Deputi
Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan dalam
seminar nasional dengan tema” Manajemen Pendidikan menghadapi Isu-isu Kritis
Pendidikan” di Gedung Ki Hajar Dewantara Universitas Negeri Jakarta (UNJ),
Sabtu (22/4/2017) mengungkap, bahwa institusi pendidikan yang seharusnya bisa
menjadi benteng dalam memerangi korupsi, justru malah terlibat dalam praktik
korupsi. Mulai dari oknum kepala dinas, anggota DPR/DPRD, pejabat kementerian,
guru, kepala sekolah, dosen, dan rektor pun ikut terseret dalam kasus korupsi.
Dinas pendidikan menjadi lembaga yang
rentan korupsi, disusul sekolah, universitas, pemkab/pemkot dan pemerintah
provinsi.
Terhitung
semenjak tahun 2005 sampai 2016 ada sekitar 425 kasus korupsi. Sebanyak 214
kasus korupsi pendidikan terjadi di dinas pendidikan. Objek korupsi pendidikan
berupa Dana Alokasi Khusus (DAK), sarana dan prasarana sekolah, dana BOS hingga
infrastruktur sekolah serta dana buku. Dari total anggaran pendidikan pada
tahun 2016 sebesar Rp 424,7 triliun, sebesar 33,8 persen dikelola oleh
Pemerintah pusat dan 64,9 persen dikelola oleh lembaga pendidikan
daerah-daerah.
Korupsi di
Dinas pendidikan menjadi masuk akal karena sebagian anggaran pendidikan
dikelola oleh Dinas Pendidikan Daerah. Peluang penyelewengan dana pendidikan
itu terutama dalam alokasi dana rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana
sekolah serta dana operasional sekolah. Temuan tersebut dipaparkan oleh Febri
Hendri, Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW) saat menyoal Evaluasi
Kinerja Departemen Pendidikan Nasional Periode 2004 - 2009 di Jakarta, Rabu
(9/9/09). Selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142
kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar. Kebocoran
dana pendidikan yang paling besar terjadi dalam pengadaan gedung dan sarana
prasarana sekolah. Hal itu disebabkan karena besarnya dana yang digunakan untuk
pengadaannya, banyaknya aktor yang terlibat dalam pengelolaannya, serta
banyaknya celah korupsi dalam pengelolaan dana tersebut. Febri menyebutkan,
berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan diketahui bahwa enam dari sepuluh
sekolah menyimpangkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Rata-rata penyimpangan
itu senilai Rp 13,7 juta.
BADAN
Pemeriksa Keuangan RI menemukan masalah dalam pengelolaan dana ujian nasional.
Ditemukan potensi kerugian negara mencapai belasan miliar rupiah dalam
penyelenggaraan UN tahun 2012 dan 2013 (Kompas, 20/9/2013). Berdasarkan
pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama periode 2003-2013 ditemukan
296 kasus korupsi pendidikan yang disidik penegak hukum dan menyeret 479 orang
sebagai tersangka dengan kerugian negara atas seluruh kasus ini Rp 619,0 miliar
(Laporan Kajian Satu Dasawarsa Korupsi Pendidikan, ICW 2013).
Dana alokasi
khusus (DAK) yang dialokasikan untuk membangun dan merehabilitasi sekolah
paling banyak dikorupsi. Dana BOS juga banyak dikorupsi, tetapi kerugian
relatif lebih kecil dibandingkan dana pendidikan lain. Pelaku berasal dari
pejabat Kemdikbud, anggota DPR, dan pengusaha nasional. Modusnya dengan
pengawalan sejak program diajukan Kemdikbud kepada DPR, penetapan anggaran,
hingga pengadaan. Penggelapan dan mark up merupakan modus paling banyak terjadi.
Penggelapan dan mark up banyak digunakan untuk menyelewengkan DAK pendidikan
dan dana BOS. Modus yang terbaru adalah penyuapan dan penyalahgunaan wewenang
terkait dengan perencanaan pendidikan. Modus ini terjadi dalam perencanaan dan
penganggaran pengadaan beberapa laboratorium di PT yang dilakukan anggota DPR
(AS). Modus ini tergolong kejahatan terorganisasi oleh pejabat yang memiliki
kewenangan dalam perencanaan dan penganggaran di sektor pendidikan. Pejabat ini
biasanya ada di Kemdikbud, Kementerian Keuangan, dan DPR atau pemda. Hampir semua institusi pendidikan dan semua
jenjang satuan pendidikan melakukan praktik korupsi. Perguruan tinggi maupun sekolah
juga menjadi pelaku korupsi dengan kerugian negara yang besar.
Senin
(12/6/2017) penyidik pidana khusus Kejati Banten menahan Agustinus, Kabag
Pembendaharaan dan Pembiayaan pada Biro Keuangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (KEMENDIKBUD) RI dan Kamaludin.
Mereka berdua tersangka atas kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos)
tahun 2014 senilai Rp 26,925 miliar. Kasi Penkum Kejati Banten, Holil Hadi
mengatakan, dalam dana bansos ini terdapat 1.474 lembaga pendidikan yang
terdiri dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), lembaga kursus dan pondok
pesantren di Provinsi Banten menerima bantuan. Dalam penyaluran dana bansos sekitar
Rp 15 juta hingga Rp 20 juta tersebut terdapat dugaan tindak pidana berupa
pemotongan dana bansos sebesar 50 persen. Pemotongan dana bansos diduga
dilakukan oleh koordinator wilayah (korwil) FS dan FI. Oleh korwil, dana pemotongan tersebut
diserahkan kepada koordinator lapangan (korlap) AL, AP dan RM. Oleh korlap dana
pemotongan tersebut diserahkan kepada Fajar (alm) dan tersangka Kamaludin. Dugaan
sementara kerugian negara Rp 1 miliar lebih.
Bupati Sabu
Raijua, Nusa Tenggara Timur, Marthen Dira Tome terpaksa harus menjalani
persidangan di Pengadilan TIPIKOR Surabaya, Senin (3/4/17) berdasarkan Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 32/KMA/SK/II/2017, tertanggal 3
februari 2017. Marthen didakwa penuntut KPK bahwa perbuatan terdakwa melawan
hukum dan penyalahgunaan wewenang dalam pengalokasian dana PLS Dikbud Provinsi
NTT anggaran APBN senilai Rp 77,6 miliar pada Tahun 2007. Kala itu, dia
menjabat sebagai Kepala Subdinas PLS pada Dikbud Provinsi NTT dan pejabat
pembuat komitmen (PPK), yang mengalihkan penyalurkan dana kegiatan PLS dan
menggeluarkan anggaran melalui Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FKTLD)
Provinsi NTT. Perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara senilai Rp 4,2
miliar. Dalam surat dakwaan itu, KPK juga menyebut tiga orang lainnya yang
terlibat dalam kasus itu yakni Thobias Uly, Jhon Agustinus Radja Pono dan Basa
Alim Tualeka.
Penyidik
Direktorat TIPIDKOR BARESKRIM Polri menjadwalkan pemeriksaan terhadap Gubernur
Papua Lukas Enembe pada Selasa (22/8/17). Lukas akan dimintai keterangannya
sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penggunaan
anggaran pendidikan berupa beasiswa untuk mahasiswa Papua tahun anggaran 2016. Penyelidikan
yang dimulai sejak 16 Agustus 2017 terkait dugaan korupsi penggunaan anggaran
pendidikan di Papua itu berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor
Sprin.Lidik/73/VIII/2017/Tipidkor.
KEJATI Jateng
resmi menetapkan sejumlah tersangka kasus korupsi dana alokasi pendidikakn
(DAK)dari pejabat dinas pendidikan di sejumlah kabupaten di Jateng, meliputi
kasus korupsi di Batang, Demak, Brebes, Blora dan Banjarnegara. Dua orang
tersangka yakni YW dan ST. YW selaku Kabag Umum Dinas Pendidikan Batang dan ST
selaku salah satu Kabid Dinas Pendidikan Batang yang bertindak sebagai Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) tersangkut dalam proyek DAK 2010. Dari Dinas Pendidikan
Demak, tersangka KH selaku Kabid Dinas Pendidikan Demak dan PPK dalam proyek
DAK. Dari Dinas Pendidikan Brebes ada dua orang yang diduga kuat telah
menyalahhgunakan DAK bidang pendidikan alokasi pengadaan buku ajar ditingkat
sekolah dasar dan menengah. BBK merupakan Kabid di Dinas Pendidikan Brebes
sekaligus PPK dan tersangka NBI selaku Direktur CV Delta Mas. Selain itu
tersangka DDS Kepala Dinas Pendidikan Rembang dan BJ Sekretaris Dinas
Pendidikan Rembang.
Asisten
Tindak Pidana Khusus Kejati Jateng, Wilhelmus Lingitubun mengatakan bahwa modusnya
itu hampir sama adalah penyelewengan DAK bidang pendidikan, yang peruntukannya
untuk pengadaan alat peraga, sarana dan prasranana dan pengadaan buku ajar
sekolah. Sebelum
penyidikan DAK ini, penyidik telah menetapkan menahan dua tersangka kasus
dugaan korupsi dana DAK di Banjarnegara, yaitu Mantan Kepala Dinas Pendidikan
dan Olah Raga (Kadispora) Kabupaten Banjarnegara Winarso Wiwit Sukistyo dan
Zunus Rosyadi selaku koordinator Unit Lelang Pengadaan (ULP). Kejati juga telah
menyeret kemuka Pengadilan TIndak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, pejabat
Dinas Pendidikan Kabupaten Banjarnegara, Agus Sutikno dan Direktur CV Wahana
Mulia Bersama. Selain itu ada tersangka AN yang telah dinyatakan masuk dalam
Daftar Pencarian Orang (DPO). Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Jawa Tengah menyatakan ada kebocoran dana sebesar Rp 2 miliar.
Ada beberapa
alasan mengapa anggaran pendidikan rawan dikorupsi.
Pertama, anggaran
pendidikan anggaran paling besar di antara anggaran sektor lain. Besarnya
anggaran pendidikan membuat korupsi pendidikan sulit dideteksi karena, meski
dikorupsi, anggaran tersebut masih tetap bisa membiayai berbagai program
pendidikan. Tata kelola pendidikan terutama terkait anggaran belum paripurna.
Hampir semua program pendidikan, mulai dari tingkat pusat sampai sekolah dan PT,
minim partisipasi publik.
Kedua, Kebijakan
dan regulasi pendidikan masih belum memandang penting partisipasi pemangku
kepentingan dalam penyusunan program dan penganggaran serta pengelolaan dana
pendidikan (Indonesia Corruption Education Outlook 2013, ICW). Program
pendidikan pemerintah pusat umumnya hanya mengandalkan pengajuan kebutuhan yang
disampaikan dinas pendidikan daerah serta data statistik yang dikeluarkan
lembaga tertentu seperti BPS dan Bank Dunia. Akibatnya program pendidikan
melenceng dari prioritas pendidikan dan tak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan
riil peserta didik di berbagai jenjang satuan pendidikan. Program serta dana
pendidikan justru diarahkan untuk memenuhi kepentingan politik dan perburuan
rente oleh mereka yang dekat dengan pemegang otoritas pendidikan. Kasus
pengadaan laboratorium PT membuktikan indikasi ‘mengada-adakan’ program atau
menyisipkan kepentingan dalam berbagai program.
Semua proses ini dilakukan
secara tertutup di kalangan pemegang otoritas kebijakan dan anggaran. Selain
perencanaan dan penganggaran, tata kelola dalam pengelolaan anggaran pendidikan
juga sangat buruk. Hal ini terbukti dengan masih banyak ditemui praktik
pengadaan barang dan jasa, belanja operasional birokrasi ataupun pengelolaan
aset pendidikan yang tak transparan dan akuntabel. Kesulitan publik mengakses
seluruh bukti dan laporan pertanggungjawaban memudahkan pejabat dan kelompok
kejahatan terorganisasinya menyelewengkan dana pendidikan.
Ketiga,
tingginya biaya politik telah mengarahkan politisi yang bekerja sama dengan
pejabat pendidikan dan pengusaha membentuk kelompok kejahatan terorganisasi
menyelewengkan dana pendidikan. Untuk menjadi pemangku jabatan, seseorang harus
menyetor, mengeluarkan biaya, menyumbang kepada parpol, Kepala daerah, pejabat
dinas pendidikan, hingga kepala sekolah. Semua biaya untuk mendapatkan
kekuasaan dan jabatan ini jadi alasan mereka korupsi saat menjabat agar bisa
mengembalikan dana yang digunakan untuk membeli jabatan dan kekuasaan dan
menumpuk kekayaan. Semua gambaran itu menunjukkan korupsi telah berlangsung
sistematis dan luas dalam pengelolaan anggaran pendidikan.
Mirisnya, praktik korupsi masih banyak yang lolos dari jeratan hukum karena lemahnya sistem
pencegahan, tidak teraudit atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Sistem
integritas dan pencegahan korupsi belum sepenuhnya efektif mencegah
penyelewengan anggaran pendidikan. Walau BPK telah beberapa kali memberikan
opini disclaimer atas laporan keuangan Kemdikbud, tampaknya hanya berlaku bagi
peserta didik, tetapi tidak bagi pejabat yang mengurusi pendidikan. Faktanya, perilaku korup di dunia
pendidikan yang melibatkan mulai dari pembuat kebijakan hingga institusi
pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi masih berkarat di negeri ini. Upaya
melawan korupsi harus mampu mendorong proses penganggaran lebih partisipatif
dan terbuka. Sehingga publik bisa turut mengawasi, memperbaiki tata kelola di
kementerian, dinas, kanwil, dan institusi penyelenggara pendidikan dan
memperkuat pengawasan internal maupun eksternal.
Penyelewengan dana pendidikan
bisa menghambat upaya untuk mempercepat kemajuan pendidikan di Tanah Air.
Kebocoran anggaran ataupun korupsi pendidikan sehingga berkurangnya anggaran
dan dana pendidikan, akan merusak mental birokrasi pendidikan, meningkatkan
beban biaya yang harus ditanggung masyarakat, dan turunnya kualitas layanan
pendidikan. Bahkan, dalam beberapa kasus, korupsi pendidikan telah membahayakan
nyawa peserta didik dalam bentuk ambruknya gedung sekolah. Sebaiknya Pejabat
seperti Mendiknas tidak bisa dari parpol karena punya kepentingan tertentu.
Mestinya yang independen, bebas korupsi, dan memahami betul persoalan dan
perbaikan pendidikan nasional.
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan