapa mahasiswa di berbagai kampus. Daya kritis itu sebagai
autoimmune.
Sebelumnya,
BNPT membeberkan Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB),
Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan
Universitas Brawijaya (UB) sudah disusupi paham radikal.
Menteri
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir di
Jakarta, Senin (4/6/2018) menyatakan bentuk pengawasan dengan BNPT antara lain
pendataan nomor ponsel maupun media sosial dosen dan mahasiswa. Tak ada istilah
kampus steril dari pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kampus
bukan dalam hal ini mimbar akademik, di mana orang lain tidak bisa masuk.
Tidak. Kalau itu menggangu keamanan apapun itu dan di mana pun itu tempat harus
dilakukan.
Sejak
2015 KEMENRISTEKDIKTI telah bekerja sama dengan BNPT untuk mengawasi kegiatan
di kampus demi mencegah radikalisme. Kerja sama itu akan diintensifkan kembali,
supaya apa yang terjadi di Riau itu tidak terjadi lagi. Tidak hanya di situ
saja, nanti itu muncul di mana-mana, mereka masuk di kampus mungkin di mana
saja akan terjadi, tidak hanya di kampus. Tak tertutup kemungkinan kegiatan
terduga teroris masih dilakukan di dalam kampus sebagaimana kasus di Univeritas
Riau. Makanya kita harus preventif betul. Akan muncul lagi, mungkin akan
terjadi.
Menurut
Nasir, radikalisme di kampus telah tumbuh sejak 1983, khususnya ketika
pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto membentuk
kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan
(NKK/BKK). Kebijakan itu ditujukan untuk melarang segala aktivitas politik di
kampus oleh sejumlah lembaga mahasiswa yang aktif mengkritik pemerintah.
Alhasil, kemunculan NKK/BKK itu memicu tumbuhnya gerakan-gerakan radikal di
kalangan mahasiswa. Bukan kecolongan. Saya sudah berkali-kali cerita, kasus ini
adalah kejadian sejak tahun 1983 setelah ada NKK/BKK. Kemudian, kampus ada
kekosongan kegiatan terus diisi mereka (radikal), dan ini berjalan sampai
sekarang.
Lebih
lanjut, Nasir Mantan rektor Universitas Diponegoro itu pun menyebut NKK/BKK
tidak akan dihidupkan kembali karena khawatir kampus akan menjadi lahan
politik. Radikalisme tidak hanya tersebar di perguruan tinggi. Sejumlah guru
SMP dan SMA juga ada yang menyebarkan paham anti Pancasila itu ke anak
didiknya. Oleh sebab itu, dicanangkan Pendidikan Bela Negara dan program
Wawasan Kebangsaan terlebih sejak organisasi kemasyarakatan (ormas) Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) yang bersemangat mewujudkan negeri Khilafah dilarang
berdiri di Indonesia.
Pada
Rabu (30/5/2018) MENRISTEKDIKTI Nasir di rumah dinasnya, Jakarta, menilai bahwa
mahasiswa eksakta lebih mudah menerima paham radikal soal menuntut perubahan
sosial dan politik dengan cara ekstrem. Kecenderungan tersebut sudah terjadi
sejak dirinya masih duduk di bangku kuliah era tahun 1980-an. Anak eksakta itu
adalah cara berpikirnya logic dan pragmatis, sehingga dia hanya melihat black
and white. Kalau memahami agama adalah black and white, ya kayak gitu. Jadi
yang diandalkan adalah logikanya. Namun hal tersebut tidak terjadi pada
mahasiswa jurusan sosial humaniora. Kalau orang sosial kan pertimbangannya
masalah perilaku manusia, orang tidak mudah terpengaruh hal itu. Memahami agama
secara kontekstual. Ke depannya mahasiswa rumpun sains dan rumpun sosial bisa
berbaur dalam kegiatan ataupun kelas terkait kewarganegaraan (KN). Sehingga,
antarmereka bisa berdiskusi dan bertukar pikiran. Perkuliahan nanti kita ingin
coba lebur pada mata kuliah KN antara sosial dan eksakta bisa jadi satu. Saya
lagi rancang. Artinya, kalau ambil mata kuliah Pancasila, itu (mahasiswa) dari
IPA dan IPS bisa bersama. Jadi membaur.
Nasir
merasa tidak hanya tujuh PTN itu yang terpapar radikalisme karena potensi
penyebarannya lebih besar. Namun, belum bisa memetakan kampus mana saja yang
sudah tersusupi radikalisme. KEMENRISTEK akan terus berupaya memberantas
radikalisme melalui para rektor kampus. Salah satunya adalah menonaktifkan Guru
Besar dari Fakultas Hukum Undip Profesor Suteki yang diduga mendukung semangat
khilafah milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Harus ditindak sesuai hukum yang
ada.
Salah
seorang teroris berinisial MZ yang ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror di
gelanggang mahasiswa Universitas Riau (Unri) pada Sabtu, 2 Juni 2018, sempat
membuat grup WhatsApp berjudul 'Belajar Agama dengan Membaca'. Sumber Tempo
mengatakan grup itu dibuat Sabtu sekitar pukul 02.00. Ada banyak orang
tergabung dalam grup itu. Tempo sempat memantau grup WhatsApp yang sempat
memosting artikel keagamaan lengkap dengan tulisan berbahasa Arab. Namun tidak
ada yang mengomentari postingan tersebut. MZ merupakan alumni jurusan
Pariwisata Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unri. Selama kuliah, ia aktif
berorganisasi organisasi pecinta alam. MZ dikenal sebagai sosok yang suka
bergaul dan bercanda. Namun perubahan sikap terjadi sejak setahun belakangan.
MZ kerap kali memperdebatkan hukum di Indonesia yang dibuat oleh manusia. MZ
disebut berperan merakit bom. Melalui media sosial Instagram, MZ juga diduga
menyebarkan ajakan melakukan amaliah dengan bom bunuh diri. Selain MZ, terduga
teroris di kampus Unri berinisial BM, alumnus jurusan Administrasi Publik
angkatan 2005; dan ED, alumnus jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2005.
Rektor
Unri Aras Mulyadi mengutuk keras adanya rencana aksi teror yang dilakukan tiga
alumnus tersebut. Aras mengaku selama ini tidak ada hal mencurigakan di dalam
kampus, apalagi adanya kegiatan yang mengarah pada tindakan teroris.
Pada
Rabu (6/6/2018) seperti dilansir dari Antara, Wakil Rektor Bidang Akademi dan
Kemahasiswaan ITB, Bermawi P Iskandar, di Bandung mengatakan Organisasi
kemahasiswaan membubarkan HATI (Harmoni Amal dan Titian Ilmu). Organisasi HATI
telah lama dicurigai karena sering mengundang tokoh-tokoh HTI untuk menjadi
pemateri diskusi. Sebelum dibekukan, rektorat ITB sudah diberikan peringatan
berupa teguran agar organisasi tersebut tidak menyelenggarakan kegiatan yang
bertentangan dengan aturan kampus dan nilai-nilai Pancasila. Namun pengurus
HATI dinilai tidak menaatinya. Sudah dua kali mereka mengadakan diskusi itu.
Dari hasil diskusi mereka posting di medsos dan memang ada kaitannya dengan
aspirasi dari HTI. HATI sudah eksis sejak lima tahun lalu. Tercatat, sebanyak
59 orang yang menjadi anggota HATI. Saat ini pihak ITB, terus menelusuri secara
detail jejak rekam HATI. Keberadaan HATI ini menurutnya jadi pelajaran berharga
buat ITB. Karena kegiatan diskusinya tidak konstruktif," kata dia. Saat
pertama kali masuk di ITB, para mahasiswa telah berjanji bahwa mereka akan
mematuhi segala aturan yang berlaku di ITB termasuk berorganisasi dengan
berlandaskan Pancasila.
Dosen Yang Anti Pancasila
Pada
Jumat, 8 Juni 2018, juru bicara UGM, Iva Aryani, mengatakan Pimpinan
universitas, Senat Akademik, dan Dewan Guru Besar mengadakan pertemuan dengan
dua dosen, yang diduga menolak Pancasila sebagai ideologi negara pada Jumat, 8
Juni 208, di Gedung Pusat UGM. Mereka direkomendasikan dinonaktifkan dari
jabatan struktural. Pertemuan itu menghasilkan empat poin, antara lain pimpinan
universitas telah berdialog dan mendengarkan penjelasan kedua dosen itu
berkaitan dengan pandangan mereka terhadap Pancasila. Hasil dialog segera
diserahkan kepada Dewan Kehormatan Universitas (DKU) untuk diproses lebih
lanjut. Selain itu, demi kelancaran proses di DKU, kedua dosen UGM itu akan
segera dinonaktifkan sementara dari jabatan struktural yang mereka emban saat
ini.
Kasus
dosen yang dinonaktifkan karena dianggap tak mendukung Pancasila juga terjadi
di Universitas Diponegoro. Profesor Suteki dicopot dari jabatannya sebagai
Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana. Suteki, yang pernah
menjadi saksi ahli untuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dianggap tak mendukung
Pancasila karena unggahannya di akun media sosial.
Kamis
31 Mei 2018, Rektor Undip Profesor Yos Johan Utama kepada wartawan mengaku
sudah menandatangani surat pemberhentian sementara jabatan Suteki sebagai
Kaprodi MIH. Pada 6 Juni mendatang, akan dilakukan pemeriksaan DKKE. Lantaran
peraturan tersebut berlaku untuk semua dosen di Undip yang diduga melakukan
pelanggaran etik. Ini berlaku untuk siapa pun yang terduga, yang sedang
memegang jabatan, dibebastugaskan sesuai PP 53/2010.
Deklarasi Mahasiswa Melawan Radikalisme
Aliansi
Mahasiswa dan Pemuda Indonesia mendeklarasikan diri untuk bersatu melawan
terorisme dan radikalisme menjelang Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2018.
Deklarasi ini dilakukan di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat.
Ketua
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Sahat Martin Philip Sinurat melalui
keterangan tertulis, Kamis, 31 Mei 2018 mengatakan bersepakat bahwa Pancasila
harus kembali dilahirkan. Kami berkomitmen menjunjung tinggi nilai-nilai
Pancasila dengan cara kami, dengan, misalnya, tidak mengeluarkan paham-paham
kebencian, pesan-pesan radikalisme dan terorisme. Aliansi Mahasiswa dan Pemuda
Indonesia membacakan naskah deklarasi yang menyepakati lima sikap. Di antaranya
mengecam keras aksi teror, ujaran kebencian, tindakan intoleransi, dan
penyebaran radikalisme. Mereka juga bersepakat untuk bersatu melawan ujaran
kebencian, tindakan intoleransi, serta penyebaran radikalisme dan terorisme. Aliansi
Mahasiswa dan Pemuda Indonesia akan terlibat aktif dalam mewujudkan Indonesia
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Caranya melalui pemilihan umum yang bersih
dan damai untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Selain
itu, Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Indonesia memastikan anggotanya dari 17
organisasi pemuda dan mahasiswa nasional tidak terlibat dalam penyebaran
paham-paham negatif tersebut. Mereka berharap para pemimpin, pejabat publik,
tokoh agama, pemimpin partai, dan tokoh masyarakat juga setia menjunjung tinggi
Pancasila serta mendorong terciptanya suasana yang sejuk dan damai.
Ketua
Umum Generasi Muda Mathla'ul Anwar Ahmad Nawawi menegaskan, deklarasi yang
dilakukan 17 organisasi nasional tersebut merupakan upaya untuk meneguhkan
kebinekaan di negara Pancasila. Semua bersepakat, prihatin, bagaimana
radikalisme makin menguat, bagaimana kami mengurai benang kusut ini. Indonesia jangan
dikotomikan dengan sesuatu yang mengancam keutuhan.
Sekretaris
Jenderal Generasi Muda Mathla'ul Anwar Arif Amarudin menuturkan deklarasi
menjadi wujud nyata keprihatinan mahasiswa dan pemuda atas kondisi yang saat
ini terjadi di Tanah Air. Kembali diingatkan betapa pentingnya Pancasila yang
telah digagas oleh para pendahulu bangsa kita sebagai benteng untuk melawan
penyebaran paham radikalisme dan terorisme.
Aliansi
tersebut terdiri atas 17 organisasi. Organisasi itu antara lain Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI),
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Pemuda Muslimin,
Generasi Muda Mathla'ul Anwar (Gema MA), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM),
dan Himpunan Mahasiswa Al-Wasliyah (Himmah). Liga Mahasiswa Nasional untuk
Demokrasi (LMND), Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (Hima Persis), Kesatuan
Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI), Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), SEMMI,
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia
(Hikmahbudhi). Aliansi itu berkumpul untuk menyambut Hari Lahir Pancasila.
Mari
teguh dan tegak bersama menjunjung tinggi Kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
SUMBER
:
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan