Kemendikbud
RI dituntut tidak serta merta mencap kampus swasta itu ilegal. Kelambanan pihak
kampus dalam pengajuan akreditasi jurusan atau institusi, mempertimbangkan
adanya jurusan baru bukan alasan mencap perguruan tinggi ilegal. Tuntutan ini
muncul di saat Kemendikbud RI akan mengumumkan beberapa Perguruan Tinggi Swasta
(PTS) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dikategorikan legal, illegal,
bermasalah dan atau tidak bermasalah. Hal ini dinilai bakal menuai permasalahan
baru. Penggunaan istilah legal dan Illegal yang akan dikenakan kepada PTN dan
PTS yang bermasalah atau tidak bermasalah dinilai adalah pemilihan bahasa yang
sangat tidak memperhatikan kesantunan dan tidak sesuai dengan budaya bangsa.
Suatu kampus
tentu memiliki ijin pembukaan kampus dan penyelenggara program studi. Namun
karena dalam pelaksanaan kegiatan perkuliahan mereka melakukan berbagai
pelanggaran, DIKTI meberikan mereka ‘cap’ ABAL_ABAL. Perlu dipahami semua kampus
di Indonesia ‘dipaksa’ melakukan pembenahan diri supaya bisa menjadi salah satu
kampus yang membanggakan dan mengharumkan nama negara dan bangsa. Pada
prinsipnya Dikti hanya melakukan pembinaan bukan pembinasaan.
Jenis
pelanggaran kampus non-aktif yang ditemukan oleh Dikti adalah :
- Masalah Laporan Akademik
- Masalah Nisbah Dosen/ Mahasiswa
- Masalah Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan, antara lain :
- PDD/PJJ tanpa izin (kelas jauh) PRODI /PT tanpa izin Penyelenggaraan kelas Sabtu-Minggu
- Jumlah mahasiswa over kuota (PRODI Kesehatan/ kedokteran/ dll)
- Ijasah palsu/ gelar palsu
- Masalah Sengketa/ Konflik internal
- Kasus mahasiswa
- Kasus Dosen (mis dosen status ganda)
- Pemindahan/ pengalihan mahasiswa tanpa ijin kopertis
Sanksi yang
dikenakan terdiri dari:
1. ringan :
memperoleh surat peringatan dan WASDALBIN Kopertis,
2. sedang :
status non-aktif,
3. berat :
pencabutan izin PRODI /PT.
Jika suatu
perguruan tinggi berstatus non-aktif, maka PT tersebut:
1. Tidak
boleh menerima mahasiswa baru untuk tahun akademik baru
2.
Tidak boleh melakukan
wisuda (jika terjadi
dualisme kepemimpinan dan
atau kasus kualifikasi pemimpin
yang tidak dapat dipercaya).
3. Tidak
memperoleh layanan Ditjen Dikti
dalam bentuk beasiswa,
akreditasi, pengurusan NIDN,
sertifikasi dosen, hibah penelitian, partisipasi kegiatan Ditjen Kelembagaan
IPTEKDIKTI lainnya, serta layanan kelembagaan
dari Ditjen Kelembagaan IPTEKDIKTI. Tidak memperoleh
akses terhadap basis
data Pangkalan Data
Pendidikan Tinggi untuk pemutakhiran data (PT dan seluruh PRODI
)
Status
non-aktif suatu perguruan tinggi/ program studi dapat dipulihkan atau diaktifkan kembali, dalam kondisi program
studi/ perguruan tinggi sudah memenuhi
persyaratan peraturan penyelenggaraan program studi/perguruan tinggi yang
diberlakukan oleh Ditjen Kelembagaan
IPTEKDIKTI, dan peraturan
perundang-undangan bidang pendidikan secara umum.
Untuk
penyelenggara kampus non aktif, silakan mengikuti langkah-langkah pemulihan/
pengaktifan kembali seperti yang dijelaskan di Panduan Pengaktifan Kembali Status PT/ Program Studi “Non-Aktif” halaman 9 s/d
20 sesuai jenis pelanggaraannya dapat dibaca disini atau disini
Pada
kenyataannya, tidak ada satu kampus pun baik PTS maupun PTN di Indonesia yang tidak memiliki masalah baik
internal maupun eksternal. Tugas pemerintah dan negara untuk mencapai tujuan
bangsa dalam pendidikan yakni dengan menjadikan PTS dan PTN sebagai Mitra yang
sangat strategis yang saling menguatkan, bukan malah membunuhnya.
Jika
demikian, kemana kemarahan jutaan mahasiswa itu akan diarahkan?
Pertama, jelasnya, diarahkan kepada Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud RI selaku Tukang Stempel Ilegal. Kedua adalah Pengelola pendidikan tinggi, yakni Yayasan-yayasan yang menaungi perguruan tinggi swasta. Tugas negara dan pemerintah adalah melakukan pembinaan dan pembimbingan terhadap PTS dan PTN, bukan malah menghakimi dan memberi vonis bahkan penghantam palu godam dengan cap ilegal terhadap PTS yang telah berjasa bagi cita bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pertama, jelasnya, diarahkan kepada Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud RI selaku Tukang Stempel Ilegal. Kedua adalah Pengelola pendidikan tinggi, yakni Yayasan-yayasan yang menaungi perguruan tinggi swasta. Tugas negara dan pemerintah adalah melakukan pembinaan dan pembimbingan terhadap PTS dan PTN, bukan malah menghakimi dan memberi vonis bahkan penghantam palu godam dengan cap ilegal terhadap PTS yang telah berjasa bagi cita bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pihak yang
juga bersuara lantang menolak cap illegal terhadap perguruan tinggi adalah Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia (APTISI). Pada akhir Februari lalu APTISI secara tegas menolak upaya
Dirjen Dikti yang berdasar pada surat edaran Dirjen Dikti No 1207E.E2/HM/2013
tanggal 26 November 2013, tentang Sosialisasi Perguruan Tinggi Legal di Wilayah
Kopertis setempat.
Surat edaran
itu berisi enam persyaratan agar kampus swasta dapat berstatus legal.Pertama,
PTS memiliki Akte Pendirian Yayasan yang disahkan Kemenkumham RI. Kedua,
memiliki izin pendirian dari Kemendikbud RI. Ketiga, tidak menyelenggarakan
program kelas jauh. Keempat, menyelesaikan laporan Pangkalan Data Perguruan
Tinggi (PDPT) sampai tahun 2012. Kelima, memiliki akreditasi dari Badan
Akreditasi nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) atau sudah mengajukannya sebelum
September 2013. Keenam tidak memiliki konflik internal dalam masalah
kepemilikan.Penolakan atas pemberlakuan persyaratan legalitas kampus swasta
dinilai APTISI adanya pencampuran logika antara kesalahan administrasi dan
status ilegal pada kampus swasta.
BERBEDA
dengan di negeri-negeri lain, di Indonesia jumlah perguruan tinggi swasta (PTS)
sangatlah besar, mencapai angka tidak kurang dari 3.385 dan menampung 70% lebih
dari jumlah mahasiswa, sedangkan perguruan tinggi negeri (PTN) tidak lebih dari
100 buah, menampung tidak lebih dari 30% mahasiswa. Itu menandakan peran dan
partisipasi masyarakat dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa amatlah
besar. Keberadaan dan kondisi PTS amatlah beragam, mulai dari papan atas
(kuat), tengah (sedang), hingga PTS yang sakit dan bermasalah.
Berdasarkan
data dari Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP
PTSI), dalam satu Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) dengan sekitar
340 PTS, ternyata hanya 20,83% berkategori sehat murni, kemudian 2,38% sehat,
dan 4,17% hampir sehat, serta 64,88% belum sehat alias sakit. Kalau ukuran yang
dipakai ialah akreditasi, data terbaru menunjukkan dari 3.385 PTS, baru 111 PTS
yang sudah mengajukan akreditasi institusi. Itu pun hanya beberapa PTS yang
mampu meraih akreditasi A. Sebagian besar hanya mampu mendapat nilai B atau C. Ini
berarti masih ribuan PTS yang belum mengajukan proses akreditasi, lantaran
mengalami sakit atau melakukan praktik penyelenggaraan pendidikan menyimpang.
Perlu
diketahui, di tahun 2017 beberapa instansi membuka pendaftaran calon pegawai
negeri sipil (CPNS). Persyaratan ketat diterapkan nyaris di semua instansi.
Salah satunya terkait persyaratan akreditasi program studi para pendaftar pada
saat kelulusan. Sebagian besar menetapkan standar pendaftar umum berasal dari
universitas atau program studi (Progdi) dengan akreditasi minimal B. Mereka
yang berasal dari perguruan tinggi akreditasi C tak bisa mendaftar. Tapi ada
juga beberapa instansi yang masih membuka kesempatan bagi lulusan dari
universitas atau Prodi akreditasi C. Seperti 1. Kemenkumham (sudah tutup
pendaftaran); 2. Badan Koordinasi Penanaman Modal (pendaftaran masih dibuka);
3. Kementerian Keuangan.; 4. Kementerian Kehutanan : akreditasi C hanya
diperuntukkan bagi lulusan dari perguruan tinggi negeri (PTN) dan 5.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Beberapa
waktu lalu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Kemenristek-Dikti) sempat membuat gebrakan dengan melakukan inspeksi mendadak
(sidak) ke beberapa PTS. Sidak dipimpin langsung Menteri Mohammad Nasir. Hasilnya,
sebanyak 243 kampus dibekukan atau dinonaktifkan. Karena banyak disorot
masyarakat dan kalangan DPR, dikabarkan Kemenristek-Dikti terus melakukan
pembinaan dengan berbagai program, antara lain program pendampingan terhadap
PTS bermasalah, juga diterbitkan SK Menteri Ristek Dikti Nomor 19 Tahun 2015
tentang Program Pembinaan PTS (disingkat PP PTS).
Ketua
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) kala itu, mengkritik keras
kebijakan pembekuan PTS ini. Alasannya; 1) Kebijakan ini seperti unjuk
kekuasaan (show of force), 2) Terkesan mendadak dan tiba-tiba. Ini menimbulkan
pertanyaan tentang pembinaan yang dilakukan Kemenristek-Dikti selama ini, dan, 3)
Jumlah PTS yang dinonaktifkan sangat besar, bukan satu atau dua PTS, melainkan
ratusan.
Pemerintah
dalam hal ini, Kemenristek-Dikti seolah tak berubah, masih menggunakan
paradigma lama, yaitu lebih mementingkan pengawasan (hukuman) ketimbang
pembinaan (solusi perbaikan) sehingga muncul komentar miring dari masyarakat,
langkah itu merupakan pembinasaan bukan pembinaan.
Pembinaan
harus dimulai dengan mengubah paradigma pemerintah terhadap PTS. Selama ini ada
kesan pemerintah tidak memandang PTS sebagai 'anak tiri' sehingga kurang
mendapat perhatian atau diperlakukan secara berbeda dan diskriminatif. Di
Inggris, boleh dikatakan tak ada PTS. Semua perguruan tinggi (PT) dikelola dan
didanai pemerintah. Di Amerika Serikat, dukungan pemerintah dan masyarakat amat
kuat terhadap PTS sehingga banyak PTS yang unggul, bahkan beberapa di antaranya
melampaui PTN. Di Negeri Jiran, Malaysia, jumlah PTS relatif besar, hampir
separuh dari PTN. Namun, di negeri tersebut, perguruan tinggi tak
dibeda-bedakan karena 'warna kulitnya' sebagai PTN atau PTS, tetapi kualitas
dan program studi yang ditawarkan. Di Singapura, PTS baru muncul sekitar 5-10
tahun terakhir. Namun, karena dukungan pemerintah yang amat kuat, SIM
University, misalnya salah satu PTS yang belum terlalu lama berdiri, berhasil
mendapat predikat sebagai sekolah hukum terbaik ke-3 di 'Negeri Singa' itu.
Dalam
pertemuan dengan Gubernur Kepulauan Riau yang diwakili Assisten II dan jajaran
SKPD, beberapa Rektor dan Direktur Perguruan Tinggi Kepri, Ketua Kopertis
Wilayah X Kepri, Perwakilan Kemenristek Dikti dan instansi terkait, di Graha
Kepri Batam.Ketua Tim Kunspek Panja SN DIKTI sekaligus Wakil Ketua Komisi X DPR
Sutan Adil Hendra mengatakan, setidaknya ada tiga temuan yang didapat oleh
pihaknya, yaitu rasio dosen, sarana dan prasarana serta masalah akreditasi.
Selain tiga masalah utama tersebut, ada temuan yang dianggap tak kalah penting,
yaitu masih rendahnya minat terhadap penelitian/riset terutama di perguruan
tinggi baik negeri maupun swasta karena dukungan anggaran dari pemerintah
relatif masih kecil.
Untuk
permasalahan rasio dosen, Wakil Rektor Universitas Batam Satryawan, mengusulkan
agar PTN yang memiliki rasio dosen berlebih agar dikerahkan untuk membantu
proses perkuliahan di PTS. Sebagai
contoh minimnya minat akademisi S3 jurusan akuntansi mengajar di PTS karena
lebih memilih bekerja sebagai konsultan di perusahaan swasta.
Sebenarnya, ada
tiga hal yang menjadi masalah paling krusial di PTS.
DOSEN. Seperti diketahui,
beberapa PTS tidak memiliki dosen tetap yang dipersyaratkan pemerintah, yaitu
enam dosen berpendidikan magister (S-2) di setiap program studi (prodi) atau
tidak memenuhi jumlah kecukupan nisbah (rasio) antara dosen dan mahasiswa,
seperti berulang kali dikeluhkan Kemenristek-Dikti.Kemampuan PTS merekrut dosen
yang diperlukan dengan imbalan yang layak belum terpenuhi. Itu sebabnya, diusulkan
agar kebutuhan enam dosen setiap prodi yang dipersyaratkan bisa disubsidi atau
disediakan pemerintah.
Dukungan penDANAan (funding). Banyak
PTS yang kesulitan dalam pendanaan, bahkan hidup kembang kempis lantaran
prodi-prodi yang ditawarkan kurang diminati dan kalah bersaing dengan PTN. Bantuan
pendanaan bagi PTS, perlu diperkuat dengan keuangan negara. Di negara-negara yang
lebih maju, bantuan itu diberikan dalam berbagai bentuk, seperti grant, hibah,
pinjaman lunak (soft loan), beasiswa, dana penelitian, pengabdian, bantuan
sarana prasarana, dan lain-lain. Bahkan, di Australia ada bantuan yang amat
menarik disebut graduate tax, yaitu skema pembayaran yang dilakukan setelah
mahasiswa lulus kuliah. Itu pun masih harus mempertimbangkan gaji atau
pendapatan yang diterima pihak yang bersangkutan setelah bekerja (post graduate
income).
MUTU PTS. Dalam hal ini,
pemerintah bisa memperhatikan saran dari John Brennan dkk agar di era kompetisi
saat ini, setiap perguruan tinggi mesti melakukan beberapa hal penting, di
antaranya menaikkan standar mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi baik
akademik, tata kelola (governance), maupun keuangan. Satu hal penting adalah melakukan
internasionalisasi perguruan tinggi, meningkatkan kerja sama baik regional dan
internasional, serta memperkuat program penelitian, (research excellence). (The
Role of Universities in the Transformation of Societies: 2004).
Peluang dan INOVASI. PTS mesti
cerdas melihat dan menangkap peluang, termasuk harus lebih cekatan dalam
melakukan inovasi-inovasi dalam pembukaan prodi dan juga penelitian. PTS
seperti diingatkan Daniel Rodas (Resource Allocation in Private University:
2014), tidak boleh terjebak dalam rutinitas pengajaran semata tanpa spirit
keilmuan dan juga pengabdian (sosial). PTS diharapkan agar lebih aktif dan
inovatif dalam pengembangan ilmu dan merespons persoalan-persoalan sosial
budaya dengan menerapkan prinsip baru, putting theories into practice dan
prinsip seeing result, bukan elitisasi dengan hanya duduk diam di menara
gading, seperti dalam paradigma lama. Dengan demikian, PTS tidak hanya menjadi
rumah produksi ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan ekonomi
kreatif yang populer dengan terma knowledge based economy dan ikut serta dalam
memajukan dan mengembangkan masyarakat madani (civilized society), serta ikut
mengawal moral masyarakat dan bangsa yang makin ke sini
Sekali lagi.
Demi kebaikan segenap civitas akademik dan kelangsungan hidup kampus yang
bapak/ ibu cintai, pikirkanlah dan singkirkanlah segala ego dan pertikaian.
Segera menjalin kekompakan dan bersatu kembali. Selesaikan masalah dengan
bijak, bukan menambah masalah ke masalah yang sudah ada. Belum terlambat,
kampus bapak dan ibu masih berpeluang BERJAYA KEMBALI.
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan