Racun
Ular Berbahaya Bakal Menjadi Obat Penghilang Rasa Sakit
Sekitar
380 spesies ular dapat dijumpai di Indonesia, 8% diantaranya adalah ular yang
berbisa dan berbahaya bagi manusia. Namun, sebenarnya dibalik hal tersebut bisa
ular memiliki manfaat yang tersembunyi. Snake venom atau bisa ular merupakan
senyawa kimiawi yang diproduksi oleh kelenjar khusus dari sejumlah spesies ular
tertentu yang digunakan untuk melumpuhkan mangsa dan mempertahankan diri.
Kandungan bisa ular terdiri dari lebih 20 jenis senyawa yang berbeda, sebagian
besar berupa protein.
Kebanyakan
ular memiliki racun lambat bertindak yang bekerja seperti obat penenang yang
kuat, mengantuk, melamban, sebelum korbannya mati. Racun ular ini, bekerja
dengan cepat karena biasanya memangsa hewan yang sangat berbahaya yang perlu
cepat dibunuh sebelum mereka bisa membalas. Namun, sebagai vertebrata, ular
adalah evolusi lebih dekat dengan manusia dan obat yang dikembangkan dari racun
berpotensi akan lebih efektif. Racun menargetkan saluran sodium, yang merupakan
pusat transmisi sakit. Kita berpotensi mengubah ini menjadi sesuatu yang bisa
membantu menghilangkan rasa sakit, dan yang mungkin bekerja lebih baik pada
kami.
Anne
Baron dari Institute of Molecular and Cellular Pharmacology di Valbonne,
Prancis dalam jurnal Nature, yang diterbitkan pada Juni 2016, mengatakan ‘bisa’
mamba hitam dapat menjadi obat penghilang rasa sakit yang setara dengan morfin.
Khasiat bisa mamba hitam ditemukan ketika mencari analgesik baru yaitu saat
memburu ratusan senyawa yang berfungsi menghalangi saluran ion penyasar zat
asam dalam jaringan saraf. Ternyata, senyawa yang cocok adalah ‘bisa’ mematikan
yang ada pada Mamba Hitam. Protein dalam bisa Mamba Hitam yang berfungsi
menutup saluran ion. Protein yang dinamai mambalgins itu lantas dimurnikan
untuk bahan membuat obat penghilang rasa sakit. Para ilmuwan telah behasil
menggunakan racun dari ular berbahaya Mamba Hitam untuk memproduksi penghilang
rasa sakit tanpa efek racun kepada tikus, dan diharapkan dapat diterapkan
kepada manusia. Peptida yang diambil dari racun Mamba Hitam mungkin bisa
menjadi pengganti penghilang rasa sakit yang lebih aman dari pada morfin. Setidaknya
dalam percobaan atas tikus, peptida memotong reseptor di otak yang ditargetkan
oleh morfin dan senyawa opioid lain yang kadang menimbulkan efek samping
seperti kesulitan bernapas dan mual. Peptida Mamba Hitam juga tidak memiliki
risiko kecanduan atau penyalahgunaan obat-obatan. MAMBALGINS, peptida baru yang alami dari racun ular Mamba Hitam secara
signifikan bisa mengurangi rasa sakit di tikus tanpa efek racun. Sangat luar
biasa. Mengejutkan ternyata mambalgins, yang mewakili kurang dari 0,5 persen
dari isi total protein racun, memiliki sifat analgesik (penghilang rasa sakit)
tanpa efek racun kepada tikus, padahal total racun Mamba Hitam sangat mematikan
dan salah satu yang paling beracun. Morfin sering dianggap sebagai obat terbaik
untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan, tapi memiliki beberapa efek
samping dan bisa menimbulkan kecanduan.
Mamba
hitam (Dendroaspis polylepis) adalah jenis ular berbisa asal Afrika yang
panjang tubuhnya bisa mencapai 3,2 meter. Ular ini dicirikan dengan bagian
dalam mulutnya yang berwarna hitam pekat sehingga mendapat sebutan
black-mouthed mamba. Warna sisiknya bervariasi, mulai hijau kekuningan sampai
abu-abu metalik agak kehitaman. GIGITAN ular beracun ini kerap dikaitkan dengan
kematian. Satu gigitan seekor ular Mamba Hitam mampu membunuh seseorang hanya
dalam waktu setengah jam. Bisa Mamba Hitam adalah salah satu yang paling cepat
bereaksi dari berbagai jenis racun ular dan gigitannya bisa berakibat fatal
bila tidak diobati dengan penawar racun. Racun menyerang sistem saraf pusat dan
menyebabkan kelumpuhan pernapasan. Ular berbahaya ini menggunakan zat
neurotoksin untuk melumpuhkan dan membunuh hewan kecil yang jadi mangsanya, dan
diklaim sebagai reptil tercepat dan terganas di Afrika.Tikus adalah salah satu
buruan favorit jenis ular itu di alam liar di timur dan selatan Afrika.
Para
peneliti yakin peptida akan bekerja di tubuh manusia dan kandidat pengilang
rasa sakit yang sangat menarik. Ular mamba hitam yang mematikan dan banyak
terdapat di benua Afrika. Mereka sebelumnya telah meneliti 50 spesies hewan
melata ini sebelum akhirnya berhasil mendapat hasil tak terduga dari protein
pembunuh dalam bisa ular mamba yang disebut mambalgins.
Dr
Eric Lingueglia, dari Institute of Molecular and Cellular Pharmacology dekat
Nice, Prancis mengatakan pada BBC bahwa saat disuntikkan pada tikus, kandungan
analgesiknya seampuh morfin, tapi hampir tidak ada efek sampingnya. Morfin
bekerja sebagai jalur opioid dalam otak. Zat ini bisa menghilangkan rasa sakit,
namun punya dampak membikin ketagihan dan menyebabkan sakit kepala, kesulitan
berpikir, muntah dan nyeri otot. Sementara mambalgins menurut ahli mengatasi
nyeri dengan cara yang sangat berbeda, dan karena itu efek sampingnya juga
rendah. Para ahli meyakini model rasa nyeri pada manusia dan tikus sangat mirip
sehingga bisa diharapkan protein bisa ular ini dapat dikembangkan menjadi
penghilang rasa nyeri yang aman dipakai oleh klinik-klinik kesehatan. Serangkaian
tes terhadap sel manusia dalam laboratorium juga menunjukkan bahwa mambalgins
memiliki efek kimia yang serupa pada manusia. Ini baru tahap awal memang, dan
sulit memastikan apakah benar nanti bisa dikembangkan sebagai penghilang rasa
nyeri pada manusia. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengetes
(kemampuan) bisa ini pada binatang.
Dr
Nicholas Casewell yang merupakan seorang pakar bisa ular di Liverpool School of
Tropical Medicine, Inggris, baru-baru ini menyoroti potensi mengolah racun ular
sebagai sumber obat. Riset tentang ular mamba hitam itu sangat menggembirakan.
Ini contoh bagus bagaimana bisa ular bisa dijadikan obat, jenis obat analgesik
yang benar-benar baru. Temuan ini "sangat amat aneh". Efek analgesik dari bisa tersebut mungkin
bekerja dengan kombinasi "dengan zat racun lain yang berfungsi mencegah
mangsa kabur" atau perpaduan dengan efek yang timbul dari hewan lain,
seperti unggas, yang berbeda dengan tikus.
Potensi
Produksi Obat Di Indonesia
Dr
Bryan Fry dari University of Queensland, dalam penelitian terbaru yang
diterbitkan dalam jurnal Toksin menyebutkan bahwa ular karang biru asal Asia
Tenggara yang dijuluki juga sebagai 'pembunuhnya pembunuh' itu memiliki bisa
yang sangat beracun. Namun demikian dalam penelitian terbaru ditemukan bahwa
ada reseptor penting dari bisa ular tersebut yang bisa menjadi reseptor penting
untuk mengurangi nyeri pada manusia. Hal itu tentu dapat digunakan sebagai
metode pengobatan baru.
Menurut
Associate Profesor Bryan Fry dari Universitas Queensland Sekolah fakultas Ilmu
Biologi, seperti dikutip dari laman Zeenews, (Rabu, 2/11/2016) mengungkapkan,
racun dari ular karang biru (blue coral snake) bisa menjadi salah satu jenis
pengobatan untuk mengatasi nyeri pada pasien kanker, robek otot, dan migrain. Sebuah
penelitian mengungkapkan, salah satu jenis bisa ular langka di Asia bermanfaat
sebagai obat penghilang rasa sakit. Penelitian tersebut menyebutkan, ular
langka ini berasal dari Asia Tenggara. Bahkan, bisa ular itu bekerja lebih baik
dibandingkan opium. Penelitian yang memakan waktu 15 tahun dan akhirnya
terbukti setelah mempelajari jenis ular, salah satunya di dataran tinggi
Cameron, Malaysia. Spesies ular karang biru dengan warna biru strip, serta
corak warna merah nyala pada bagian kepala dan ekor itu paling mencolok
dibandingkan ular lain. Diketahui, spesies ular karang biru ini dapat ditemukan
di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Penelitian ini dilakukan
selama 20 tahun terakhir. Rencananya ia bersama timnya akan membuat toksin
buatan, sebelum mengubahnya menjadi obat yang dikomersialkan.
Hasil
riset terkini menyebutkan bahwa bisa ular dapat digunakan untuk mengatasi
organisme-organisme yang menimbulkan masalah khususnya penyakit tropis.
Biological components pada bisa ular memiliki sifat terapeutik yang signifikan.
Hal inilah yang kemudian membuat bisa ular memiliki potensi yang bagus untuk
mengeliminasi organisme-organisme yang menimbulkan masalah penyakit. Penelitian
secara in vitro menyebutkan peptida-peptida dari bisa ular Naja atra memiliki
aktivitas untuk melawan multidrug-resistant tuberculosis atau MDR-TB. Selain
itu, bisa ular dari Naja naja, Daboia russelli, Bungarus fasciatus, dan Naja
kaouthia memiliki aktivitas anti MDR-TB.
Bungarus
fasciatus adalah spesies ular berbisa dari famili Elapidae yang merupakan salah
satu ular paling berbahaya dan mematikan di Indonesia. Pada dunia virologi atau
cabang ilmu yang mempelajari tentang virus, LAAO (L-Amino acid oxsidase) yang
diisolasi dari bisa ular Bothrops jararaca, menunjukkan aktivitas sebagai
antivirus melawan virus dengue serotipe 3. Sedangkan bisa ular dari Crotalus
durissus terrificus, dapat menghambat replikasi virus Measles dan bisa ularnya
tidak memiliki sifat sitotoksisitas berdasarkan penelitian berbasis
laboratorium. Selain itu, senyawa immunokine, salah satu derivat dari α-toxin yang diisolasi
dari bisa ular Naja siamensis, menunjukkan daya hambat infeksi limfosit oleh
virus HIV dan FIV. Disisi yang lain, phospholipase A2 atau PLA2 dan 12 peptida
turunan dari PLA2 yang diisolasi dari bisa ular, memiliki aktivitas anti-HIV.
Bisa ular dari Naja sumatrana, Bungarus candidus, Hydrophis cyanocinctus, dan
Oxyuranus candidus memiliki sifat anti-HIV berdasarkan penelitian berbasis
laboratorium. Naja sumatrana adalah salah satu jenis golongan kobra yang paling
mematikan di dunia yang berada di Pulau Sumatera, Indonesia.
Crotoxin
B yang diisolasi dari Crotalus durissus cumanensis, memiliki aktivitas untuk
melawan Plasmodium falciparum penyebab penyakit malaria. Sedangkan whole venom
dari Naja haje, Cerastes cerastes, Crotalus viridis, Philodryas baroni, dan
Hypisglena torquata memiliki aktivitas untuk melawan Trypanosoma cruzi
(penyebab penyakit Chagas) dan Leishmania spp. (penyebab penyakit
Leishmaniasis). Selain itu, LAAO yang diisolasi dari bisa ular Lachesis muta,
Bothrops atrox, dan Bothrops moojeni juga dapat melawan Leishmania spp. dan
Trypanosoma cruzi.
Pada
penelitian berbasis laboratorium, bisa ular atau snake venom memiliki potensi
sebagai kandidat obat untuk melawan agen-agen penyakit tropis seperti bakteri,
parasit, dan virus. Hal ini seharusnya sudah menjadi salah satu keunggulan
riset bidang life sciences di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara
lain karena Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi,
terutama pada golongan herpetofauna yang termasuk ular berbisa didalamnya.
SUMBER
:
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan