Ratusan Bahasa Nusantara
Di persada nusantara ini ada 742 bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk. Luar Biasa! Indonesia dengan sekitar 240 juta penduduk menggunakan 742 bahasa. Orang Jawa bercakap menggunakan bahasa Jawa, orang Sunda bertutur dengan bahasa sunda, orang Padang berbincang dengan bahasa Minang, tak ketinggalan berbagai suku lainnya, termasuk Batak dengan 5 bahasa.
Dari 742 bahasa itu, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, hanya ada 13 bahasa yang pemakainya lebih dari 1 juta orang, itu berarti bahwa ada 729 bahasa yang hanya dipakai oleh penduduk dengan jumlah kurang dari 1 juta orang. Malah 169 bahasa diantaranya hanya digunakan oleh kurang dari 500 orang, atau mungkin dalam bahasa sederhananya boleh dikatakan bahasa itu hanya dipakai oleh penduduk sekampung.
Apakah selama ini ada diantara kita yang peduli pasal ini? Perdulikah kita untuk mempelajari dan membuat dokumentasi bahasa asli Indonesia ini? Mungkinkah para ahli bahasa paham jumlah dan wilayah sebaran berbagai bahasa ini. Ataukah sudah ada penelitian dan dokumentasinya secara ilmiah? Bagaimana dengan pemerintah dan bangsa ini? Dapatkah kita ‘menyalahkan’ sumpah pemuda yang “berbahasa satu’, bahasa Indonesia?
Faktanya, bahasa-bahasa asli masyarakat Indonesia mulai terancam punah. Menurut pakar departemen Linguistik Universitas Indonesia, Multamia RMT Lauder, bahasa yang mulai punah itu, tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua. Bahasa ‘Lom’ di Sumatera, misalnya, hanya digunakan oleh sekitar 50 orang. Sementara bahasa ‘budong-budong’ di Sulawesi hanya dipakai sekitar 70 orang, bahasa ‘’dampal’ dipakai oleh 90 penduduk, ‘bahonsai’ oleh 200 orang, ‘baras’ oleh 250 orang. Gawatnya lagi, ada bahasa yang hanya digunakan oleh 1 hingga 3 orang saja. Wah, saya sampai tak bisa membayangkan. dalam hitungan hari atau bulan bahasa itu akan hilang dari sejarah. Di Maluku, bahasa ‘kayeli’ menurut catatan hanyadipakai oleh 3 penduduk, sementara bahasa ‘kaela’digunakan oleh 5 penduduk, ‘hoti’ oleh 10 penduduk, ’hulung’ oleh 10 orang. Masih di Maluku, Bahasa ‘hukumina’konon, hanya dipakai oleh 1 orang. (Loh……., jadi bahasa ini dipakai berbincang dengan siapa?). Di Papua, dulu Irian Jaya, bahasa ‘mapia’ juga hanya digunakan oleh 1 orang, sementara bahasa ‘tandia’ oleh 2 orang.
Bahasa di Papua Barat yang semakin kritis
BahasaPapua Barat adalah satu rumpun dugaan yang terdiri dari 23 bahasa di Semenanjung Doberai (Vogelkop) di bagian barat pulau Papua dan di bagian utara pulau Halmahera. Keseluruhan penuturnya berjumlah sekitar 220 000 orang. Semenanjung Doberai, juga disebut Semenanjung Kepala Burung (dari bahasa Belanda: Vogelkop), adalah semenanjung besar yang membentuk bagian barat laut Papua Barat, Indonesia. Semenanjung ini dipisahkan oleh Selat Dampier dari Pulau Waigeo dan Pulau Batanta diKepulauan Raja Ampat. Teluk Cenderawasih membatasi sisi timur. Di selatan semenanjung terletak Semenanjung Bomberai.
Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat disingkat Irjabar) adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian barat Pulau Papua. Ibukotanya adalah Manokwari. Nama provinsi ini sebelumnya adalah Irian Jaya Barat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007, nama provinsi ini diubah menjadi Papua Barat. Papua Barat dan Papua merupakan provinsi yang memperoleh status otonomi khusus.
Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi ini dibatasi oleh Samudra Pasifik, bagian barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku, bagian timur dibatasi oleh Teluk Cenderawasih, selatan dengan Laut Seram dan tenggara berbatasan dengan provinsi Papua. Provinsi Papua Barat ini meski telah dijadikan provinsi tersendiri, namun tetap mendapat perlakuan khusus sebagaimana provinsi induknya. Provinsi ini juga telah mempunyai KPUD sendiri dan menyelenggarakan pemilu untuk pertama kalinya pada tanggal 5 April 2004.
Provinsi ini mempunyai potensi yang luar biasa, baik itu pertanian, pertambangan, hasil hutan maupun pariwisata. Mutiara dan rumput laut dihasilkan di kabupaten Raja Ampat sedangkan satu-satunya industri tradisional tenun ikat yang disebut kain Timor dihasilkan di kabupaten Sorong Selatan. Sirup pala harum dapat diperoleh di kabupaten Fak-Fak serta beragam potensi lainnya. Selain itu wisata alam juga menjadi salah satu andalan Irian Jaya Barat, seperti Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang berlokasi di kabupaten Teluk Wondama. Taman Nasional ini membentang dari timur Semenanjung Kwatisore sampai utara Pulau Rumberpon dengan panjang garis pantai 500 km, luas darat mencapai 68.200 ha, luas laut 1.385.300 ha dengan rincian 80.000 ha kawasan terumbu karang dan 12.400 ha lautan.
Disamping itu baru-baru ini, ditemukan sebuah gua yang diklaim sebagai gua terdalam di dunia oleh tim ekspedisi speologi Perancis di kawasan Pegunungan Lina, Kampung Irameba, Distrik Anggi, Kabupaten Manokwari. Gua ini diperkirakan mencapai kedalaman 2000 meter. Kawasan pegunungan di Papua Barat masih menyimpan misteri kekayaan alam yang perlu diungkap.
Papua Barat memiliki banyak Gunung, antara lain : Pegunungan Arfak (2.940 m) di Kabupaten Manokwari, Pegunungan Fak- Fak di Kabupaten Fak-Fak, Gunung Fudi (1.280 m) di Kabupaten Fak-Fak, Pegunungan Kumafa di Kabupaten Fak-Fak, Gunung Kwoko (3.000 m) di Kabupaten Sorong, Pegunungan Tamarau, di Kabupaten Sorong, Gunung Togwomeri (2.680 m) di Kabupaten Manokwari, Gunung Wasada (1.070 m) di Kabupaten Manokwari, Gunung Wiwi (1.130 m) di Kabupaten Manokwari
Selain itu Papua Barat di perindah dengan Danau, antara lain : Danau Ayumaru di Kabupaten Sorong, Danau Anggi Giji di Kabupaten Manokwari, Danau Anggi Gita di Kabupaten Manokwari, Danau Yamur di Kabupaten Manokwari, Danau Yawasi di Kabupaten Sorong
Rumpun bahasa Papua Barat
Bahasa Halmahera Selatan-Nugini Barat, juga disebut bahasa Halmahera Selatan-Cenderawasih, adalah 41 kelompok bahasa Melayu-Polinesia. Penuturnya tinggal di bagian selatan pulau Halmahera dan bagian barat pulau Papua, di kawasan Teluk Cenderawasih. Bahasa tersebut pada gilirannya dibagi dalam 2 kelompok :
1. Halmahera Selatan (7 bahasa) : Makian Timur-Gane ( bahasa Gane; bahasa Makian Timur) dan Makian Tenggara ( bahasa Buli; bahasa Maba; bahasa Patani; bahasa Sawai;
2. New Guinea Barat (34 bahasa) : Kelompok Bomberai ( bahasa Bedoanas; bahasa Erokwanas), Kelompok Teluk Cenderawasih; Biak ( bahasa Biak; bahasa Dusner; bahasa Meoswar; bahasa Iresim, bahasa Mor) ; Raja Ampat ( bahasa As; bahasa Biga;
bahasa Gebe; bahasa Kawe; bahasa Legenyem; bahasa Maden; bahasa Matbat; bahasa Ma’ya; bahasa Waigeo; bahasa Wauyai; bahasa Tandia; bahasa Waropen; Yapen (13 bahasa) : Central-Western (11 bahasa); East (2); Yaur; dan Yeretuar.
Bahasa Papua Barat yang paling terkenal adalah bahasa Ternate dengan sekitar 50 000 penutur. Bahasa ini merupakan lingua franca di kawasannya. Bahasa Papua Barat terdiri atas 3 kelompok utama : Halmahera Utara (16 bahasa), West Bird’s Head (5 bahasa) dan Yapen (2 bahasa). Bahasa asli penduduk Tandia, Distrik Rasiei, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, dipastikan punah. Saat ini idak ada lagi penuturnya, dan tak lagi dikenal oleh masyarakat sukunya.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Bahasa dan Budaya Universitas Negeri Papua (Unipa), Andreas Deda, Jumat (3/2/2012), bahasa Tandia milik suku Mbakawar (Tandia) diperkirakan sudah punah sejak tahun 1970-an. Sebelumnya, bahasa daerah ini diduga mati, maksudnya ada penuturnya tetapi tak digunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, setelah dilakukan penelitian pada awal 2011, ternyata tidak ada lagi masyarakat suku Mbakawar yang tersebar di empat kampung di Distrik Rasiei, menguasai dan menggunakan bahasa itu sehari-hari. Dari tiga orang warga yang dijadikan nara sumber, semuanya lanjut usia, ternyata hanya menguasai kurang dari 30 suku kata dan frase bahasa Tandia. "Tidak ada lagi penduduk asli suku Mbakawar yang bisa bahasa Tandia. Sehari-hari, mereka memakai bahasa Wandamen, bahasa suku Wamesa yang juga mendiami daerah Teluk Wondama," kata Andreas.
Faktor pemekaran wilayah hingga perkawinan antarsuku, diduga menjadi penyebab kepunahan bahasa daerah itu. Punahnya bahasa Tandia disebabkan sejumlah faktor, di antaranya perkawinan antarsuku yang terjadi selama ratusan tahun. Banyaknya laki- laki suku Mbakawar menikahi perempuan suku Wamesa (Wandamen), mengakibatkan anak-anak mereka lebih mengenal bahasa ibunya, ketimbang bahasa dari keluarga ayahnya.
Pusat keramaian di daerah Teluk Wondama adalah di kampung suku Wamesa, sehingga bahasa pergaulan yang lebih banyak dipakai adalah bahasa Wandamen.
Selain itu, pewarisan bahasa Tandia terhalang mitos yang berkembang di kalangan suku mereka sendiri. Ada keyakinan, jika anak suku Mbakawar menggunakan bahasa Tandia saat orang tuanya masih hidup, maka dia akan celaka. Bahasa ini dianggap tabu digunakan dalam percakapan antar orang tua dan anaknya.
Penyebab lainnya, tambah dosen linguistik Unipa, Hendrik Arwam, adalah pemekaran wilayah yang jamak terjadi di tanah Papua. Pengguna dan penutur bahasa menjadi lebih sedikit, karena terpisah wilayah administrasi. Ditambah lagi, kesadaran orang tua mengenalkan dan membiasakan anak-anaknya menggunakan bahasa daerah.
Sejarah panjang mobilisasi dan penaklukan suku tertentu terhadap wilayah suku lain di tanah Papua, juga menyebabkan bahasa dari sebuah suku tidak digunakan lagi dan hilang. Tak jarang, malah memunculkan ragam bahasa daerah baru, yang merupakan percampuran bahasa suku asli dangan suku penakluk.
Andreas menyesalkan pemda serta lembaga dewan adat tidak tanggap dengan kondisi seperti ini. Seharusnya, pemda mengajarkan bahasa daerah pada kurikulum muatan lokal di sekolah, sementara lembaga dewan adat tidak hanya mengurusi politik, yang bukan sepenuhnya urusan lembaga adat.
Diperkirakan 30 dari 58 bahasa daerah di Papua Barat punah selama 20 tahun terakhir. Selain itu, 10-15 bahasa daerah juga dipastikan mati, karena tidak pernah digunakan lagi oleh penuturnya, seperti bahasa Meyah, Mpur, Dusner, dan Karondori. Tentu saja masih banyak lagi bahasa-bahasa lain yang keberadaannya tidak dikenali. Mungkin jumlah bahasa di negeri ini lebih dari sejuta. Siapa yang tahu? Apalagi menurut Multamia, banyak diantara bahasa-bahasa yang hanya digunakan oleh sedikit orang itu adalah bahasa yang tidak mempunyai tulisan.
Mencermati situasi yang sangat kontradiktif ini, saya menjadi tergelitik dimana bangsa ini bahkan pemerintah dengan gencarnya ‘mengangungagungkan’ bahasa asing, sementara bahasa ibu pertiwi terabaikan. Sepertinya bangsa ini belum menyadari bahwa bahasa ‘ibu’ merupakan media yang sangat efektif untuk berkomunikasi, menyatukan pemahaman dan perasaan.
Saya ingin meneriakkan, kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi yang kita harapkan? Berbagai strategi, seminar, pemikiran dan aneka taktis praktis lainnya sudah dilakukan mempersatukan bangsa ini, baik upaya pemerintah, maupun kelompok masyarakat, nyatanya ‘nasionalisme’ tak juga terjaga, bahkan sepertinya bangsa ini tetap bersatu meninggalkan identitas sendiri. Kenapa kita harus berpaling? Saling memahamai bahasa kita, akan membuat kita saling mengerti satu sama lain.
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan