KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Wednesday 27 June 2018

Terkuak, Prestasi Siswa Terancam oleh Derita Yang Dialami Guru dan Tenaga Kependidikan

Posted by   on Pinterest


Ketika Stres Menerpa Guru

Jajak pendapat dan survei baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak pendidik merasa stres dan tidak perduli. Hal itu bukan saja membahayakan pengajaran mereka, tetapi juga prestasi siswa. Bahkan dapat mengendorkan semangat administrator.

Menurut The Huffington Post, laporan Gallup “State of America's Schools: Jalan Menuju Pendidikan Lagi” menunjukkan bahwa hampir 70 persen guru mengatakan bahwa mereka tidak merasa terlibat dalam pekerjaan mereka. Hampir separuh dari guru juga melaporkan bahwa mereka mengalami stres setiap hari. dalam pekerjaan mereka. Sehingga memengaruhi gaya mengajar dan perhatian siswa mereka. Berdasarkan tanggapan dari 70.000 karyawan AS, termasuk 7.200 guru K-12, para peneliti mengklasifikasikan 31 persen guru sebagai “terlibat” di tempat kerja. Ini adalah persentase yang sama dibandingkan dengan responden secara keseluruhan. Namun, porsi pekerja yang digambarkan sebagai "tidak terlibat" di antara para guru, sedikit lebih besar daripada untuk angkatan kerja umum — 56 persen versus 52 persen. Dibandingkan dengan profesi lain, guru juga paling tidak melaporkan bahwa pendapat mereka dihitung di tempat kerja.

Laporan Sekolah Negara Amerika 2014 juga menunjukkan bahwa ketika para guru stres atau tidak sepenuhnya terlibat dalam pekerjaan mereka, siswa merasakan dampaknya. Tingkat keterlibatan guru secara langsung berkaitan dengan siswa mereka —dan demikian juga hasil pencapaian siswa. “Guru yang tidak terlibat cenderung tidak membawa energi, wawasan, dan ketahanan yang dibutuhkan pengajaran yang efektif di kelas. Guru cenderung tidak membangun hubungan yang positif dan peduli dengan siswa mereka yang membentuk inti emosional dari proses pembelajaran.”

Pada 2013, The Washington Post, melaporkan Survei MetLife terbaru dari American Teacher, bahwa kepuasan guru telah cenderung menurun selama beberapa waktu. Pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kepuasan guru telah turun 23 poin persentase sejak 2008. Hanya 39% yang melaporkan “sangat puas”, tingkat terendah yang terlihat dalam 25 tahun, di mana anggaran menurun dalam 12 bulan terakhir. Yang menarik, guru yang kurang puas malah lebih mungkin berada di sekolah daripada guru “sangat puas”. Survei itu juga mengungkapkan ambivalensi tentang reformasi sekolah — hanya 17 persen guru yakin bahwa Standar Inti Negara Umum akan meningkatkan prestasi siswa.

Laporan MetLife, Tantangan untuk Kepemimpinan Sekolah, juga mencatat bahwa sembilan dari 10 kepala sekolah percaya bahwa mereka harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada anak-anak di sekolah. Tiga perempat kepala sekolah mengatakan bahwa mereka merasa pekerjaan itu “menjadi terlalu rumit,” dan tujuh dari 10 kepala sekolah mengatakan tanggung jawab pekerjaan mereka berbeda dibandingkan lima tahun sebelumnya. Akibatnya, kepuasan kerja menurun sembilan poin persentase dalam waktu kurang dari lima tahun, dari 68 persen menjadi 59 persen merasa “sangat puas.” Setengah dari kepala sekolah melaporkan merasa stres beberapa hari dalam seminggu.

Gallup’s State of America's Schools Tahun 2014, dalam laporannya menyebutkan survei 2012 terhadap 600.000 siswa di kelas 5-12, bertanya tentang perasaan harapan, keterlibatan, dan kesejahteraan mereka di sekolah mereka. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa Empat puluh lima persen siswa mengatakan mereka tidak merasa terlibat, dan tingkat pelepasan diri meningkat dengan tingkat kelas. Guru memiliki pengaruh terbesar pada keterlibatan siswa. Siswa memiliki setidaknya satu guru yang membuat mereka bersemangat tentang masa depan mereka, atau bahwa sekolah berkomitmen untuk kemampuan setiap siswa, 30 kali lebih mungkin untuk terlibat dalam pekerjaan sekolah mereka.

Brandon Busteed, Direktur Eksekutif Gallup Education, yang membahas temuan tersebut, mengatakan kepada Education Week bahwa hubungan antara guru dan siswa harus efektif. Kepemimpinan yang tepat dan keterlibatan guru dan siswa adalah satu ekosistem yang sangat penting. Setiap mata rantai yang rusak di rantai itu, berarti merusak pentingnya sekolah secara keseluruhan.

Masalah Pokok Yang Diderita Guru Indonesia

Data Kemendikbud menyebutkan ada sekitar 737 ribu guru yang statusnya sebagai guru tidak tetap di sekolah negeri. Angka tersebut belum termasuk guru agama yang berwenang di Kementerian Agama, sehingga secara keseluruhan diperkirakan jumlah guru yang tidak tetap sekitar 840 ribu guru.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy (Antara, Sabtu 25/11/2017) menegaskan seluruh pihak baik kementerian terkait maupun pemerintah daerah harus duduk bersama untuk mengambil kebijakan terkait permasalahan guru seperti rekrutmen, distribusi yang belum merata serta kesejahteraan guru. Kementerian Keuangan berkaitan dengan masalah anggaran. Demikian pula Kementerian Dalam Negeri seyogianya dapat menjembatani kewenangan provinsi, kabupaten, dan kota dalam otonomi daerah terkait dengan fungsi pendidikan.

Indonesia masih kekurangan guru meski tidak banyak, khususnya untuk sekolah negeri yang statusnya beragam, mulai dari PNS, bersertifikat profesi, hingga berstatus honorer. Perlu adanya peran pemerintah daerah untuk ikut serta melakukan redistribusi guru, meningkatkan kesejahteraan guru yang masih di bawah standar minimun. Perlunya tata kelola guru yang menyeluruh, mengingat sudah sekitar tujuh tahun tidak melakukan penerimaan guru secara reguler. Untuk kepastian posisi apakah sebagai PNS atau aparat sipil negara itu harus ditelaah bersama-sama, seperti yang kita tahu dengan adanya otonomi daerah pendidikan itu wewenang pemerintah kabupaten dan kota. Beberapa kementerian memiliki peran vital terkait kejelasan status maupun kesejahteraan guru. Kementerian PAN-RB misalnya disebut Muhadjir mengetahui persis jumlah guru yang dapat direkrut pemerintah.

Tunjangan profesi guru mulai dari guru yang tersertifikasi, hingga tunjangan khusus bagi guru yang mengabdi di daerah khusus akan diberi perhatian. Banyak skema tunjangan pada guru, ada tunjangan profesi untuk guru yang sudah dapat sertifikat profesi, ada tunjangan kemahalan untuk guru yang mengajar di tempat khusus, dan tunjangan khusus lain. Pendapatan tidak merata di kalangan guru, ada guru sudah mendapat tunjangan tapi ada guru yang status honorer. Maka ini perlu ditata mengenai pembebanan guru yang pendapatannya berbeda itu.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan, dalam rangka memperingati Hari Guru Sedunia 2015, mencatat ada beberapa faktor yang jadi penyebab masalah pendidikan. ICW menemukan fakta bahwa guru kerap dijadikan objek kepentingan politik di daerah. Di beberapa daerah seperti Kabupaten Pandeglang, Banten, jabatan guru dijadikan sebagai "pembuangan" bagi pegawai negeri yang tidak mendukung pemenangan pemilihan.

Ade Irawan, salah satu penggerak koalisi mengatakan, setidaknya ada enam masalah pokok yang berkaitan dengan guru, di antaranya adalah rekrutmen guru, distribusi guru yang tidak merata, politisasi guru, pengembangan karier guru, status guru dan kesejahteraannya.

Jimmy Paat, pegiat Koalisi Pendidikan, aktivis Indonesia Corruption Watch dan pengajar di salah satu LPTK Universitas Negeri Jakarta, perguruan tinggi yang berwenang mendidik calon guru dan guru professional, menyoroti persoalan yang terjadi pada rekrutmen guru di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Pemerintah harus mengontrol kualitas dan jumlah lulusan LPTK negeri maupun swasta agar calon guru memiliki kompetensi yang cakap. Carut marut dalam mekanisme rekrutmen guru, secara perlahan telah membentuk kastanisasi dalam guru. Bagi para siswa terbaik, 417 LPTK di Indonesia belum menjadi pilihan utama, hanya dijadikan cadangan ketika mereka tidak diterima di perguruan tinggi favorit. Jadi, yang masuk ke LPTK bukan siswa terbaik, tapi siswa ke tiga atau empat. Walau secara umum kewajiban guru PNS dan guru honor di sekolah sama, tetapi haknya berbeda. Belum ada kebijakan maupun mekanisme yang menggambarkan dengan jelas tahapan karier guru. Guru bersatus pegawai negeri sipil memperoleh ruang yang lebih besar untuk mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan. Hal ini berbanding terbalik dengan guru honorer atau guru swasta.

Suparman, salah satu guru SMA 17 Jakarta, mengatakan, saat ini kondisi guru minim pelatihan. Sementara berbagai seminar maupun pelatihan dilakukan melalui kampanye terselubung menjelang momen pemilihan kepala daerah. Di sisi ini, guru mudah dimanfaatkan sebagai mesin politik calon kepala daerah. Guru perlu membangun kekuatan politiknya sendiri untuk mengkonter politisasi yang dilakukan para politisi terhadap guru.

Parel SM Naibaho, pendiri Sekolah Biru Bangsa di Jakarta, mengatakan, diskriminasi guru mulai dari PNS, guru honorer, guru bantu, instruktur maupun guru sukarelawan, secara masiv telah terjadi di Pendidikan Infromal dan Non Formal. Kastanisasi yang bukan hanya dikalangan Guru itu juga mejadi penghambat perkembangan Pendidikan Indonesia melalui komunitas masyarakat Pendidikan. Jangankan sertifikasi, tunjangan atau bantuan bagi guru hampr tidak pernah diberikan pemerintah. Niat baik komunitas Pendidikan untuk menggerakkan literasi ditengah-tengah sering tidak diperhatikan. Bantuan dana program kegiatan Pendidikan Masyarakat sulit diperoleh karena alasan administrasi, sementara disisi lain para pejabat teknis mendapatkan insentif dari pengawasan mereka atas kegiatan pemberdayaan yang dilakukan komunitas Pendidikan Masyarakat. Pengurus Lembaga Pendidikan dan Guru sering kebingungan mendanai operasional dan administrasi setiap kegiatan formal Pemerintah terkait Pendidikan.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rasyidi, (Jumat, 24/11/2017) mengatakan PGRI sepakat bahwa kesejahteraan guru masih banyak masalah, terutama soal kesejahteraan sekitar satu juta guru yang hidup di bawah standar sejahtera. Hingga saat ini, cita-cita PGRI belum terlaksana baik itu profesionalisme, kesejahteraan dan perlindungan terhadap guru. Dari data dapodik guru PNS dan yayasan ada sekitar 53,4%, sisanya guru honorer. Upaya pemerintah dengan mengangkat sekitar 250 ribu guru honorer menjadi CPNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) setidaknya menunjukkan adanya kemajuan atas kekurangan satu juta guru. Diminta agar mengutamakan para guru honorer yg memenuhi kualifikasi dan kompetensi. Harus terbuka, diberi kesempatan kepada mereka yang sudah terdata dengan baik. Dengan begitu kedepankan profesionalisme, kompetensi, dan di sisi lain kita menghargai para guru yang telah lama mengabdi. Terkait kualitas guru, PGRI mendorong adanya perubahan pola pikir para guru untuk terus belajar. Namun tak hanya guru, tetapi juga pemangku kepentingan pusat dan daerah harus berubah. Pola pikirnya bagaimana cara melihat guru, tidak sebagai objek tapi perlindungan. Perlindungan terhadap guru sangat penting diadakan di sekolah, karena kekerasan bisa saja terjadi tidak hanya pada siswa namun juga guru.

Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat Burhasman Bur di Padang terus mengupayakan kesejahteraan guru yang harus diperjuangkan, tenaga honorer agar diangkat menjadi PNS. Sayangnya hal ini masih terkendala Peraturan Presiden nomor 48 tahun 2005. Dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 itu dinyatakan pemerintah provinsi dilarang mengangkat tenaga honorer menjadi PNS. Pemerintah Provinsi Sumbar akan terus meninjau peluang pengangkatan itu pada 2018 yang kabarnya dibuka oleh pusat. Untuk sementara ini gaji guru honorer tetap dibayar setelah kewenangan tingkat SMA pindah dari kabupaten/ kota ke provinsi pada awal 2017. Tenaga guru honorer ini sangat dibutuhkan, apalagi saat ini jumlah guru SMA sederajat banyak kekurangan. Saat ini Sumbar kekurangan guru SMA dan SMK sederajat sebanyak 6.000 tenaga pendidik. Kekurangan tersebut ditutupi oleh tenaga honorer tanpa kesejahteraan memadai. Jumlah guru tingkat SMA sederajat yang berstatus sebagai PNS di Sumbar sebanyak 13.535 orang. Angka tersebut dinilai tidak mencukupi untuk tenaga pendidik di sekolah. Kekurangan tersebut dikarenakan tidak adanya penambahan guru dan banyaknya tenaga pendidik yang sudah pensiun. Terhitung sejak Januari hingga Agustus tahun ini, terdapat 500 guru yang pensiun. Data sementara menunjukkan jumlah guru honorer dan pegawai tidak tetap yang beralih kewenangannya ke provinsi pada awal 2017 sebanyak 2.064 orang.

Karsono, anggota Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah di Semarang juga menyoroti kesejahteraan guru. Tidak hanya guru honorer di berbagai sekolah namun juga guru sekolah swasta yang masih perlu ditingkatkan kesejahteraannya. Semua guru di Jateng harus mendapatkan penghasilan pantas dan memadai yang meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi dan atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Guru di semua tingkatan sekolah merupakan ujung tombak dari pendidikan dan keberlangsungan roda pembelajaran. Khawatirnya, rendahnya kesejahteraan guru memengaruhi kualitas pendidikan. Diharapkan Pemprov Jateng juga dapat memberikan perhatian terhadap kesejahteraan guru swasta dan honorer. Harapan itu disampaikan karena banyaknya aspirasi masyarakat mengenai belum maksimalnya insentif gaji pengajar guru sekolah swasta dan guru honorer. Sebaiknya tidak ada kesenjangan antara guru swasta dan negeri karena mereka sama-sama pengajar. Kami berharap pemerintah juga memberikan kesejahteraan guru swasta hingga mencapai gaji dengan taraf ideal. Pelimpahan kewenangan sekolah menengah dan kejuruan dari kabupaten/kota ke tingkat provinsi diharapkan bisa berjalan secara optimal sebagaimana dikelola oleh kabupaten/kota.

Guru Bisa Terjebak Kriminalitas

Ferdinand Andi Lolo, Kriminolog Universitas Indonesia (Selasa, 8/8/2017) mengatakan, saat ini tingkat kesejahteraan guru memang belum merata. Kemungkinan hanya guru sekolah internasional saja yang tingkat kesejahteraannya sudah baik. Ini karena desakan ekonomi dan salah satu barang berharga yang bisa diagunkan ya sertifikasi sehingga mereka nekat berbuat demikian. Ketika desakan ekonomi meningkat kemudian tidak ada sumber penghasilan lain sehingga meminjam uang ke bank dengan agunan surat berharga menjadi pilihan ril untuk mereka. Mereka beranggapan menggadaikan surat ke bank menjadi paling mudah dilakukan dan cepat mendapatkan uangnya. Disisi lain pihak bank kurang tingkat kewaspadaannya. Kelengahan bank terjadi karena melihat hal itu (penggadaian sertifikasi) dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, sebagai sesuatu yang biasa. Untuk mengatasi masalah kesejahteraan guru perlu kerjasama banyak pihak, termasuk Dinas Pendidikan yang menaungi guru pegawan negeri sipil serta Kementrian Keuangan. Guru itu contoh bagi muridnya. Kalau mereka saja berbuat demikian bagaimana bisa memberikan contoh baik?

Bagaimana kondisi kehidupan dan psikologi Guru di Indonesia? Bagaimana kondisi Administrator? Bila Stres dan kegelisahan melanda, maka siswa lah yang menjadi korban. Generasi Penerus harus dikawal. Bapak Ibu Guru dan Tenaga Kependidikan, tetaplah semangat. Semoga perhatian diarahkan kepadamu.

SUMBER :

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat