KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Sunday 1 April 2018

Terungkap! Korupsi Pendidikan Urutan Teratas Gara-gara Ini

Posted by   on Pinterest

Deputi Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan dalam seminar nasional dengan tema” Manajemen Pendidikan menghadapi Isu-isu Kritis Pendidikan” di Gedung Ki Hajar Dewantara Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Sabtu (22/4/2017) mengungkap, bahwa institusi pendidikan yang seharusnya bisa menjadi benteng dalam memerangi korupsi, justru malah terlibat dalam praktik korupsi. Mulai dari oknum kepala dinas, anggota DPR/DPRD, pejabat kementerian, guru, kepala sekolah, dosen, dan rektor pun ikut terseret dalam kasus korupsi. Dinas pendidikan  menjadi lembaga yang rentan korupsi, disusul sekolah, universitas, pemkab/pemkot dan pemerintah provinsi.

Terhitung semenjak tahun 2005 sampai 2016 ada sekitar 425 kasus korupsi. Sebanyak 214 kasus korupsi pendidikan terjadi di dinas pendidikan. Objek korupsi pendidikan berupa Dana Alokasi Khusus (DAK), sarana dan prasarana sekolah, dana BOS hingga infrastruktur sekolah serta dana buku. Dari total anggaran pendidikan pada tahun 2016 sebesar Rp 424,7 triliun, sebesar 33,8 persen dikelola oleh Pemerintah pusat dan 64,9 persen dikelola oleh lembaga pendidikan daerah-daerah.

Korupsi di Dinas pendidikan menjadi masuk akal karena sebagian anggaran pendidikan dikelola oleh Dinas Pendidikan Daerah. Peluang penyelewengan dana pendidikan itu terutama dalam alokasi dana rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah serta dana operasional sekolah. Temuan tersebut dipaparkan oleh Febri Hendri, Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW) saat menyoal Evaluasi Kinerja Departemen Pendidikan Nasional Periode 2004 - 2009 di Jakarta, Rabu (9/9/09). Selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar. Kebocoran dana pendidikan yang paling besar terjadi dalam pengadaan gedung dan sarana prasarana sekolah. Hal itu disebabkan karena besarnya dana yang digunakan untuk pengadaannya, banyaknya aktor yang terlibat dalam pengelolaannya, serta banyaknya celah korupsi dalam pengelolaan dana tersebut. Febri menyebutkan, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan diketahui bahwa enam dari sepuluh sekolah menyimpangkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Rata-rata penyimpangan itu senilai Rp 13,7 juta.

BADAN Pemeriksa Keuangan RI menemukan masalah dalam pengelolaan dana ujian nasional. Ditemukan potensi kerugian negara mencapai belasan miliar rupiah dalam penyelenggaraan UN tahun 2012 dan 2013 (Kompas, 20/9/2013). Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama periode 2003-2013 ditemukan 296 kasus korupsi pendidikan yang disidik penegak hukum dan menyeret 479 orang sebagai tersangka dengan kerugian negara atas seluruh kasus ini Rp 619,0 miliar (Laporan Kajian Satu Dasawarsa Korupsi Pendidikan, ICW 2013).

Dana alokasi khusus (DAK) yang dialokasikan untuk membangun dan merehabilitasi sekolah paling banyak dikorupsi. Dana BOS juga banyak dikorupsi, tetapi kerugian relatif lebih kecil dibandingkan dana pendidikan lain. Pelaku berasal dari pejabat Kemdikbud, anggota DPR, dan pengusaha nasional. Modusnya dengan pengawalan sejak program diajukan Kemdikbud kepada DPR, penetapan anggaran, hingga pengadaan. Penggelapan dan mark up merupakan modus paling banyak terjadi. Penggelapan dan mark up banyak digunakan untuk menyelewengkan DAK pendidikan dan dana BOS. Modus yang terbaru adalah penyuapan dan penyalahgunaan wewenang terkait dengan perencanaan pendidikan. Modus ini terjadi dalam perencanaan dan penganggaran pengadaan beberapa laboratorium di PT yang dilakukan anggota DPR (AS). Modus ini tergolong kejahatan terorganisasi oleh pejabat yang memiliki kewenangan dalam perencanaan dan penganggaran di sektor pendidikan. Pejabat ini biasanya ada di Kemdikbud, Kementerian Keuangan, dan DPR atau pemda.  Hampir semua institusi pendidikan dan semua jenjang satuan pendidikan melakukan praktik korupsi. Perguruan tinggi maupun sekolah juga menjadi pelaku korupsi dengan kerugian negara yang besar.

Senin (12/6/2017) penyidik pidana khusus Kejati Banten menahan Agustinus, Kabag Pembendaharaan dan Pembiayaan pada Biro Keuangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) RI dan Kamaludin. Mereka berdua tersangka atas kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) tahun 2014 senilai Rp 26,925 miliar. Kasi Penkum Kejati Banten, Holil Hadi mengatakan, dalam dana bansos ini terdapat 1.474 lembaga pendidikan yang terdiri dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), lembaga kursus dan pondok pesantren di Provinsi Banten menerima bantuan. Dalam penyaluran dana bansos sekitar Rp 15 juta hingga Rp 20 juta tersebut terdapat dugaan tindak pidana berupa pemotongan dana bansos sebesar 50 persen. Pemotongan dana bansos diduga dilakukan oleh koordinator wilayah (korwil) FS dan FI.  Oleh korwil, dana pemotongan tersebut diserahkan kepada koordinator lapangan (korlap) AL, AP dan RM. Oleh korlap dana pemotongan tersebut diserahkan kepada Fajar (alm) dan tersangka Kamaludin. Dugaan sementara kerugian negara Rp 1 miliar lebih.

Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Marthen Dira Tome terpaksa harus menjalani persidangan di Pengadilan TIPIKOR Surabaya, Senin (3/4/17) berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 32/KMA/SK/II/2017, tertanggal 3 februari 2017. Marthen didakwa penuntut KPK bahwa perbuatan terdakwa melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang dalam pengalokasian dana PLS Dikbud Provinsi NTT anggaran APBN senilai Rp 77,6 miliar pada Tahun 2007. Kala itu, dia menjabat sebagai Kepala Subdinas PLS pada Dikbud Provinsi NTT dan pejabat pembuat komitmen (PPK), yang mengalihkan penyalurkan dana kegiatan PLS dan menggeluarkan anggaran melalui Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FKTLD) Provinsi NTT. Perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara senilai Rp 4,2 miliar. Dalam surat dakwaan itu, KPK juga menyebut tiga orang lainnya yang terlibat dalam kasus itu yakni Thobias Uly, Jhon Agustinus Radja Pono dan Basa Alim Tualeka.

Penyidik Direktorat TIPIDKOR BARESKRIM Polri menjadwalkan pemeriksaan terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe pada Selasa (22/8/17). Lukas akan dimintai keterangannya sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penggunaan anggaran pendidikan berupa beasiswa untuk mahasiswa Papua tahun anggaran 2016. Penyelidikan yang dimulai sejak 16 Agustus 2017 terkait dugaan korupsi penggunaan anggaran pendidikan di Papua itu berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor Sprin.Lidik/73/VIII/2017/Tipidkor.
KEJATI Jateng resmi menetapkan sejumlah tersangka kasus korupsi dana alokasi pendidikakn (DAK)dari pejabat dinas pendidikan di sejumlah kabupaten di Jateng, meliputi kasus korupsi di Batang, Demak, Brebes, Blora dan Banjarnegara. Dua orang tersangka yakni YW dan ST. YW selaku Kabag Umum Dinas Pendidikan Batang dan ST selaku salah satu Kabid Dinas Pendidikan Batang yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tersangkut dalam proyek DAK 2010. Dari Dinas Pendidikan Demak, tersangka KH selaku Kabid Dinas Pendidikan Demak dan PPK dalam proyek DAK. Dari Dinas Pendidikan Brebes ada dua orang yang diduga kuat telah menyalahhgunakan DAK bidang pendidikan alokasi pengadaan buku ajar ditingkat sekolah dasar dan menengah. BBK merupakan Kabid di Dinas Pendidikan Brebes sekaligus PPK dan tersangka NBI selaku Direktur CV Delta Mas. Selain itu tersangka DDS Kepala Dinas Pendidikan Rembang dan BJ Sekretaris Dinas Pendidikan Rembang.

Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Jateng, Wilhelmus Lingitubun mengatakan bahwa modusnya itu hampir sama adalah penyelewengan DAK bidang pendidikan, yang peruntukannya untuk pengadaan alat peraga, sarana dan prasranana dan pengadaan buku ajar sekolah. Sebelum penyidikan DAK ini, penyidik telah menetapkan menahan dua tersangka kasus dugaan korupsi dana DAK di Banjarnegara, yaitu Mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Olah Raga (Kadispora) Kabupaten Banjarnegara Winarso Wiwit Sukistyo dan Zunus Rosyadi selaku koordinator Unit Lelang Pengadaan (ULP). Kejati juga telah menyeret kemuka Pengadilan TIndak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Banjarnegara, Agus Sutikno dan Direktur CV Wahana Mulia Bersama. Selain itu ada tersangka AN yang telah dinyatakan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Tengah menyatakan ada kebocoran dana sebesar Rp 2 miliar.

Ada beberapa alasan mengapa anggaran pendidikan rawan dikorupsi.
Pertama, anggaran pendidikan anggaran paling besar di antara anggaran sektor lain. Besarnya anggaran pendidikan membuat korupsi pendidikan sulit dideteksi karena, meski dikorupsi, anggaran tersebut masih tetap bisa membiayai berbagai program pendidikan. Tata kelola pendidikan terutama terkait anggaran belum paripurna. Hampir semua program pendidikan, mulai dari tingkat pusat sampai sekolah dan PT, minim partisipasi publik.
Kedua, Kebijakan dan regulasi pendidikan masih belum memandang penting partisipasi pemangku kepentingan dalam penyusunan program dan penganggaran serta pengelolaan dana pendidikan (Indonesia Corruption Education Outlook 2013, ICW). Program pendidikan pemerintah pusat umumnya hanya mengandalkan pengajuan kebutuhan yang disampaikan dinas pendidikan daerah serta data statistik yang dikeluarkan lembaga tertentu seperti BPS dan Bank Dunia. Akibatnya program pendidikan melenceng dari prioritas pendidikan dan tak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan riil peserta didik di berbagai jenjang satuan pendidikan. Program serta dana pendidikan justru diarahkan untuk memenuhi kepentingan politik dan perburuan rente oleh mereka yang dekat dengan pemegang otoritas pendidikan. Kasus pengadaan laboratorium PT membuktikan indikasi ‘mengada-adakan’ program atau menyisipkan kepentingan dalam berbagai program. 
Semua proses ini dilakukan secara tertutup di kalangan pemegang otoritas kebijakan dan anggaran. Selain perencanaan dan penganggaran, tata kelola dalam pengelolaan anggaran pendidikan juga sangat buruk. Hal ini terbukti dengan masih banyak ditemui praktik pengadaan barang dan jasa, belanja operasional birokrasi ataupun pengelolaan aset pendidikan yang tak transparan dan akuntabel. Kesulitan publik mengakses seluruh bukti dan laporan pertanggungjawaban memudahkan pejabat dan kelompok kejahatan terorganisasinya menyelewengkan dana pendidikan.
Ketiga, tingginya biaya politik telah mengarahkan politisi yang bekerja sama dengan pejabat pendidikan dan pengusaha membentuk kelompok kejahatan terorganisasi menyelewengkan dana pendidikan. Untuk menjadi pemangku jabatan, seseorang harus menyetor, mengeluarkan biaya, menyumbang kepada parpol, Kepala daerah, pejabat dinas pendidikan, hingga kepala sekolah. Semua biaya untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan ini jadi alasan mereka korupsi saat menjabat agar bisa mengembalikan dana yang digunakan untuk membeli jabatan dan kekuasaan dan menumpuk kekayaan. Semua gambaran itu menunjukkan korupsi telah berlangsung sistematis dan luas dalam pengelolaan anggaran pendidikan.

Mirisnya, praktik korupsi masih banyak yang lolos dari jeratan hukum karena lemahnya sistem pencegahan, tidak teraudit atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Sistem integritas dan pencegahan korupsi belum sepenuhnya efektif mencegah penyelewengan anggaran pendidikan. Walau BPK telah beberapa kali memberikan opini disclaimer atas laporan keuangan Kemdikbud, tampaknya hanya berlaku bagi peserta didik, tetapi tidak bagi pejabat yang mengurusi pendidikan. Faktanya, perilaku korup di dunia pendidikan yang melibatkan mulai dari pembuat kebijakan hingga institusi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi masih berkarat di negeri ini. Upaya melawan korupsi harus mampu mendorong proses penganggaran lebih partisipatif dan terbuka. Sehingga publik bisa turut mengawasi, memperbaiki tata kelola di kementerian, dinas, kanwil, dan institusi penyelenggara pendidikan dan memperkuat pengawasan internal maupun eksternal. 

Penyelewengan dana pendidikan bisa menghambat upaya untuk mempercepat kemajuan pendidikan di Tanah Air. Kebocoran anggaran ataupun korupsi pendidikan sehingga berkurangnya anggaran dan dana pendidikan, akan merusak mental birokrasi pendidikan, meningkatkan beban biaya yang harus ditanggung masyarakat, dan turunnya kualitas layanan pendidikan. Bahkan, dalam beberapa kasus, korupsi pendidikan telah membahayakan nyawa peserta didik dalam bentuk ambruknya gedung sekolah. Sebaiknya Pejabat seperti Mendiknas tidak bisa dari parpol karena punya kepentingan tertentu. Mestinya yang independen, bebas korupsi, dan memahami betul persoalan dan perbaikan pendidikan nasional.

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat