KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Saturday, 3 February 2018

APAKAH KAMPUS ANDA TERPERCAYA?

Posted by   on Pinterest

Kemendikbud RI dituntut tidak serta merta mencap kampus swasta itu ilegal. Kelambanan pihak kampus dalam pengajuan akreditasi jurusan atau institusi, mempertimbangkan adanya jurusan baru bukan alasan mencap perguruan tinggi ilegal. Tuntutan ini muncul di saat Kemendikbud RI akan mengumumkan beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dikategorikan legal, illegal, bermasalah dan atau tidak bermasalah. Hal ini dinilai bakal menuai permasalahan baru. Penggunaan istilah legal dan Illegal yang akan dikenakan kepada PTN dan PTS yang bermasalah atau tidak bermasalah dinilai adalah pemilihan bahasa yang sangat tidak memperhatikan kesantunan dan tidak sesuai dengan budaya bangsa.

Suatu kampus tentu memiliki ijin pembukaan kampus dan penyelenggara program studi. Namun karena dalam pelaksanaan kegiatan perkuliahan mereka melakukan berbagai pelanggaran, DIKTI meberikan mereka ‘cap’ ABAL_ABAL. Perlu dipahami semua kampus di Indonesia ‘dipaksa’ melakukan pembenahan diri supaya bisa menjadi salah satu kampus yang membanggakan dan mengharumkan nama negara dan bangsa. Pada prinsipnya Dikti hanya melakukan pembinaan bukan pembinasaan.

Jenis pelanggaran kampus non-aktif yang ditemukan oleh Dikti adalah :

  • Masalah Laporan Akademik
  • Masalah Nisbah Dosen/ Mahasiswa
  • Masalah Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan, antara lain :
  • PDD/PJJ tanpa izin (kelas jauh) PRODI /PT tanpa izin Penyelenggaraan kelas Sabtu-Minggu
  • Jumlah mahasiswa over kuota (PRODI Kesehatan/ kedokteran/ dll)
  • Ijasah palsu/ gelar palsu
  • Masalah Sengketa/ Konflik internal
  • Kasus mahasiswa
  • Kasus Dosen (mis dosen status ganda)
  • Pemindahan/ pengalihan mahasiswa tanpa ijin kopertis
Sanksi yang dikenakan terdiri dari:
1. ringan : memperoleh surat peringatan dan WASDALBIN Kopertis,
2. sedang : status non-aktif,
3. berat : pencabutan izin PRODI /PT.

Jika suatu perguruan tinggi berstatus non-aktif, maka PT tersebut:

1. Tidak boleh menerima mahasiswa baru untuk tahun akademik baru
2. Tidak  boleh  melakukan  wisuda  (jika terjadi dualisme  kepemimpinan  dan  atau  kasus kualifikasi pemimpin yang tidak dapat dipercaya).
3. Tidak memperoleh layanan  Ditjen  Dikti  dalam  bentuk  beasiswa,  akreditasi,  pengurusan NIDN, sertifikasi dosen, hibah penelitian, partisipasi kegiatan Ditjen Kelembagaan IPTEKDIKTI lainnya, serta  layanan  kelembagaan  dari  Ditjen  Kelembagaan IPTEKDIKTI. Tidak  memperoleh  akses  terhadap  basis  data  Pangkalan  Data  Pendidikan  Tinggi  untuk pemutakhiran data (PT dan seluruh PRODI )

Status non-aktif  suatu  perguruan tinggi/ program studi dapat  dipulihkan atau  diaktifkan kembali, dalam kondisi program studi/ perguruan tinggi sudah  memenuhi persyaratan peraturan penyelenggaraan program studi/perguruan tinggi yang diberlakukan  oleh Ditjen Kelembagaan IPTEKDIKTI, dan peraturan  perundang-undangan bidang pendidikan secara umum.

Untuk penyelenggara kampus non aktif, silakan mengikuti langkah-langkah pemulihan/ pengaktifan kembali seperti yang dijelaskan di Panduan Pengaktifan Kembali Status PT/ Program Studi “Non-Aktif” halaman 9 s/d 20 sesuai jenis pelanggaraannya dapat dibaca disini atau disini

Pada kenyataannya, tidak ada satu kampus pun baik PTS maupun PTN  di Indonesia yang tidak memiliki masalah baik internal maupun eksternal. Tugas pemerintah dan negara untuk mencapai tujuan bangsa dalam pendidikan yakni dengan menjadikan PTS dan PTN sebagai Mitra yang sangat strategis yang saling menguatkan, bukan malah membunuhnya.
Jika demikian, kemana kemarahan jutaan mahasiswa itu akan diarahkan?

Pertama, jelasnya, diarahkan kepada Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud RI selaku Tukang Stempel Ilegal. Kedua adalah Pengelola pendidikan tinggi, yakni Yayasan-yayasan yang menaungi perguruan tinggi swasta. Tugas negara dan pemerintah adalah melakukan pembinaan dan pembimbingan terhadap PTS dan PTN, bukan malah menghakimi dan memberi vonis bahkan penghantam palu godam  dengan cap ilegal terhadap PTS yang telah berjasa bagi cita bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pihak yang juga bersuara lantang menolak cap illegal terhadap perguruan tinggi  adalah Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI). Pada akhir Februari lalu APTISI secara tegas menolak upaya Dirjen Dikti yang berdasar pada surat edaran Dirjen Dikti No 1207E.E2/HM/2013 tanggal 26 November 2013, tentang Sosialisasi Perguruan Tinggi Legal di Wilayah Kopertis setempat.

Surat edaran itu berisi enam persyaratan agar kampus swasta dapat berstatus legal.Pertama, PTS memiliki Akte Pendirian Yayasan yang disahkan Kemenkumham RI. Kedua, memiliki izin pendirian dari Kemendikbud RI. Ketiga, tidak menyelenggarakan program kelas jauh. Keempat, menyelesaikan laporan Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) sampai tahun 2012. Kelima, memiliki akreditasi dari Badan Akreditasi nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) atau sudah mengajukannya sebelum September 2013. Keenam tidak memiliki konflik internal dalam masalah kepemilikan.Penolakan atas pemberlakuan persyaratan legalitas kampus swasta dinilai APTISI adanya pencampuran logika antara kesalahan administrasi dan status ilegal pada kampus swasta.

BERBEDA dengan di negeri-negeri lain, di Indonesia jumlah perguruan tinggi swasta (PTS) sangatlah besar, mencapai angka tidak kurang dari 3.385 dan menampung 70% lebih dari jumlah mahasiswa, sedangkan perguruan tinggi negeri (PTN) tidak lebih dari 100 buah, menampung tidak lebih dari 30% mahasiswa. Itu menandakan peran dan partisipasi masyarakat dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa amatlah besar. Keberadaan dan kondisi PTS amatlah beragam, mulai dari papan atas (kuat), tengah (sedang), hingga PTS yang sakit dan bermasalah.

Berdasarkan data dari Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP PTSI), dalam satu Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) dengan sekitar 340 PTS, ternyata hanya 20,83% berkategori sehat murni, kemudian 2,38% sehat, dan 4,17% hampir sehat, serta 64,88% belum sehat alias sakit. Kalau ukuran yang dipakai ialah akreditasi, data terbaru menunjukkan dari 3.385 PTS, baru 111 PTS yang sudah mengajukan akreditasi institusi. Itu pun hanya beberapa PTS yang mampu meraih akreditasi A. Sebagian besar hanya mampu mendapat nilai B atau C. Ini berarti masih ribuan PTS yang belum mengajukan proses akreditasi, lantaran mengalami sakit atau melakukan praktik penyelenggaraan pendidikan menyimpang.

Perlu diketahui, di tahun 2017 beberapa instansi membuka pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS). Persyaratan ketat diterapkan nyaris di semua instansi. Salah satunya terkait persyaratan akreditasi program studi para pendaftar pada saat kelulusan. Sebagian besar menetapkan standar pendaftar umum berasal dari universitas atau program studi (Progdi) dengan akreditasi minimal B. Mereka yang berasal dari perguruan tinggi akreditasi C tak bisa mendaftar. Tapi ada juga beberapa instansi yang masih membuka kesempatan bagi lulusan dari universitas atau Prodi akreditasi C. Seperti 1. Kemenkumham (sudah tutup pendaftaran); 2. Badan Koordinasi Penanaman Modal (pendaftaran masih dibuka); 3. Kementerian Keuangan.; 4. Kementerian Kehutanan : akreditasi C hanya diperuntukkan bagi lulusan dari perguruan tinggi negeri (PTN) dan 5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Beberapa waktu lalu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) sempat membuat gebrakan dengan melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke beberapa PTS. Sidak dipimpin langsung Menteri Mohammad Nasir. Hasilnya, sebanyak 243 kampus dibekukan atau dinonaktifkan. Karena banyak disorot masyarakat dan kalangan DPR, dikabarkan Kemenristek-Dikti terus melakukan pembinaan dengan berbagai program, antara lain program pendampingan terhadap PTS bermasalah, juga diterbitkan SK Menteri Ristek Dikti Nomor 19 Tahun 2015 tentang Program Pembinaan PTS (disingkat PP PTS).
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) kala itu, mengkritik keras kebijakan pembekuan PTS ini. Alasannya; 1) Kebijakan ini seperti unjuk kekuasaan (show of force), 2) Terkesan mendadak dan tiba-tiba. Ini menimbulkan pertanyaan tentang pembinaan yang dilakukan Kemenristek-Dikti selama ini, dan, 3) Jumlah PTS yang dinonaktifkan sangat besar, bukan satu atau dua PTS, melainkan ratusan.
Pemerintah dalam hal ini, Kemenristek-Dikti seolah tak berubah, masih menggunakan paradigma lama, yaitu lebih mementingkan pengawasan (hukuman) ketimbang pembinaan (solusi perbaikan) sehingga muncul komentar miring dari masyarakat, langkah itu merupakan pembinasaan bukan pembinaan.
Pembinaan harus dimulai dengan mengubah paradigma pemerintah terhadap PTS. Selama ini ada kesan pemerintah tidak memandang PTS sebagai 'anak tiri' sehingga kurang mendapat perhatian atau diperlakukan secara berbeda dan diskriminatif. Di Inggris, boleh dikatakan tak ada PTS. Semua perguruan tinggi (PT) dikelola dan didanai pemerintah. Di Amerika Serikat, dukungan pemerintah dan masyarakat amat kuat terhadap PTS sehingga banyak PTS yang unggul, bahkan beberapa di antaranya melampaui PTN. Di Negeri Jiran, Malaysia, jumlah PTS relatif besar, hampir separuh dari PTN. Namun, di negeri tersebut, perguruan tinggi tak dibeda-bedakan karena 'warna kulitnya' sebagai PTN atau PTS, tetapi kualitas dan program studi yang ditawarkan. Di Singapura, PTS baru muncul sekitar 5-10 tahun terakhir. Namun, karena dukungan pemerintah yang amat kuat, SIM University, misalnya salah satu PTS yang belum terlalu lama berdiri, berhasil mendapat predikat sebagai sekolah hukum terbaik ke-3 di 'Negeri Singa' itu.

Dalam pertemuan dengan Gubernur Kepulauan Riau yang diwakili Assisten II dan jajaran SKPD, beberapa Rektor dan Direktur Perguruan Tinggi Kepri, Ketua Kopertis Wilayah X Kepri, Perwakilan Kemenristek Dikti dan instansi terkait, di Graha Kepri Batam.Ketua Tim Kunspek Panja SN DIKTI sekaligus Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra mengatakan, setidaknya ada tiga temuan yang didapat oleh pihaknya, yaitu rasio dosen, sarana dan prasarana serta masalah akreditasi. Selain tiga masalah utama tersebut, ada temuan yang dianggap tak kalah penting, yaitu masih rendahnya minat terhadap penelitian/riset terutama di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta karena dukungan anggaran dari pemerintah relatif masih kecil.
Untuk permasalahan rasio dosen, Wakil Rektor Universitas Batam Satryawan, mengusulkan agar PTN yang memiliki rasio dosen berlebih agar dikerahkan untuk membantu proses perkuliahan di  PTS. Sebagai contoh minimnya minat akademisi S3 jurusan akuntansi mengajar di PTS karena lebih memilih bekerja sebagai konsultan di perusahaan swasta.

Sebenarnya, ada tiga hal yang menjadi masalah paling krusial di PTS.

DOSEN. Seperti diketahui, beberapa PTS tidak memiliki dosen tetap yang dipersyaratkan pemerintah, yaitu enam dosen berpendidikan magister (S-2) di setiap program studi (prodi) atau tidak memenuhi jumlah kecukupan nisbah (rasio) antara dosen dan mahasiswa, seperti berulang kali dikeluhkan Kemenristek-Dikti.Kemampuan PTS merekrut dosen yang diperlukan dengan imbalan yang layak belum terpenuhi. Itu sebabnya, diusulkan agar kebutuhan enam dosen setiap prodi yang dipersyaratkan bisa disubsidi atau disediakan pemerintah.
Dukungan penDANAan (funding). Banyak PTS yang kesulitan dalam pendanaan, bahkan hidup kembang kempis lantaran prodi-prodi yang ditawarkan kurang diminati dan kalah bersaing dengan PTN. Bantuan pendanaan bagi PTS, perlu diperkuat dengan keuangan negara. Di negara-negara yang lebih maju, bantuan itu diberikan dalam berbagai bentuk, seperti grant, hibah, pinjaman lunak (soft loan), beasiswa, dana penelitian, pengabdian, bantuan sarana prasarana, dan lain-lain. Bahkan, di Australia ada bantuan yang amat menarik disebut graduate tax, yaitu skema pembayaran yang dilakukan setelah mahasiswa lulus kuliah. Itu pun masih harus mempertimbangkan gaji atau pendapatan yang diterima pihak yang bersangkutan setelah bekerja (post graduate income).
MUTU PTS. Dalam hal ini, pemerintah bisa memperhatikan saran dari John Brennan dkk agar di era kompetisi saat ini, setiap perguruan tinggi mesti melakukan beberapa hal penting, di antaranya menaikkan standar mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi baik akademik, tata kelola (governance), maupun keuangan. Satu hal penting adalah melakukan internasionalisasi perguruan tinggi, meningkatkan kerja sama baik regional dan internasional, serta memperkuat program penelitian, (research excellence). (The Role of Universities in the Transformation of Societies: 2004).
Peluang dan INOVASI. PTS mesti cerdas melihat dan menangkap peluang, termasuk harus lebih cekatan dalam melakukan inovasi-inovasi dalam pembukaan prodi dan juga penelitian. PTS seperti diingatkan Daniel Rodas (Resource Allocation in Private University: 2014), tidak boleh terjebak dalam rutinitas pengajaran semata tanpa spirit keilmuan dan juga pengabdian (sosial). PTS diharapkan agar lebih aktif dan inovatif dalam pengembangan ilmu dan merespons persoalan-persoalan sosial budaya dengan menerapkan prinsip baru, putting theories into practice dan prinsip seeing result, bukan elitisasi dengan hanya duduk diam di menara gading, seperti dalam paradigma lama. Dengan demikian, PTS tidak hanya menjadi rumah produksi ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan ekonomi kreatif yang populer dengan terma knowledge based economy dan ikut serta dalam memajukan dan mengembangkan masyarakat madani (civilized society), serta ikut mengawal moral masyarakat dan bangsa yang makin ke sini

Sekali lagi. Demi kebaikan segenap civitas akademik dan kelangsungan hidup kampus yang bapak/ ibu cintai, pikirkanlah dan singkirkanlah segala ego dan pertikaian. Segera menjalin kekompakan dan bersatu kembali. Selesaikan masalah dengan bijak, bukan menambah masalah ke masalah yang sudah ada. Belum terlambat, kampus bapak dan ibu masih berpeluang BERJAYA KEMBALI.

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat