Baik kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual terhadap perempuan - adalah masalah kesehatan masyarakat yang utama dan pelanggaran hak asasi perempuan. Sebuah WHO multi-negara studi menemukan bahwa antara 15-71% wanita melaporkan mengalami kekerasan fisik dan / atau seksual oleh pasangan intim di beberapa titik dalam hidup mereka. Bentuk-bentuk kekerasan dalam hasil kesehatan fisik, mental, seksual, dan reproduksi dan masalah kesehatan lainnya, dan dapat meningkatkan kerentanan terhadap HIV.
Faktor risiko untuk menjadi pelaku meliputi pendidikan rendah, paparan masa lalu untuk penganiayaan anak atau kekerasan menyaksikan antara orang tua, penggunaan berbahaya alkohol, sikap menerima kekerasan dan ketidakadilan gender. Sebagian besar juga faktor risiko untuk menjadi korban pasangan intim dan kekerasan seksual. Sekolah berbasis program untuk mencegah kekerasan hubungan antara orang-orang muda (atau kekerasan kencan) yang didukung oleh bukti terbaik efektivitas. Strategi pencegahan lainnya primer, seperti keuangan mikro dikombinasikan dengan pelatihan kesetaraan gender dan berbasis masyarakat inisiatif yang alamat ketidaksetaraan gender dan komunikasi dan keterampilan hubungan, menjanjikan. Situasi konflik konflik, pos dan perpindahan dapat memperburuk kekerasan yang ada dan bentuk-bentuk baru ini kekerasan terhadap perempuan.
PBB mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai 'setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau mungkin mengakibatkan, kerugian fisik, seksual atau mental atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan , apakah itu terjadi di publik ataupun dalam kehidupan pribadi.
Kekerasan pasangan intim mengacu pada perilaku dalam hubungan intim yang menyebabkan kerugian fisik, seksual atau psikologis, termasuk agresi fisik, pemaksaan seksual, pelecehan psikologis dan perilaku mengendalikan. Kekerasan seksual adalah setiap tindakan seksual, berupaya untuk mendapatkan tindakan seksual, komentar seksual yang tidak diinginkan atau uang muka, atau bertindak untuk lalu lintas, atau diarahkan terhadap seksualitas seseorang menggunakan paksaan, oleh setiap orang tanpa memandang hubungan mereka dengan korban, dalam pengaturan apapun. Ini termasuk perkosaan, didefinisikan sebagai penetrasi dipaksa secara fisik atau dipaksa dari vulva atau anus dengan bagian, tubuh penis lain atau objek.
Tingkat populasi survei berdasarkan laporan dari korban memberikan perkiraan yang paling akurat tentang prevalensi kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual non-konflik. WHO Multi-negara studi tentang kesehatan perempuan dan kekerasan rumah tangga terhadap perempuan di 10 negara terutama berkembang menemukan bahwa, di :
• antara wanita berusia 15 sampai 49 tahun:
• antara 15% wanita di Jepang dan 70% wanita di Ethiopia dan Peru melaporkan kekerasan fisik dan / atau seksual oleh pasangan intim;
• antara 0,3-11,5% wanita melaporkan mengalami kekerasan seksual oleh pasangan non;
• pengalaman seksual pertama bagi banyak perempuan dilaporkan paksa - 24% di pedesaan Peru, 28% di Tanzania, 30% di pedesaan Bangladesh, dan 40% di Afrika Selatan.
Pasangan intim dan kekerasan seksual kebanyakan dilakukan oleh laki-laki terhadap anak perempuan dan wanita. Namun, kekerasan seksual terhadap anak juga umum. Studi internasional menunjukkan bahwa sekitar 20% wanita dan 5-10% dari pria melaporkan menjadi korban kekerasan seksual sebagai anak-anak. Studi berbasis populasi kekerasan hubungan antara orang-orang muda (atau kekerasan dating) menunjukkan bahwa ini mempengaruhi sebagian besar populasi kaum muda. Misalnya, di Afrika Selatan penelitian terhadap orang berusia 13-23 tahun menemukan bahwa 42% perempuan dan 38% laki-laki dilaporkan menjadi korban kekerasan kencan fisik.
Konsekuensi dan Dampaknya
Pasangan intim dan kekerasan seksual harus serius pendek dan jangka panjang masalah kesehatan fisik, mental, seksual dan reproduksi bagi korban dan anak-anak mereka, dan menyebabkan biaya sosial dan ekonomi tinggi. Efek kesehatan dapat termasuk sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, fibromyalgia, gangguan pencernaan, mobilitas terbatas dan kesehatan secara keseluruhan miskin. Dalam beberapa kasus, baik luka fatal dan non-fatal dapat terjadi.
Mitra kekerasan intim dan kekerasan seksual dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan, masalah ginekologi, aborsi induksi dan infeksi menular seksual, termasuk HIV. Mitra kekerasan intim pada kehamilan juga meningkatkan kemungkinan keguguran pengiriman, lahir mati, prematur dan berat lahir rendah. Bentuk-bentuk kekerasan dapat menyebabkan gangguan depresi, stres pasca-trauma, kesulitan tidur, gangguan makan, gangguan emosi dan usaha bunuh diri. Kekerasan seksual, khususnya selama masa kanak-kanak, dapat menyebabkan peningkatan, obat merokok dan penyalahgunaan alkohol, dan perilaku seksual berisiko di kemudian hari. Hal ini juga terkait dengan perbuatan kekerasan (untuk pria) dan menjadi korban kekerasan (untuk perempuan).
Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga di mana ada kekerasan pasangan intim mungkin menderita berbagai gangguan perilaku dan emosional yang dapat dikaitkan dengan perbuatan atau mengalami kekerasan di kemudian hari. Kekerasan pasangan intim juga telah dikaitkan dengan tingginya tingkat kematian bayi dan anak dan morbiditas (misalnya penyakit kekurangan gizi, diare).
Biaya dan Risiko
Biaya sosial dan ekonomi sangat besar dan memiliki efek riak seluruh masyarakat.Wanita mungkin menderita isolasi, ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan upah, kurangnya partisipasi dalam kegiatan rutin dan keterbatasan kemampuan untuk merawat diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.
Faktor-faktor yang ditemukan terkait dengan pasangan intim dan kekerasan seksual - atau faktor risiko - terjadi dalam individu, keluarga dan komunitas dan masyarakat luas. Beberapa faktor yang berhubungan dengan pelaku kekerasan, ada pula yang terkait dengan korban kekerasan dan ada pula yang berhubungan dengan keduanya. Faktor risiko untuk kedua pasangan intim dan kekerasan seksual termasuk:
• lebih rendah tingkat pendidikan (pelaku dan korban);
• paparan penganiayaan anak (pelaku dan korban);
• menyaksikan kekerasan orang tua (pelaku dan korban);
• gangguan kepribadian antisosial (pelaku);
• penggunaan berbahaya alkohol (pelaku dan korban);
• laki-laki yang memiliki banyak pasangan atau diduga oleh mitra mereka dari perselingkuhan (pelaku), dan
• sikap yang menerima kekerasan (pelaku dan korban).
Faktor risiko khusus untuk kekerasan pasangan intim meliputi:
• masa lalu sejarah kekerasan sebagai pelaku atau korban;
• perkawinan perselisihan dan ketidakpuasan (pelaku dan korban).
• Faktor risiko khusus untuk perbuatan kekerasan seksual meliputi:
• keyakinan untuk menghormati keluarga dan kemurnian seksual;
• ideologi dari hak seksual laki-laki, dan
• lemah sanksi hukum untuk kekerasan seksual.
Posisi yang tidak setara perempuan relatif terhadap laki-laki dan penggunaan normatif kekerasan untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan erat dengan kedua kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual oleh pelaku apapun.
Pencegahan dan Respon WHO
Saat ini, ada beberapa intervensi yang efektif telah terbukti secara ilmiah. Sumber daya lebih banyak diperlukan untuk memperkuat pencegahan primer pasangan intim dan kekerasan seksual - yaitu menghentikan hal itu terjadi di tempat pertama.
Strategi pencegahan primer dengan bukti terbaik untuk efektivitas untuk kekerasan pasangan intim adalah sekolah berbasis program untuk remaja untuk mencegah kekerasan dalam hubungan kencan. Ini, bagaimanapun, masih harus dikaji untuk digunakan dalam rangkaian miskin sumber daya. Bukti yang muncul untuk efektivitas beberapa strategi pencegahan primer lainnya: mereka yang menggabungkan keuangan mikro dengan pelatihan kesetaraan gender; yang mempromosikan komunikasi dan keterampilan hubungan dalam masyarakat; yang mengurangi akses ke, dan penggunaan berbahaya alkohol, dan bahwa perubahan jenis kelamin norma budaya.
Untuk mencapai perubahan yang abadi, adalah penting untuk melaksanakan legislasi dan mengembangkan kebijakan yang melindungi perempuan; alamat diskriminasi terhadap perempuan dan mempromosikan kesetaraan gender, dan membantu untuk memindahkan budaya yang jauh dari kekerasan.
Sebuah respon yang tepat dari sektor kesehatan dapat berkontribusi dengan cara-cara penting untuk mencegah terulangnya kekerasan dan mengurangi konsekuensinya (pencegahan sekunder dan tersier). Sensitisasi dan pendidikan kesehatan dan penyedia layanan lainnya karena itu strategi lain yang penting.Untuk mengatasi sepenuhnya konsekuensi dari kekerasan dan kebutuhan korban / orang yang selamat membutuhkan respon multisektoral.
WHO, bekerja sama dengan sejumlah mitra, adalah:
• membangun dasar bukti pada ruang lingkup dan jenis pasangan intim dan kekerasan seksual dalam situasi yang berbeda dan mendukung upaya negara untuk mendokumentasikan dan mengukur kekerasan ini. Ini adalah bagian penting untuk memahami besaran dan sifat dari masalah di tingkat global;
• mengembangkan petunjuk teknis berdasarkan bukti pasangan intim dan pencegahan kekerasan seksual dan untuk memperkuat tanggapan sektor kesehatan untuk kekerasan tersebut;
• menyebarluaskan informasi dan mendukung upaya nasional untuk memajukan hak-hak perempuan dan pencegahan dan respon terhadap pasangan intim dan kekerasan seksual terhadap perempuan, dan
• bekerja sama dengan lembaga internasional dan organisasi untuk mengurangi / menghilangkan pasangan intim dan kekerasan seksual secara global.
Kasus Di Indonesia
Laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diterima Pusat Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Banten cenderung meningkat setiap tahun. Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak untuk bersama-sama menekan kasus kekerasan tersebut.
Wakil Ketua PTP2A Provinsi Banten Yayah Rukhiyah seusai Sosialisasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kota Serang, Banten, (Jumat, 9/12/18), menyebutkan, tahun 2007 PTP2A menangani enam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jumlah ini terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Dalam tiga terakhir tercatat ada 176 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani lembaga tersebut. Jumlah itu merupakan kasus yang dilaporkan ke PTP2A Provinsi Banten. Tidak menutup kemungkinan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Banten lebih tinggi dari angka tersebut. Pasalnya, banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan. Masih ada kecenderungan enggan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bisa karena malu atau merasa kasus itu persoalan internal mereka. Jenis perlakuan buruk yang dialami perempuan dan anak tersebut beragam seperti pelecehan anak, perdagangan anak, pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, pencabulan, dan penculikan. Kasus perdagangan orang kerap menyasar warga di pedesaan yang masih polos. Namun, berdasar pengakuan korban, ada pula jaringan perdagangan orang yang menggunakan modus meminjamkan sejumlah uang sebelum kemudian membawa lari korban. Merebaknya pelecehan seksual yang pelakunya juga anak di bawah umur, Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengawasan terhadap anak sehingga anak mudah mengakses situs porno. Ada kasus yang pelakunya anak usia tujuh tahun dengan korban berusia lima tahun. Ini sangat memprihatinkan. PTP2A memiliki relawan untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Lembaga ini juga menyediakan jasa pengacara gratis bagi korban hingga sampai ke pengadilan. PTP2A melayani konsultasi bagi masyarakat. Warga yang jadi korban mendapat pendampingan dari psikolog untuk memulihkan trauma yang diderita akibat kekerasan yang dialami.
Wakil Ketua PTP2A Provinsi Banten Yayah Rukhiyah seusai Sosialisasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kota Serang, Banten, (Jumat, 9/12/18), menyebutkan, tahun 2007 PTP2A menangani enam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jumlah ini terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Dalam tiga terakhir tercatat ada 176 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani lembaga tersebut. Jumlah itu merupakan kasus yang dilaporkan ke PTP2A Provinsi Banten. Tidak menutup kemungkinan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Banten lebih tinggi dari angka tersebut. Pasalnya, banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan. Masih ada kecenderungan enggan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bisa karena malu atau merasa kasus itu persoalan internal mereka. Jenis perlakuan buruk yang dialami perempuan dan anak tersebut beragam seperti pelecehan anak, perdagangan anak, pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, pencabulan, dan penculikan. Kasus perdagangan orang kerap menyasar warga di pedesaan yang masih polos. Namun, berdasar pengakuan korban, ada pula jaringan perdagangan orang yang menggunakan modus meminjamkan sejumlah uang sebelum kemudian membawa lari korban. Merebaknya pelecehan seksual yang pelakunya juga anak di bawah umur, Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengawasan terhadap anak sehingga anak mudah mengakses situs porno. Ada kasus yang pelakunya anak usia tujuh tahun dengan korban berusia lima tahun. Ini sangat memprihatinkan. PTP2A memiliki relawan untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Lembaga ini juga menyediakan jasa pengacara gratis bagi korban hingga sampai ke pengadilan. PTP2A melayani konsultasi bagi masyarakat. Warga yang jadi korban mendapat pendampingan dari psikolog untuk memulihkan trauma yang diderita akibat kekerasan yang dialami.
Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Politik Indonesia Ratu Dian Hatifah di Jakarta, (Kamis, 9/2/2912) mengatakan, jumlah penduduk perempuan Indonesia lebih banyak, yaitu sekitar 50,88 persen sedangkan jumlah penduduk laki-laki hanya sekitar 49,12 persen. Populasi penduduk perempuan yang lebih besar sebenarnya merupakan asset dan sumberdaya politik yang seharusnya dapat menopang posisi perempuan dalam proses politik formal di Indonesia. Realitas politik saat ini malah sebaliknya, jumlah populasi perempuan lebih besar daripada laki-laki, namun institusi perpolitikan masih sangat maskulin, tidak otomatis memiliki sensitive gender. Kenyataannya, sampai saat ini perempuan masih merupakan kelompok marjinal yang secara historis selalu disisihkan dalam dunia politik dan pada proses-proses pengambilan keputusan publik. Di sisi lain tingkat pengetahuan perempuan tentang politik sangat berkaitan erat dengan kesadaran politik perempuan, termasuk kesadaran untuk memilih partai yang peduli terhadap kepentingan perempuan maupun wakilnya yang perempuan di DPR maupun DPRD.
Menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, pasal 2, disebutkan bahwa jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan mencakup, namun tidak terbatas pada :
- kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam ranah keluarga termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga,
- kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan,
- kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi:
- kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa dan kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara, dimanapun terjadinya.
Pembagian jenis kekerasan terhadap perempuan dalam laporan ini mengadopsi pembagian dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tersebut, yaitu:
(1) kekerasan dalam rumah tangga; (2) kekerasan dalam wilayah publik; (3) kekerasan yang dilakukan oleh negara; dan (4) lain-lain. Kategori Lain-lain mencakup kekerasan terhadap perempuan yang belum dapat dikategorikan dalam ketiga kategori lainnya karena minimnya data. Di antara kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di atas, terdapat hal-hal yang yang penting untuk disimak lebih lanjut.
Selama Januari – Juni 2007, terdapat 149 kasus kekerasan terhdap perempuan dan anak yang menimpa 285 korban (lihat Tabel 1 dan 2). Pada tabel 1 dapat dilihat besarnya proporsi kasus Kekerasan Dalam Wilayah Publik (KDWP), yaitu sebesar 42%, diikuti dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan oleh negara, yaitu secara berturut-turut 39% dan 17%. Sementara itu dilihat dari jumlah korban, korban terbanyak mengalami kekerasan dalam wilayah publik, yaitu 39%, diikuti kekerasan oleh negara sebesar 33% dan KDRT 28%. Kekerasan oleh negara meliputi trafiking (52%), kematian buruh migran (39%), penjara (9%), dan razia, malpraktik serta hilang kontak masing-masing 4%.
Jumlah Kasus
No Jenis Kekerasan Jumlah Kasus Prosentase (%)
1 Kekerasan dalam Rumah Tangga 58 39
2 Kekerasan dalam Wilayah Publik 62 42
3 Kekerasan oleh Negara 26 17
4 Lain-lain 3 2
Total 149 100
Jumlah Korban
No Jenis Kekerasan Jumlah Korban Prosentase (%)
1 Kekerasan dalam Rumah Tangga 79 28
2 Kekerasan dalam Wilayah Publik 110 39
3 Kekerasan oleh Negara 93 33
4 Lain-lain 3 1
Total 285 100
Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang banyak terjadi dalam kasus-kasus KDRT (49%). Demikian halnya dengan kekerasan seksual (26%). Meskipun demikian, data ini juga perlu dikritisi mengingat dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan (khususnya KDRT), korban seringkali mengalami kekerasan berlapis (kekerasan fisik, psikis dan terkadang seksual sekaligus). Sementara itu, dalam kasus KDWP, kekerasan fisik menempati urutan teratas, yaitu sebesar 54%, diikuti dengan kekerasan seksual sebesar 30%, fisik-seksual (9%), fisik-seksual-ekonomi (2%), psikis-ekonomi (2%), dan fisik-ekonomi (2%).
Intensitas kekerasan dalam kasus-kasus KDRT, KDWP, dan kasus lainnya. Kekerasan terkadang terjadi dalam frekuensi yang berulang. Kebanyakan kasus kekerasan yang terjadi berulang kali adalah kekerasan fisik (25), baik dalam lingkup rumah tangga ataupun dalam wilayah publik, dimana kebanyakan kasus terjadi pada buruh migran. Sementara itu, untuk kasus trafiking masuk dalam kategori intensitas kekerasan dalam rangkaian.
Intensitas Kekerasan
No Intensitas Kekerasan Jumlah Prosentase (%)
1 Sekali 64 43
2 Berulang-ulang 38 25
3 Tidak Diketahui 36 24
4 Rangkaian 12 8
Total 150 100
Salah satu dampak yang dialami oleh perempuan korban kekerasan adalah kematian. Tercatat 54 korban meninggal dunia, akibat kekerasan yang mereka alami. Kematian paling banyak diakibatkan KDWP yaitu 25 korban, diikuti KDRT (16) dan kekerasan oleh negara (11).
Kekerasan yang Berdampak pada Kematian Korban
No Jenis Kekerasan Jumlah Korban Meninggal Prosentase (%)
1 Kekerasan dalam Rumah Tangga 16 30
2 Kekerasan dalam Wilayah Publik 25 46
3 Kekerasan oleh Negara 11 20
4 Lain-lain 2 4
Total 54 100
Siapakah Korban?
Korban kekerasan terhadap perempuan dan anak bersal dari segala lapisan umur. Tabel 5 menunjukkan bahwa 38% korban adalah anak-anak. Pun demikian jumlah tersebut bisa saja lebih besar mengingat besarnya jumlah usia korban yang tidak diketahui yang mencapai 31%.
Usia Korban Saat Mengalami Kekerasan
No Usia Jumlah Prosentase (%)
1 0 - 5 27 10
2 6 – 12 15 5
3 13 – 17 64 23
4 18 – 30 54 19
5 31 – 50 30 11
6 Di atas 51 6 2
7 Tidak diketahui 87 31
Total 283 100
Dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap anak, kekerasan didominasi oleh kasus kekerasan dalam wilayah publik (56%). Sedangkan 34% adalah kasus kekerasan oleh negara dan 11% kasus KDRT. Di antara kasus KDWP yang menimpa anak, kasus terbanyak adalah perkosaan atau pencabulan (86%), pembunuhan (10%) dan perkosaan-perampokan (4%). Ini menunjukkan bahwa lingkungan publik masih menjadi tempat yang rawan bagi anak. Sementara itu, dalam kasus KDRT, dari 11 korban, 7 korban mengalami penganiayaan dan 4 korban lainnya mengalami pemerkosaan. Dalam kasus perkosaan, kebanyakan dilakukan oleh ayah dengan alasan ditinggal istri berangkat ke luar negeri sebagai buruh migran. Sementara itu dalam kasus penganiayaan, sebagaian besar dialami oleh PRTA (Pekerja Rumah Tangga Anak).
Siapakah Pelaku
Pelaku kekerasan terhadap perempuan kebanyakan adalah laki-laki (67%). 9% pelaku adalah perempuan, dan sisanya tidak diketahui jenis kelaminnya. Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pelaku perempuan adalah KDRT (pembunuhan bayi, penganiayaan terhadap PRT), pemerkosaan/ pencabulan dan trafiking. Dari fakta yang terungkap, ditemukan bahwa di antara pelaku, terdapat 9 orang ‘pelaku’ anak, yang kesemuanya melakukan pemerkosaan. Sementara itu 12% pelaku adalah suami korban dan 21% adalah majikan. Ini menunjukkan tingginya pelaku yang memiliki hubungan dekat dengan korban.
Relasi Pelaku dengan Korban
No Relasi Pelaku dengan Korban Jumlah Prosentase (%)
1 Relasi Intim
Suami 20 12
Mantan Suami 0 0
Pacar 2 1
2 Relasi Keluarga
Ibu 2 1
Ayah 4 2
Keponakan 1 1
Paman 1 1
3 Tetangga 7 4
4 Relasi Subordinat di tempat kerja (majikan, bos) 36 21
5 Guru 5 3
6 Teman 11 6
7 Baru/ tidak dikenal 4 2
9 Teman saudara 2 1
10 Mantan Pacar 4 2
11 Agen 1 1
12 Bawahan Ayah 1 1
13 Pelanggan 1 1
14 Tidak Diketahui 68 40
Total 170 100
Dimana Kasus Terjadi
Tabel di bawah ini menunjukkan sebaran wilayah dan lokasi terjadinya kekerasan dalam kasus (pengecualian kasus kekerasan oleh negara). Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa Bandung (kota dan Kabupaten) adalah tempat yang cukup marak dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Wilayah lain yang cukup marak dengan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah Jakarta, Tangerang, Cimahi, Subang dan Bekasi.
Sebaran Wilayah Terjadinya Kekerasan terhadap Perempuan
No Wilayah Terjadinya Kekerasan Jumlah Prosentase (%)
1 Bekasi 5 5
2 Kota Sukabumi 4 4
3 Kab. Sukabumi 2 2
4 Kab. Bandung 14 14
5 Kota Bandung 6 6
6 Sumedang 2 2
7 Tangerang 7 7
8 Subang 5 5
9 Indramayu 4 4
10 Kuningan 2 2
11 Jakarta 14 14
12 Bali 2 2
13 Madura 1 1
14 Majalengka 1 1
15 Cimahi 5 5
16 Bogor 2 2
17 Cirebon 1 1
18 Purwakarta 1 1
19 Sleman 2 2
20 Balangan 1 1
21 Luar Negeri (Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Yordania, Oman) 21 21
Total 102 100
Kekerasan terhadap perempuan lebih banyak mengambil ruang domestik baik itu rumah tinggal pelaku bersam korban atau rumah pelaku. Tercatat 66 kasus terjadi di rumah dan 12 kasus terjadi di lingkungan terbuka, seperti sungai, kebun, sawah dan hutan.Kekerasan terhadap perempuan juga menimpa perempuan di luar negeri. Kasus KDRT yang dialami PRT migran terjadi di negara Timur Tengah (Yordania, Oman), Malaysia dan Singapura.
Lokasi Terjadi Kekerasan
No Lokasi Kekerasan Jumlah (Kasus) Prosentase (%)
1 Sungai, Kebun, Sawah, Hutan 12 10
2 Rumah 66 54
3 TPA, Sekolah 2 2
4 RSUD 1 1
5 WC Umum 1 1
6 Kantor 2 2
7 Diskotik 1 1
8 Tempat Penampungan 2 2
9 Jalan, Jembatan 7 6
10 Hotel, Penginapan 4 3
11 Mobil 1 1
12 Tidak Diketahui 23 19
Total 122 100
Bagaimana Kasus Trafiking?
Selama bulan Januari – Juni, terdapat 12 kasus trafiking yang menimpa 43 orang korban, 29 diantaranya adalah anak-anak. kasus trafiking yang terjadi adalah kasus trafiking dalam negeri dan lintas batas negara. Untuk kasus trafiking dalam negeri, daerah tujuan adalah Batam, Madiun, Purwokerto. Sementara itu untuk kasus trafiking lintas batas negara, yang menjadi daerah tujuan adalah Malaysia, Jepang. Jakarta dan Entikong menjadi daerah transit trafiking lintas negara. Korban berasal dari daerah pedesaan di Indramayu, Kendal, Ciamis, Banyumas, Sukabumi, Subang, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Sebagian besar korban mengalami eksploitasi seksual komersial. Modus operandi yang digunakan, yaitu orang yang sudah bekerja pulang ke daerah asal, dan merekrut orang dari daerah asal untuk dipekerjakan. Selain itu, ditemukan pula modus operandi trafiking yang berkedok magang, namun ternyata dipaksa menjadi PSK dan tenaga kerja murah. Orang tua, juga menjadi menjadi pihak yang terlibat trafiking. Dalam sebuah kasus, orang tua korban menyerahkan anaknya ke mucikari.
Berdasarkan fakta yang terungkap, ditemukan adanya kasus perdagangan bayi serta perdagangan korban bencana (Lumpur Lapindo). Terdapat pula kasus penjualan bayi yang terjadi di daerah Semarang. Solo dan Karanganyar menjadi daerah transit dan daerah tujuan adalah Madiun.
Bagaimana Penanganan Kasus?
Dari 149 kasus, hanya ada 16 kasus yang teridentifikasi pola penanganan hukumnya. Dalam penanganan hukum, untuk kasus kekerasan terhadap anak dan KDRT telah digunakan Undang Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang PKDRT. Pun demikian implementasi dari kedua UU tersebut masih kurang. Pemantauan penanganan kasus, seringkali tidak dilakukan oleh media, sehingga tidak dapat diketahui perkembangan kasus tersebut.
Berikut ini beberapa kecenderungan yang ditemukan dalam kasus-kasus yang terjadi :
A. Kemiskinan Ekonomi vs Kekerasan terhadap Perempuan
Kemiskinan ekonomi seringkali menjadi penyebab terjadinya kekerasan. Mahalnya harga-harga kebutuhan sehari-hari telah menjadikan beban hidup semakin berat dan akhirnya menyebabkan KDRT. Hal ini dapat terlihat dalam kasus berikut. IF (45 tahun) meninggal dunia, akibat sabetan senjata tajam yang dilakukan oleh suaminya, SL (46 tahun). Hal ini dipicu pertengkaran IF dan SL karena persoalan ekonomi rumah tangga.
Ip, mengambil uang suaminya karena uang jatah belanja yang diberikan suaminya tidak cukup mencukupi kebutuhan makan. Begitu mengetahui perbuatan Ip, suaminya HS (31 tahun) menganiaya Ip.
B. Kekerasan terhadap buruh migran
Selama bulan Januari – Juni, terdapat 41 kasus yang menimpa buruh migran, yaitu kematian buruh migran (9), hilang kontak (1), dipenjara (2) dan KDRT (29). Kasus-kasus buruh migran, selalu ada tiap bulannya, ini menunjukkan rentannya perempuan yang menjadi buruh migran mengalami tindak kekerasan. Kasus kematian buruh migran seringkali disebabkan oleh KDRT. Jumlah kasus yang menimpa buruh migran bisa jadi lebih banyak, namun tidak banyak yang terekspose oleh media.
Dalam kasus penganiayaan terhadap PRT, jenis kekerasan yang dialami adalah kekerasan fisik (17), fisik dan ekonomi(5), fisik - seksual (1), fisik – psikis (1), seksual (1), psikis – ekonomi (1), psikis – seksual (2), dan psikis (1). Berikut adalah gambaran kasus KDRT yang dialami oleh PRT migran. Dr (22 tahun), asal Indramayu yang bekerja sebagai PRT di Singapura, pulang dalam keadaan luka parah dan mengalami depresi serta histeris bila melihat orang asing. Karena Dr memecahkan piring, majikan perempuan menyiksa Dr, dibantu suami dan anak-anaknya. Perut Dr disayat dengan silet hingga membuat tulisan Cina.
C. Anak dan Perempuan sebagai pelaku kekerasan
Sebagaimana yang diungkapkan di atas, di antara pelaku terdapat 9 orang “pelaku” anak. kekerasan yang dilakukan oleh pelaku tersebut adalah perkosaan.
Dari keseluruhan pelaku, 9 % pelaku adalah perempuan. Umumnya, perempuan yang menjadi pelaku kasus kekerasan dalam rumah tangga, namun ada kasus dimana perempuan melakukan tindak pencabulan terhadap seorang anak. FM (25 tahun) melakukan pencabulan terhadap JS (13 tahun), anak laki-laki. Ibu JS sebelumnya melihat FM di kamar bersama dengan kedua anaknya, namun beliau tidak curiga. Ketika orang tua JS pergi, FM memberi JS minuman yang mengandung obat perangsang dan melakukan perbuatan mesum dan cabul terhadap JS. Kejadian tersebut diperkirakan terjadi pada tahun 2003. FM kemudian berterus terang terhadap keluarga JS, bahwa dirinya hamil oleh JS
D. Dominasi suami atas tubuh istri
Ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki, tercermin pula dalam hubungan suami – istri. Besarnya kuasa suami terhadap istri menyebabkan suami merasa memiliki dominasi atas tubuh istri. SA mengajak istrinya, Ta untuk berhubungan intim, namun ditolak oleh Ta karena luka bekas melahirkan anak pertama mereka masih meninggalkan rasa sakit. SA kemudian membakar Ta yang sedang tidur. Akibatnya, sebagian perut, seluruh dada hingga leher, serta dua tangan dan kaki kiri korban terbakar.
E. Pendekatan represif terhadap PSK
Tercatat dalam kurun waktu Januari – Juni terjadi razia terhadap PSK (Pekerja Seksual Komersial) di Jawa Barat. Ini menunjukkan masih dikedepankannya pendekatan represif terhadap PSK, namun kurang menyentuh akar persoalan yang ada. Pendekatan represif selama ini hanya ditujukan kepada PSK, namun jarang ditujukan kepada pengguna, mucikari, atau germo.
F. Kasus Pembakaran Diri
Tercatat ada 3 kasus pembakaran diri yang terjadi pada bulan Januari – Juni 2007. Dalam sebuah kasus, korban melakukan pembakaran diri setelah membakar anaknya. Kasus pembakaran diri ini terjadi akibat persoalan ekonomi atau percekcokan dalam rumah tangga.
ND (23 tahun), warga Cilengkrang, Cibiru, membakar dirinya karena tidak mampu membayar hutang. ND berhutang untuk mencukupi belanja hidup keluarganya sehari-hari. ND yang takut hutangnya sebesar 3,5 juta diketahui suaminya, kemudian membakar diri di hadapan kedua anaknya.
G. Anak sebagai Korban Kekerasan Seksual
Jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual pada rentang waktu ini cukup banyak. Ini menunjukkan bahwa lemahnya posisi anak, menyebabkan anak (terutama anak perempuan) rentan terhadap tindak kekerasan.
H. Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT)
Tercatat terdapat 11 kasus yang menimpa PRT, 2 kasus merupakan kasus kekerasan seksul, sedangkan yang lainnya adalah kasus kekerasan fisik. Akibat kekerasan yang dialami, terdapat 2 korban meninggal dunia. Dari 11 PRT yang menjadi korban, 4 di antaranya adalah anak-anak.
Is (16 tahun) menderita trauma berat akibat dianiaya majikannya selama bekerja di Cimahi. Bagian dada Is terluka akibat disetrika, tangan kanannya patah, wajah dan sejumlah bagian tubuhnya luka memar akibat dipukul.
Perlindungan terhadap PRT dapat dikatakan masih jauh dari harapan, ini terlihat dari banyaknya kasus terhadap PRT (kasus sebenarnya bisa jadi lebih banyak). Dalam hal PRTA (Pekerja Rumah Tangga Anak), menurut Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, termasuk dalam bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Pun demikian fenomena di lapangan menunjukkan banyaknya anak yang bekerja sebagai PRT, di mana hal ini tidak lepas dari faktor kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan.
Ada Apa di Balik Kekerasan terhadap Perempuan?
a. Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran terhadap Hak Asasi Perempuan
Perempuan merupakan kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan. Dalam kasus kekerasan yang muncul dalam periode ini, perempuan telah mendapatkan dampak kekerasan, yang tidak hanya dampak fisik, psikis, seksual dan ekonomi, namun lebih dari itu, perempuan telah terampas keutuhan martabatnya sebagai manusia.
b. Kemiskinan Ekonomi versus Kekerasan terhadap Perempuan
Kondisi ekonomi memiliki korelasi dengan kekerasan terhadap perempuan. berdasarkan data yang terungkap, kekerasan terhadap perempuan seringkali disebabkan oleh kemiskinan ekonomi.
c. Minimnya Perlindungan terhadap Anak
Dalam periode ini, tercatat jumlah anak di Jawa Barat yang mengalami kasus kekerasan ada 38 kasus. Fakta ini menunjukkan bahwa anak (anak perempuan) merupakan kelompok yang rentan terhadap kekerasan. Anak yang dalam hal ini dianggap berada dalam posisi sub ordinat, acapkali menjadi sasaran kekerasan orang dewasa, baik itu kekerasan fisik, psikis atau seksual. Tersangka, D, memperkosa anaknya, S (8 tahun) yang masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Sebelumnya, D dipenjara selama 8 tahun karena memperkosa N, anak kandungnya yang sekaligus kakak S.
Hal ini menunjukkan bahwa keluarga, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak dan memberikan perlindungan bagi anak justru menjadi tempat di mana anak mendapatkan tindak kekerasan.
Maraknya kasus kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga atau lingkungan umum menunjukkan masih minimnya perlindungan terhadap anak. Hal ini menunjukkan pula masih jauhnya lingkungan yang ramah dan aman bagi anak.
Menyimak laporan di atas, INSTITUT PEREMPUAN merekomendasikan untuk:
• Pemerintah pusat dan daerah lebih memprioritaskan kebijakan bagi perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran HAM
• Pemerintah pusat dan daerah memprioritaskan program dalam rangka menyebarkan nilai-nilai kesetaraan perempuan dan laki-laki melalui institusi pendidikan, media, institusi lokal dalam masyarakat, dan lain-lain.
• Pemerintah melaksanakan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
• Pemerintah segera mengesahkan peraturan pelaksana UU PTPPO
• Pemerintah Jawa Barat menyusun dan mengesahkan Peraturan Daerah tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
• Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II di Jawa Barat menganggarkan alokasi dana untuk penyediaan layanan terpadu bagi anak dan perempuan korban kekerasan.
Antisipasi Kriminalisasi Perempuan
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan mencatat data jumlah perempuan korban kekerasan sepanjang tahun 2010 sebanyak 105.103 orang. Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan tidak terlepas dari hadirnya berbagai kebijakan berperspektif HAM dan jender yang membuka akses bagi perempuan untuk dapat melaporkan kasusnya. Sebut saja Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Wakil Ketua Komnas HAM Masruchah, di Jakarta, (Kamis, 9/2/2012) mengatakan di sisi lain tak dapat dipungkiri (bahwa) berbagai kebijakan diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan jender juga muncul, berupa kebijakan di tingkat nasional maupun kebijakan lokal. Dalam kajian perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pornografi yang justru menghalangi perempuan untuk dapat menikmati hak asasinya secara utuh, khususnya hak atas kepastian hukum dan atas kebebasan berekspresi.
Komnas Perempuan mencatat, hingga bulan Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207 kebijakan tersebut secara khusus menyasar perempuan, lewat pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.
SUMBER :
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs239/en
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan