Ketika Stres Menerpa Guru
Jajak pendapat dan survei baru-baru ini menunjukkan
bahwa banyak pendidik merasa stres dan tidak perduli. Hal itu bukan saja membahayakan
pengajaran mereka, tetapi juga prestasi siswa. Bahkan dapat mengendorkan semangat
administrator.
Menurut The Huffington Post, laporan Gallup “State
of America's Schools: Jalan Menuju Pendidikan Lagi” menunjukkan bahwa hampir 70
persen guru mengatakan bahwa mereka tidak merasa terlibat dalam pekerjaan
mereka. Hampir separuh dari guru juga melaporkan bahwa mereka mengalami stres
setiap hari. dalam pekerjaan mereka. Sehingga memengaruhi gaya mengajar dan perhatian
siswa mereka. Berdasarkan tanggapan dari 70.000 karyawan AS,
termasuk 7.200 guru K-12, para peneliti mengklasifikasikan 31 persen guru
sebagai “terlibat” di tempat kerja. Ini adalah persentase yang sama
dibandingkan dengan responden secara keseluruhan. Namun, porsi pekerja yang
digambarkan sebagai "tidak terlibat" di antara para guru, sedikit
lebih besar daripada untuk angkatan kerja umum — 56 persen versus 52 persen.
Dibandingkan dengan profesi lain, guru juga paling tidak melaporkan bahwa
pendapat mereka dihitung di tempat kerja.
Laporan Sekolah Negara Amerika 2014 juga
menunjukkan bahwa ketika para guru stres atau tidak sepenuhnya terlibat dalam
pekerjaan mereka, siswa merasakan dampaknya. Tingkat keterlibatan guru secara
langsung berkaitan dengan siswa mereka —dan demikian juga hasil pencapaian
siswa. “Guru yang tidak
terlibat cenderung tidak membawa energi, wawasan, dan ketahanan yang dibutuhkan
pengajaran yang efektif di kelas. Guru cenderung tidak membangun hubungan yang
positif dan peduli dengan siswa mereka yang membentuk inti emosional dari
proses pembelajaran.”
Pada 2013, The Washington Post, melaporkan Survei
MetLife terbaru dari American Teacher, bahwa kepuasan guru telah cenderung
menurun selama beberapa waktu. Pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kepuasan
guru telah turun 23 poin persentase sejak 2008. Hanya 39% yang melaporkan
“sangat puas”, tingkat terendah yang terlihat dalam 25 tahun, di mana anggaran
menurun dalam 12 bulan terakhir. Yang menarik, guru yang kurang puas malah lebih
mungkin berada di sekolah daripada guru “sangat puas”. Survei itu juga
mengungkapkan ambivalensi tentang reformasi sekolah — hanya 17 persen guru
yakin bahwa Standar Inti Negara Umum akan meningkatkan prestasi siswa.
Laporan MetLife, Tantangan untuk Kepemimpinan
Sekolah, juga mencatat bahwa sembilan dari 10 kepala sekolah percaya bahwa
mereka harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada anak-anak di
sekolah. Tiga perempat kepala sekolah mengatakan bahwa mereka merasa pekerjaan
itu “menjadi terlalu rumit,” dan tujuh dari 10 kepala sekolah mengatakan
tanggung jawab pekerjaan mereka berbeda dibandingkan lima tahun sebelumnya. Akibatnya,
kepuasan kerja menurun sembilan poin persentase dalam waktu kurang dari lima
tahun, dari 68 persen menjadi 59 persen merasa “sangat puas.” Setengah dari
kepala sekolah melaporkan merasa stres beberapa hari dalam seminggu.
Gallup’s State of America's Schools Tahun 2014, dalam
laporannya menyebutkan survei 2012 terhadap 600.000 siswa di kelas 5-12,
bertanya tentang perasaan harapan, keterlibatan, dan kesejahteraan mereka di
sekolah mereka. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa Empat puluh lima persen
siswa mengatakan mereka tidak merasa terlibat, dan tingkat pelepasan diri
meningkat dengan tingkat kelas. Guru memiliki pengaruh terbesar pada
keterlibatan siswa. Siswa memiliki setidaknya satu guru yang membuat mereka bersemangat
tentang masa depan mereka, atau bahwa sekolah berkomitmen untuk kemampuan
setiap siswa, 30 kali lebih mungkin untuk terlibat dalam pekerjaan sekolah
mereka.
Brandon Busteed, Direktur Eksekutif Gallup
Education, yang membahas temuan tersebut, mengatakan kepada Education Week
bahwa hubungan antara guru dan siswa harus efektif. Kepemimpinan yang tepat dan
keterlibatan guru dan siswa adalah satu ekosistem yang sangat penting. Setiap
mata rantai yang rusak di rantai itu, berarti merusak pentingnya sekolah secara
keseluruhan.
Masalah Pokok Yang Diderita Guru Indonesia
Data Kemendikbud menyebutkan ada sekitar 737 ribu
guru yang statusnya sebagai guru tidak tetap di sekolah negeri. Angka tersebut
belum termasuk guru agama yang berwenang di Kementerian Agama, sehingga secara
keseluruhan diperkirakan jumlah guru yang tidak tetap sekitar 840 ribu guru.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Muhadjir Effendy (Antara, Sabtu 25/11/2017) menegaskan seluruh pihak baik
kementerian terkait maupun pemerintah daerah harus duduk bersama untuk
mengambil kebijakan terkait permasalahan guru seperti rekrutmen, distribusi
yang belum merata serta kesejahteraan guru. Kementerian Keuangan berkaitan
dengan masalah anggaran. Demikian pula Kementerian Dalam Negeri seyogianya
dapat menjembatani kewenangan provinsi, kabupaten, dan kota dalam otonomi
daerah terkait dengan fungsi pendidikan.
Indonesia masih kekurangan guru meski tidak banyak,
khususnya untuk sekolah negeri yang statusnya beragam, mulai dari PNS,
bersertifikat profesi, hingga berstatus honorer. Perlu adanya peran pemerintah
daerah untuk ikut serta melakukan redistribusi guru, meningkatkan kesejahteraan
guru yang masih di bawah standar minimun. Perlunya tata kelola guru yang
menyeluruh, mengingat sudah sekitar tujuh tahun tidak melakukan penerimaan guru
secara reguler. Untuk kepastian posisi apakah sebagai PNS atau aparat sipil
negara itu harus ditelaah bersama-sama, seperti yang kita tahu dengan adanya
otonomi daerah pendidikan itu wewenang pemerintah kabupaten dan kota. Beberapa
kementerian memiliki peran vital terkait kejelasan status maupun kesejahteraan
guru. Kementerian PAN-RB misalnya disebut Muhadjir mengetahui persis jumlah
guru yang dapat direkrut pemerintah.
Tunjangan profesi guru mulai dari guru yang tersertifikasi,
hingga tunjangan khusus bagi guru yang mengabdi di daerah khusus akan diberi
perhatian. Banyak skema tunjangan pada guru, ada tunjangan profesi untuk guru
yang sudah dapat sertifikat profesi, ada tunjangan kemahalan untuk guru yang
mengajar di tempat khusus, dan tunjangan khusus lain. Pendapatan tidak merata
di kalangan guru, ada guru sudah mendapat tunjangan tapi ada guru yang status
honorer. Maka ini perlu ditata mengenai pembebanan guru yang pendapatannya
berbeda itu.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi
Pendidikan, dalam rangka memperingati Hari Guru Sedunia 2015, mencatat ada
beberapa faktor yang jadi penyebab masalah pendidikan. ICW menemukan fakta
bahwa guru kerap dijadikan objek kepentingan politik di daerah. Di beberapa
daerah seperti Kabupaten Pandeglang, Banten, jabatan guru dijadikan sebagai
"pembuangan" bagi pegawai negeri yang tidak mendukung pemenangan
pemilihan.
Ade Irawan, salah satu penggerak koalisi mengatakan,
setidaknya ada enam masalah pokok yang berkaitan dengan guru, di antaranya
adalah rekrutmen guru, distribusi guru yang tidak merata, politisasi guru,
pengembangan karier guru, status guru dan kesejahteraannya.
Jimmy Paat, pegiat Koalisi Pendidikan, aktivis
Indonesia Corruption Watch dan pengajar di salah satu LPTK Universitas Negeri
Jakarta, perguruan tinggi yang berwenang mendidik calon guru dan guru professional,
menyoroti persoalan yang terjadi pada rekrutmen guru di Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK). Pemerintah harus mengontrol kualitas dan jumlah
lulusan LPTK negeri maupun swasta agar calon guru memiliki kompetensi yang
cakap. Carut marut dalam mekanisme rekrutmen guru, secara perlahan telah
membentuk kastanisasi dalam guru. Bagi para siswa terbaik, 417 LPTK di
Indonesia belum menjadi pilihan utama, hanya dijadikan cadangan ketika mereka
tidak diterima di perguruan tinggi favorit. Jadi, yang masuk ke LPTK bukan
siswa terbaik, tapi siswa ke tiga atau empat. Walau secara umum kewajiban guru
PNS dan guru honor di sekolah sama, tetapi haknya berbeda. Belum ada kebijakan
maupun mekanisme yang menggambarkan dengan jelas tahapan karier guru. Guru
bersatus pegawai negeri sipil memperoleh ruang yang lebih besar untuk mengikuti
berbagai pendidikan dan pelatihan. Hal ini berbanding terbalik dengan guru
honorer atau guru swasta.
Suparman, salah satu guru SMA 17 Jakarta,
mengatakan, saat ini kondisi guru minim pelatihan. Sementara berbagai seminar
maupun pelatihan dilakukan melalui kampanye terselubung menjelang momen
pemilihan kepala daerah. Di sisi ini, guru mudah dimanfaatkan sebagai mesin
politik calon kepala daerah. Guru perlu membangun kekuatan politiknya sendiri
untuk mengkonter politisasi yang dilakukan para politisi terhadap guru.
Parel SM Naibaho, pendiri Sekolah Biru Bangsa di
Jakarta, mengatakan, diskriminasi guru mulai dari PNS, guru honorer, guru
bantu, instruktur maupun guru sukarelawan, secara masiv telah terjadi di
Pendidikan Infromal dan Non Formal. Kastanisasi yang bukan hanya dikalangan
Guru itu juga mejadi penghambat perkembangan Pendidikan Indonesia melalui
komunitas masyarakat Pendidikan. Jangankan sertifikasi, tunjangan atau bantuan
bagi guru hampr tidak pernah diberikan pemerintah. Niat baik komunitas Pendidikan
untuk menggerakkan literasi ditengah-tengah sering tidak diperhatikan. Bantuan
dana program kegiatan Pendidikan Masyarakat sulit diperoleh karena alasan
administrasi, sementara disisi lain para pejabat teknis mendapatkan insentif
dari pengawasan mereka atas kegiatan pemberdayaan yang dilakukan komunitas
Pendidikan Masyarakat. Pengurus Lembaga Pendidikan dan Guru sering kebingungan mendanai
operasional dan administrasi setiap kegiatan formal Pemerintah terkait Pendidikan.
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), Unifah Rasyidi, (Jumat, 24/11/2017) mengatakan PGRI sepakat bahwa
kesejahteraan guru masih banyak masalah, terutama soal kesejahteraan sekitar
satu juta guru yang hidup di bawah standar sejahtera. Hingga saat ini,
cita-cita PGRI belum terlaksana baik itu profesionalisme, kesejahteraan dan
perlindungan terhadap guru. Dari data dapodik guru PNS dan yayasan ada sekitar
53,4%, sisanya guru honorer. Upaya pemerintah dengan mengangkat sekitar 250
ribu guru honorer menjadi CPNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja
(P3K) setidaknya menunjukkan adanya kemajuan atas kekurangan satu juta guru. Diminta
agar mengutamakan para guru honorer yg memenuhi kualifikasi dan kompetensi.
Harus terbuka, diberi kesempatan kepada mereka yang sudah terdata dengan baik.
Dengan begitu kedepankan profesionalisme, kompetensi, dan di sisi lain kita
menghargai para guru yang telah lama mengabdi. Terkait kualitas guru, PGRI
mendorong adanya perubahan pola pikir para guru untuk terus belajar. Namun tak
hanya guru, tetapi juga pemangku kepentingan pusat dan daerah harus berubah.
Pola pikirnya bagaimana cara melihat guru, tidak sebagai objek tapi
perlindungan. Perlindungan terhadap guru sangat penting diadakan di sekolah,
karena kekerasan bisa saja terjadi tidak hanya pada siswa namun juga guru.
Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat Burhasman
Bur di Padang terus mengupayakan kesejahteraan guru yang harus diperjuangkan,
tenaga honorer agar diangkat menjadi PNS. Sayangnya hal ini masih terkendala
Peraturan Presiden nomor 48 tahun 2005. Dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 itu
dinyatakan pemerintah provinsi dilarang mengangkat tenaga honorer menjadi PNS.
Pemerintah Provinsi Sumbar akan terus meninjau peluang pengangkatan itu pada
2018 yang kabarnya dibuka oleh pusat. Untuk sementara ini gaji guru honorer
tetap dibayar setelah kewenangan tingkat SMA pindah dari kabupaten/ kota ke
provinsi pada awal 2017. Tenaga guru honorer ini sangat dibutuhkan, apalagi
saat ini jumlah guru SMA sederajat banyak kekurangan. Saat ini Sumbar
kekurangan guru SMA dan SMK sederajat sebanyak 6.000 tenaga pendidik.
Kekurangan tersebut ditutupi oleh tenaga honorer tanpa kesejahteraan memadai.
Jumlah guru tingkat SMA sederajat yang berstatus sebagai PNS di Sumbar sebanyak
13.535 orang. Angka tersebut dinilai tidak mencukupi untuk tenaga pendidik di
sekolah. Kekurangan tersebut dikarenakan tidak adanya penambahan guru dan
banyaknya tenaga pendidik yang sudah pensiun. Terhitung sejak Januari hingga
Agustus tahun ini, terdapat 500 guru yang pensiun. Data sementara menunjukkan
jumlah guru honorer dan pegawai tidak tetap yang beralih kewenangannya ke
provinsi pada awal 2017 sebanyak 2.064 orang.
Karsono, anggota Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Jawa Tengah di Semarang juga menyoroti kesejahteraan guru. Tidak
hanya guru honorer di berbagai sekolah namun juga guru sekolah swasta yang
masih perlu ditingkatkan kesejahteraannya. Semua guru di Jateng harus
mendapatkan penghasilan pantas dan memadai yang meliputi gaji pokok, tunjangan
yang melekat pada gaji, tunjangan profesi dan atau tunjangan khusus serta
penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Guru di semua tingkatan
sekolah merupakan ujung tombak dari pendidikan dan keberlangsungan roda
pembelajaran. Khawatirnya, rendahnya kesejahteraan guru memengaruhi kualitas
pendidikan. Diharapkan Pemprov Jateng juga dapat memberikan perhatian terhadap
kesejahteraan guru swasta dan honorer. Harapan itu disampaikan karena banyaknya
aspirasi masyarakat mengenai belum maksimalnya insentif gaji pengajar guru
sekolah swasta dan guru honorer. Sebaiknya tidak ada kesenjangan antara guru
swasta dan negeri karena mereka sama-sama pengajar. Kami berharap pemerintah
juga memberikan kesejahteraan guru swasta hingga mencapai gaji dengan taraf
ideal. Pelimpahan kewenangan sekolah menengah dan kejuruan dari kabupaten/kota
ke tingkat provinsi diharapkan bisa berjalan secara optimal sebagaimana
dikelola oleh kabupaten/kota.
Guru Bisa Terjebak Kriminalitas
Ferdinand Andi Lolo, Kriminolog Universitas
Indonesia (Selasa, 8/8/2017) mengatakan, saat ini tingkat kesejahteraan guru
memang belum merata. Kemungkinan hanya guru sekolah internasional saja yang
tingkat kesejahteraannya sudah baik. Ini karena desakan ekonomi dan salah satu
barang berharga yang bisa diagunkan ya sertifikasi sehingga mereka nekat
berbuat demikian. Ketika desakan ekonomi meningkat kemudian tidak ada sumber
penghasilan lain sehingga meminjam uang ke bank dengan agunan surat berharga
menjadi pilihan ril untuk mereka. Mereka beranggapan menggadaikan surat ke bank
menjadi paling mudah dilakukan dan cepat mendapatkan uangnya. Disisi lain pihak
bank kurang tingkat kewaspadaannya. Kelengahan bank terjadi karena melihat hal
itu (penggadaian sertifikasi) dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, sebagai
sesuatu yang biasa. Untuk mengatasi masalah kesejahteraan guru perlu kerjasama
banyak pihak, termasuk Dinas Pendidikan yang menaungi guru pegawan negeri sipil
serta Kementrian Keuangan. Guru itu contoh bagi muridnya. Kalau mereka saja
berbuat demikian bagaimana bisa memberikan contoh baik?
Bagaimana kondisi kehidupan dan psikologi Guru di
Indonesia? Bagaimana kondisi Administrator? Bila Stres dan kegelisahan melanda,
maka siswa lah yang menjadi korban. Generasi Penerus harus dikawal. Bapak Ibu Guru dan Tenaga Kependidikan, tetaplah
semangat. Semoga perhatian diarahkan kepadamu.
SUMBER :
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan