KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Monday, 12 February 2018

Siswa ini Raih Cum Laude Dengan Menghiraukan Birokrasi

Posted by   on Pinterest

BENTENG Hitam Birokrasi




Saat itu Rizki buru-buru ingin bertemu kepala sekolah untuk mengadukan buruknya sistem ujian di sekolah itu. Namun, belum sampai mengetuk pintu ruang kepala sekolah, seorang guru, malah mencegatnya dan bertanya, ”Kenapa ingin ke kantor kepala sekolah? Kenapa Rizki tak bilang ke saya (untuk dapat contekan)? Nanti pasti kamu dapat nilai yang lebih bagus,” kata guru itu, lantas mencegah Rizki bertemu kepala sekolah.

Bagi Rizki, pengalaman di salah satu SMP unggulan di Jakarta Selatan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal. Sebenarnya, Andri Rizki Putra tidak takut untuk menuntut sikap guru-guru yang tutup mata dan membiarkan murid-murid peserta ujian menyontek dengan bebas, Bahkan, guru mengirim kunci jawaban lewat pesan pendek. (?) ”Buat apa pintar kalau didapat dari ketidakjujuran?” tegasnya. Pasalnya, tanpa menyontek Rizki bisa lulus dengan nilai bagus. Rata-rata nilai yang dia dapatkan dalam tiga mata pelajaran, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika, adalah 8,75. Ironinya, teman-teman sekolah Rizki yang berlabel unggulan itu, justru mengucilkannya.

Saat masuk SMA juga, Rizki merasakan kekosongan hati yang luar biasa. Meski pada 2006 diterima di SMA unggulan, mendapat beasiswa prestasi, dan mencetak nilai tertinggi, dia sudah tak bersemangat sekolah. Akhirnya Rizki hanya satu bulan di SMA dan memilih putus sekolah. Kepercayaannya terhadap sekolah formal sudah luntur.

Namun, Rizki tidak menyerah untuk mendapat pendidikan. Pada saat sistem Pendidikan semakin marak dipertentangkan dan kelulusan semakin berat. Andri mengidamkan sistem pendidikan yang jujur. Bukan sekedar berharap, dia memilih untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri yang mengutamakan kejujuran murid-muridnya. Rizki pernah terpikir hendak melapor ke Indonesia Corruption Watch (ICW) dan mengekspose ke media, namun ditahan orang-orang dekatnya. Walau Rizki sempat drop dan depresi, dia meyakinkan Arlina Sariani (50 tahun) sang ibu, bahwa dirinya mencari pola belajar dengan caranya sendiri. Kala itu, dia menghabiskan masa-masa menjelang SMA dengan mengurung diri di kamar dan enggan keluar rumah.

”Saya menamakan jalur pendidikan SMA saya adalah unschooling,” cerita Rizki menjelaskan konsep pendidikan yang ingin diwujudkannya (Jawa Pos, di Grand Indonesia Jakarta Sabtu 26/7/2014). Bukan homeschooling yang harus membayar mahal biaya pendidikannya. Bukan juga bimbingan belajar yang dianggap sebagai nonformal. Unschooling merupakan jalur pendidikan tanpa lembaga, bahkan tanpa pengawasan orang tua. Dia belajar sendiri di rumah. Sumber pendidikannya dia raih dari membaca dan mempelajari buku-buku bekas dari saudara-saudaranya.

"Unschooling" itu adalah PKBM

Sebetulnya unschooling yang dijalani Rizki merupakan program pemerintah untuk pendidikan informal berupa pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Sistem itulah yang melahirkan ijazah paket A (SD), paket B (SMP) dan Paket C (SMA). Sayang, ijazah paket tidak banyak diminati, malah sempat dicap dengan citra negatif. Alasannya, karena ijazah paket, kebanyakan dimiliki oleh anak-anak yang putus sekolah dan tak mampu secara ekonomi dan akademik. Akses ke perguruan tinggi dan PNS juga susah, karena beberapa kampus tidak menerima pelamar dengan ijazah tersebut.

Selain research melalui internet, Rizki pergi ke dinas pendidikan untuk meyakinkan tetap bisa mengikuti ujian kesetaraan dengan pola pendidikan seperti itu. Bahkan, dia tertantang mengambil ujian paket C setara SMA dengan sistem akselerasi. Ternyata, diknas mengizinkan Rizki dengan beberapa syarat. Salah satunya, mengikuti placement test yang berisi ujian akademik dan tes IQ. Rupanya Rizki berhasil melampaui syarat ujian paket kesetaraan di bawah 17 tahun. Untuk lolos tes paket, dalam sehari dia menghabiskan 22 jam untuk belajar. Dia melumat pelajaran yang normalnya diambil tiga tahun menjadi setahun saja. Pelajaran yang dirasa sulit dia cari jawabannya lewat internet. Dia juga rajin membaca surat kabar.

”Ujian paket seharusnya juga lebih sulit karena saya harus belajar enam mata pelajaran. Sebaliknya, ujian nasional hanya tiga mata pelajaran,” tuturnya. Begitu hasil ujian paket keluar, Rizki mencetak nilai sangat tinggi dengan rata-rata 9 tiap pelajaran. Dia lulus SMA pada usia 16 tahun! ”Saat itu pun pengawas ujian sempat menyodori saya kunci jawaban agar saya lulus. Pasti saja saya tolak,” ujarnya, lantas tersenyum mengenang kisah ironi itu. Pendidikan pun dia dapatkan dengan sangat murah. Selama unschooling, dia hanya mengeluarkan biaya Rp 100 ribu. ”Untuk fotokopi ijazah,” candanya.

Pada 2007 Rizki yang lebih mirip dengan artis boyband korea dibanding aktivis LSM yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak tidak mampu, berhasil menembus SNM PTN dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI). Bahkan, dekan fakultasnya heran karena ada mahasiswa dengan ijazah paket. Ketika kuliah di UI, Rizki aktif di kegiatan penelitian kampus, perlombaan debat, dan mengajar mereka yang putus sekolah. Ia mendapat predikat Juara 3 Mahasiswa Berprestasi Tingkat FHUI, peraih predikat cum laude (lulusan terbaik), salah satu lulusan termuda, dan menjadi mahasiswa tercepat yang menyelesaikan perkuliahannya (dalam waktu 6 semester). Padahal, pada 2011, pada usia 20 tahun, dia justru menjadi lulusan terbaik dengan predikat cum laude.

Pengalaman panjangnya dalam bersekolah itu memicu Rizki untuk membuat sekolah gratis. Tak sekadar gratis, dia membantu murid-muridnya mendapatkan ijazah paket A, B, dan C. Yayasan pertama yang dia dirikan adalah masjidschooling. Dia menamai masjidschooling karena proses pembelajarannya bertempat di teras Masjid Baiturrahman di bilangan Bintaro. Rizki pun menjadi guru bagi puluhan muridnya yang putus sekolah. Selain itu, dia dibantu mengajar oleh ibu-ibu rumah tangga dan para mahasiswa STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Hingga kini masjidschooling sudah berjalan empat tahun.

Saat ini, Rizki juga menjadi seorang konsultan di firma hukum Baker and MzKenzie dan menjadi founder Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB) pada 2012. Tutor di YPAB merupakan anak-anak muda berusia 20–30 tahun dengan berbagai latar belakang pendidikan dan profesi. Mereka menjadi relawan setia yang mengajar tanpa bayaran. Bahkan, Rizki juga menjalin kerja sama dengan relasinya di luar negeri seperti Meksiko dan Malaysia untuk mengajar di YPAB. Tidak pelak, murid-murid putus sekolah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat akhirnya mau tidak mau belajar ngomong Inggris. Yang membanggakan, sudah banyak murid ”unschooling” Rizki yang ”naik kelas”. Dari tukang jual koran menjadi pegawai admin di media. Dari pembantu rumah tangga (PRT) menjadi admin di perkantoran. Prihatin, salah seorang muridnya yang sehari-hari berjualan pisang goreng di Tanah Abang, menjadi peraih nilai ujian nasional paket B tertinggi. Kini Prihatin melanjutkan paket C. Dua murid lainnya yang bekerja sebagai PRT, akan melanjutkan kuliah.

Kendati demikian, mengembangkan PKBM yang ‘unschooling’ itu, sering menghadapi banyak tekanan dari lingkunganmasyarakat. Misalnya, warga pernah memprotes karena mengira PKBM tempat berbuat mesum. Pernah juga dikira tengah melakukan kristenisasi dengan antek-antek asing. Dari sisi kurikulum, selain menggenjot kemampuan bahasa, PKBM selalu menambahkan praktik entrepreneurship.

”Saya tidak memaksa murid untuk punya nilai bagus. Tapi, menekankan pentingnya kejujuran. Lihat, koruptor itu adalah orang-orang pintar, namun sudah tidak jujur sejak dalam pikiran,” tegas Rizki yang juga giat di Brunch Club, komunitas pencetus ide-ide pemula bisnis TI atau Start Up itu. Rizki ingin melanjutkan pendidikannya tanpa batas usia, dan pekerjaan secara gratis untuk siapa pun. Di waktu senggang, Rizki gemar menghabiskan waktu untuk traveling dan mempelajari bahasa Prancis dan Spanyol.

Birokrasi memang sejak lama telah membentengi Pendidikan Indonesia. Bukan melindungi hak anak bangsa yang mau mengejar cita-cita mulia mereka, tapi malah menjadi penghambat jalan kecerdasan tinggi dari anak-anak bangsa. 

Salam Pendidikan.


Demi masa depan bangsa, jujurlah!

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat