KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Sunday, 25 February 2018

Sudahkah Negara Hadir Bagi Bocah Jenius Indonesia?

Posted by   on Pinterest


Berbagai Korban UJIAN NASIONAL kita

Beragam perjuangan ditempuh anak-anak bangsa untuk meraih impiannya, tak terkecuali dalam Ujian Nasional. Contohnya siswa di Garut, Jawa Barat, tingkat SMP harus menempuh jarak cukup jauh untuk mengikuti UN SMP. Di Kabupaten Gunungkidul, siswa tak mengikuti Ujian Nasional Berbasis Kompetensi (UNBK) tingkat SMP karena keluar dari sekolah dengan alasan bekerja. Di Kabupaten Blitar ribuan siswa tidak bisa mengikuti Ujian Nasional karena terkendala transportasi untuk menjangkau sekolah lain saat pelaksanaan UNBK April 2018 mendatang. 
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo memutuskan ujian nasional tetap berjalan dengan beberapa penyempurnaan. Ujian nasional ini juga dianggap sebagai ajang untuk siswa bertarung di dunia internasional. Jokowi ingin setiap siswa di Indonesia dapat bersaing tidak hanya tingkat nasional tapi juga hingga ke internasional.
"Presiden betul-betul menginginkan agar siswa kita bukan hanya menjadi petarung pada tingkat lokal saja, tetapi juga bisa bersaing pada tingkat internasional. Maka untuk itu UN tetap dijalankan," kata Pramono di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (19/12/2016). Untuk mencapai target itu, pemerintah akan melakukan serangkaian penambahan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan ujian nasional. 

Sedikitnya, ada delapan alasan yang diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy melatari wacana moratorium atau penghapusan sementara ujian nasional(UN). tersebut. Pertama, menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung Nomor 2596 K/PDT/2008 tanggal 14 September 2008, maka UN dinilai perlu dimoratorium hingga sarana prasarana sekolah merata di seluruh Indonesia. Kedua, sesuai dengan nawacita untuk melakukan evaluasi terhadap model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional. Ketiga, menghindari siswa putus sekolah atau drop-out. Keempat, hasil UN hingga saat ini belum dapat menjadi instrumen peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Kelima, cakupan UN yang luas juga menciptakan kesulitan dalam memperoleh UN yang kredibel dan bebas dari kecurangan. Keenam, UN juga dianggap tak berimplikasi sama dan secara langsung terhadap setiap peserta UN. Ketujuh, UN dinilai belum menjadi alat pemetaan yang tepat. Kedepalan, UN dinilai cenderung membawa proses belajar ke orientasi yang salah. 

Disisi lain, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan siswa yang bermasalah dengan hukum tetap boleh mengikuti Ujian Nasional. Juru Bicara Kemendikbud Ibnu Hamad mengatakan, sekolah wajib mengizinkan siswa mengikuti UN, asalkan dia masih tercatat sebagai siswa dan menyelesaikan persyaratan administratif di sekolah itu. Kata Ibnu, tidak ada syarat khusus bagi siswa untuk dapat mengikuti Ujian Nasional. Seperti diberitakan sebelumnya, siswa SMAN 1 Torjun, Dusun Jrengik, Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang berinisial HI diduga melakukan pemukulan kepada gurunya Ahmad Budi Cahyono (27) sehingga mengakibatkan meninggalnya sang guru. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Saiful Rachman mengungkapkan, siswa yang memukul gurunya hingga tewas tidak akan dikeluarkan dari sekolah. Murid kelas XII itu juga disebutkan memiliki catatan yang buruk di sekolah, catatannya termasuk merah. Anak ini juga sering dipanggil orang tuanya oleh guru BK. Bahkan, yang nersangkutan sudah sering berurusan dengan guru Bimbingan Konseling (BK) atas ulahnya. Bahkan, jika pun nanti proses hukum berjalan, dan yang bersangkutan ditahan, masih bisa mengikuti UNBK dan USBN.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memastikan siswa berkebutuhan khusus tidak akan mengalami kendala ketika mengerjakan ujian nasional (UN). Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Kapuspendik) Kemdikbud, Nizam mengatakan, para siswa tersebut akan difasilitasi sesuai dengan kebutuhannya. 
Siswa yang sedang dalam perawatan di rumah sakit tetap mempunyai hak untuk mengikuti UN sepanjang syarat-syarat sebagai peserta UN terpenuhi. Jika kondisi kesehatannya memungkinkan, siswa mengikuti UN di rumah sakit, dengan koordinasi antara Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, satuan pendidikan pelaksana dan rumah sakit; Jika kondisi kesehatannya tidak memungkinkan mengikuti UN, setelah kondisi kesehatannya memungkinkan, siswa tersebut dapat mengikuti UN susulan sesuai dengan jadwal, di sekolah atau di rumah sakit; Jika kondisi kesehatannya tidak memungkinkan mengikuti UN susulan, maka siswa dapat mengikuti UN perbaikan sesuai jadwal yang ditetapkan. 


Apakah Negara Hadir Di Kalangan Anak Jenius

Masih ingat Diki si Anak Jenius? Karena kecerdasannya di bidang fisika dan matematika di atas rata-rata, ia langsung meloncat ke bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), tanpa harus merasakan bangku SMP. Kecerdasan luar biasa anak ketiga Hanni itu diketahui ibunya sejak Diki masih TK.
"Waktu TK anak saya sudah bisa baca. Bacaanya juga buka ensiklopedi fisika. Selain itu, dia juga sering bertanya pertanyaan-pertanyaan kritis," ujar Hanni saat ditemui di SD Bondongan 2 Kota Bogor , Rabu (6/5/2015).
Kejeniusan Diki terbukti dari nilai tes IQ yang mencapai angka 189 di saat dia masih 9 tahun. Saat di SD Diki sering mengajari teman-temannya, bahkan mengajari anak-anak SMP dan SMA belajar fisika dan matematika. Diki juga telah banyak mengikuti lomba tingkat daerah, nasional, dan internasional. Seperti saat Diki masih duduk di bangku kelas 3 SD, ia meraih medali perunggu pada lomba olimpiade matematika internasional di Beijing. Padalah saat itu, lawan-lawannya adalah anak-anak setingkat SMP. Akhirnya saat memasuki kelas 3 SD, Diki dibawa ibunya ke Singapura selama 6 bulan, dan kembali ke Indonesia. Atas saran seorang professor, Diki masuk di SMA Kesatuan Bogor kelas 1. Tapi karena Diki belum memiliki ijazah SMP, ia harus mengikuti ujian paket B. Langkah ini diambil  untuk mempersiapkan diri menghadapi olimpiade fisika tingkat internasional pada Agustus 2016.
Biasanya, Ujian Nasional (UN) Paket B diikuti oleh siswa peserta di atas umur rata-rata murid siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun Cendikiawan Suryaatmadja atau biasa dipanggil Diki, anak yang masih berusia 10 tahun mengikuti ujian paket B di Bogor, Jawa Barat.  
"Tahun kemarin juga ia sudah ambil ujian paket A untuk ijazah SD-nya, semoga saja ujian dia kali ini lancar," pungkas Hanni kala itu. Kini, di usianya yang baru menginjak 12 tahun Cendikiawan Suryaatmadja, berhasil mendapatkan kesempatan untuk belajar di salah satu universitas ternama di Kanada.

Sudah pasti setiap siswa berhak mengikuti Ujian Nasional (UN) yang di laksanakan pemerintah, namun Dinas Pendidikan Kab. Sidoarjo sempat menolak Pato Sayyaf, siswa kelas 6 SD dalam Ujian Nasional Tahun 2016 untuk mengikuti UN Tingkat SMP. Alsannya, Anak jenius itu Baru berusia 8tahun 2 bulan. Padahal Pato aktif mengikuti Kelas akselerasi dengan rapor yang sudah lengkap dan nilainya tergolong memuaskan, sesuai prosedur. Pato menempuh kelas satu hingga kelas 6 hanya dengan 4,5 tahun, dan selama itu pula Pato selalu mendapat ranking 1. Saat Pato mendaftar untuk UN pada mei 2016 di SDN Tropodo, ternyata Dinas Pendidikan Sidoarjo menolaknya dengan alasan umur. Tidak berani mengambil keputusan, Dinas Pendidikan Sidoarjo menyarankan  agar Pato menjalani tes IQ. Pada tanggal 23 Februari 2016 Pato mengikuti tes IQ di Lembaga Psikotes milik pangkalan TNI AL Surabaya, dan ternyata hasil IQ Pato 136. Tapi Diknas Sidoarjo tetap menolaknya karena umur Pato baru 8 tahun. Padahal untuk IQ di atas 130 sudah di katakan Jenius. Setelah banyak desakan masyarakat dan DPRD Jatim, akhirnya Patto Sayyaf (8) diizinkan mengikuti Ujian Nasional  SD.
Perlu diketahu, bahwa di dalam Peraturan Bersama Antara Menteri Pendidikan dan Menteri Agama Nomor 04/VI/PB/2011 dan Nomor MA/111/2011 dalam Pasal 5 yang mengatakan untuk tingkatan SD/MI, Menteri mengatur jika anak berumur 7 tahun sampai 12 tahun wajib di terima. Dan pada pasal 6 mengatakan bahwa calon siswa baru kelas 7 untuk SMP/MTs boleh di terima dengan usia paling tinggi 18 Tahun.
Patto merupakan salah satu contoh generasi Indonesia yang memiliki masa depan, baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk Indonesia. Ditolak Ikut UN, Anak Jenius dianggap menjadi 'Korban' Sistem Pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia hanya berpihak pada anak-anak yang tingkat kecerdasan intelektual atau intelligence quotient (IQ) rata-rata. Sementara anak-anak dengan IQ di level jenius tak terakomodir.
"Kasihan anak-anak jenius seperti ini. Pemerintah harus memfasilitasi anak-anak jenius. Mereka itu harapan bangsa," kata Ketua Hotline Pendidikan Jawa Timur, Isa Anshori di Surabaya. Isa mendesak pemerintah merevisi Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, Kamis (10/3/2016).


Jika mengacu pada usia, Musa Izzanardi Wijanarko, atau Izzan, 13 tahun, sudah bisa ikut tes Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2016. Anak jenius kelahiran Bandung, 24 Oktober 2002 itu lulus Sekolah Dasar pada 2011, lulus SMP 2013, dan SMA 2016. Izzan belajar penuh di rumah sampai lulus SMA. Ketika Izzan ingin ujian kesetaraan SMP beberapakali ditolak Dinas Pendidikan karena usianya ketika itu 10 tahun. Dengan bantuan beberapa orang, akhirnya Izzan bisa ikut ujian kelulusan di kota lain. Kemudian perlu tiga tahun di tiga propinsi untuk mendapatkan kesempatan ujian setara tamat SMA. Keberatan Dinas Pendidikan menolak ujian kesetaraan, menganggap bahwa orang tua memaksa anak lulus dengan cepat di usia muda, hingga kekhawatiran kasus Izzan menjadi tren yang akan ditiru banyak orang tua. Setelah dicoba lagi, bocah ajaib ini dinyatakan lulus SMA dan ikut peserta ujian tertulis SBMPTN di kelompok Sains dan Teknologi, Senin, 31 Mei 2016. Kini, Izzan kuliah di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, di usia SMA sekolah umum.
Pada usia 6 tahun, Izza telah mampu mengerjakan materi matematika untuk anak usia 15 tahun. Bahkan menemukan sendiri rumus-rumus matematika yang ditemukan dari hasil observasinya. Berbagai buku dibacanya, dari mulai novel hingga buku fisika setebal 740 halaman yang diperuntukkan bagi mahasiswa.
Keunikan Izzan yang kuat di pelajaran matematika dan fisika dibahas oleh dosen ITB, psikolog perkembangan anak, juga dengan pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Izzan didiagnosis Gifted Disinkroni atau sebutan bagi anak yang secara intelegensi memiliki kecerdasan luar biasa namun memiliki hambatan perkembangan karena adanya ketidakselarasan dalam dirinya. Diagnosis oleh psikolog yang menanganinya, mulai dari hiperaktif, asperger syndrome, austism spectrum disorder, gangguan sensori integrasi, dan gangguan mobilitas. Skor IQ Izzan berdasarkan skala Wechsler mencapai 142, yang berarti sangat superior. Akan tetapi kecerdasan otaknya tidak selaras dengan perkembangan sosial emosinya. Karena masalah itu, Izzan kesulitan mengikuti pendidikan formal. 
Namun hambatan datang bukan dari Izzan sendiri, tapi justru dari prosedur kelulusan pendidikan dasar menengah yang diikuti melalui program paket A, B, dan C. Dimulai dari upaya mendapatkan ijazah SD, nama Izzan berkali-kali ditolak mengikuti ujian Paket A. Alasannya, umur Izzan pada saat mendaftar belum mencukupi karena baru berusia 7 tahun. Ia diharuskan menunggu hingga usianya 9 tahun. Setelah mendapat ijazah SD, Izzan mendaftar untuk Paket B, namun di Bandung, nama Izzan beberapa kali dicoret. Akhirnya, Izzan didaftarkan di Tangerang Selatan. Ijazah SMP didapatnya saat Izzan berusia 10 tahun. Setahun kemudian, Izzan mendaftar untuk ujian Paket C setingkat SMA di Tangerang Selatan, tapi ditolak. Kemudian ke Salatiga, pun ditolak. Perjuangan mendapat ijazah SMA dilakukan hingga menghadap langsung ke Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, tapi tidak membuahkan hasil. Setelah pada 2012 dan 2015 terus mendapat penolakan. Izzan kembali mengajukan ujian Paket C pada 2016. Kala itu, tidak ada alasan lagi bagi dinas pendidikan untuk menolaknya.

Bukan saja Izzan, di ITB juga ada anak bangsa yang luar biasa, Grandprix Thomryes Marth Kadja. Di usia 24 tahun, mahasiswa S3 Kimia di Institusi Teknologi Bandung ( ITB) ini memecahkan rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia ( MURI) sebagai pemegang gelar doktor termuda dalam sejarah pendidikan Indonesia. Berfokus pada material yang banyak dipakai di industri seperti petrokimia dan pengolahan biomassa, disertasi yang dipresentasikan di sidang terbuka pada hari ini, Jumat (22/09/2017) berhasil membuktikan hipotesisnya.
Catatan akademis pria yang terlahir di Kupang ini memang cemerlang. Dia masuk SD pada usia lima tahun dan melanjutkan ke kelas akselerasi di SMA sehngga sudah bisa masuk kuliah S1 di Usia 16 tahun. Grandprix menempuh pendidikan S1 Kimia di Universitas Indonesia dan lulus di usia 19 tahun sebelum melanjutkan ke S2 Kimia di ITB dengan beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) Kemenristekdikti. Sebagai mahasiswa S3 Kimia di ITB, Grandprix mendedikasikan waktunya untuk melakukan penelitian tentang zeolite sintesis, mekanisme, dan peningkatan hierarki zeolit ZSM-5 di bawah bimbingan Dr. Rino Mukti, Dr. Veinardi Suendo, Prof. Ismunandar, dan Dr. I Nyoman Marsih.
  
Ujian Nasional Digugat.

Ujian sebagai standarisasi kelulusan itu dianggap mengabaikan prestasi yang dibina anak didik selama bertahun-tahun. Ujian nasional telah mengabaikan prestasi yang dibina anak didik selama bertahun-tahun. Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional. Penetapan standar kelulusan yang hanya didasarkan pada mata pelajaran tertentu, seperti jurusan IPA di tingkat SMA yang hanya melibatkan Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sebagai standar kelulusan. Padahal banyak peserta didik yang memiliki prestasi di luar mata pelajaran yang ditentukan dalam ujian nasional.
Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional. Seperti yang dialami Siti Hapsah pada 2006. Mimpinya kuliah di Institut Pertanian Bogor sirna gara-gara ujian ujian nasional. Siti selalu menduduki peringkat satu atau juara umum sejak duduk di bangku kelas 1 di Perguruan Rakyat II Jakarta Timur. Ia dinyatakan tak lulus ujian nasional lantaran nilainya kurang 0,26. Siti yang mengambil jurusan IPA meraih angka ujian nasional 4,00. Sementara standar kelulusan minimal meraih nilai 4,26. Sebelum ujian, Siti sudah dinyatakan lolos seleksi sebagai mahasiswa Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).
Pengalaman serupa dialami Indah, mantan siswa SMA PSKD 7 Jakarta. Ia juga dinyatakan tak lulus gara-gara nilainya kurang 0,26. Indah, mengisahkan, seorang kawannya harus kehilangan beasiswa ke luar negeri gara-gara gagal di ujian nasional.
Rusti Setiyati, mantan siswi SMAN I Setu, Kabupaten Bekasi, yang kehilangan kesempatan kuliah di Universitas Negeri Jakarta gara-gara tak lulus ujian nasional. Padahal sebelum ujian, Rusti telah dinyatakan lulus ujian seleksi PMDK di kampus tersebut. Ia diterima sebagai calon mahasiswa UNJ atas sejumlah medali emas yang diraihnya di bilang olahraga lari.

Bagaimana Kehadiran Kelas Super? 

Anak-anak berkemampuan super, memang ditengarai sangat banyak di Indonesia. Ketua Yayasan TOFI Prof Yohanes Suryo, pernah menguji IQ 1.500 siswa SMA di Indonesia. Di antara anak-anak tersebut, terdapat 40 siswa yang memiliki IQ di atas 150. Sebelumnya, tahun 2009 Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), dan Bayerische Motoren Werke (BMW) Indonesia mengaku telah melaunching kelas super khusus bagi anak jenius. Hal itu didasarkan karena PRESTASI anak-anak Indonesia di berbagai olimpiade sains internasional melahirkan inspirasi untuk membuat wadah bagi anak-anak yang berkemampuan tinggi. Karena itu khusus bagi anak-anak jenius kelak akan mewakili Indonesia dalam berbagai even internasional. BMW Indonesia memberikan support yang besar dalam program ini.
Menurut Kepala Dinas Dikmenti DKI Jakarta Margani M. Mustar kala itu, kelas super baru dibuka di Jakarta. Ke depan, akan mengembangkan ke beberapa kota, seperti Surabaya, Semarang, Jogjakarta, dan Bandung. Untuk di Jakarta, Dinas Dikmenti meminjam salah satu ruang SMAN 3 Jakarta sebagai tempat belajar anak-anak kelas super. Alasannya, fasilitas yang tersedia di sekolah sudah memadai. Lokasinya juga cukup strategis, yakni di kawasan Kuningan. Kelas super juga akan memanfaatkan laboratorium-laboraturium di beberapa SMA lain.
Lantas, seperti apa kelas super yang dijanjikan itu? Menurut Yohanes Suryo, yang berhak mengikuti seleksi adalah siswa yang memiliki nilai total minimal 28 dalam ujian nasional SMP, atau dengan rata-rata nilai minimal 9,33. Syarat lainnya, yakni memiliki nilai matematika 10. Mereka akan menjalani tes potensi akademik (TPA). 50 siswa untuk mengikuti tes wawancara. Dalam satu kelas terdiri dari 20-40 siswa. 
Mereka akan dibimbing oleh tenaga pengajar khusus bergelar master dan doktor (S2 dan S3). Para guru ini berasal dari beberapa lembaga seperti BPPT, Puspitek, ITB, dan sebagainya. Honor guru-guru ini juga berstandar lebih tinggi dibanding guru biasa. 
Kurikulum yang diberikan juga sedikit berbeda. Siswa akan mendapat materi pelajaran selevel dengan perguruan tinggi. Pada saat kelas I, para siswa akan mendapat pelajaran fisika, biologi, kimia, matematika, dan komputer. Materi bahasa Inggris, akan diarahkan untuk penguasaan materi percakapan. Sedangkan, pelajaran bahasa Indonesia difokuskan untuk memberikan kemampuan menulis karya ilmiah. Para siswa ini juga diberi materi budi pekerti serta pelajaran musik klasik. Saat naik ke kelas dua, siswa sudah diarahkan pada spesialisasi pelajaran tertentu. Makanya, materi sains yang diberikan juga fokus pada salah satu pelajaran, yakni matematika, kimia, biologi, atau kimia. Kelompoknya dirampingkan menjadi 5 siswa setiap kelas. Penyampaian materi juga dalam bahasa Inggris. Sedangkan pelajaran bahasa Inggris diarahkan pada kemapuan TOEFL dan menulis paper. Untuk menambah wawasan, juga diberikan materi ekonomi, sosial, dan budaya. Juga diberikan materi kepemimpinan mengasah kemampuan para siswa dalam presentasi dan diskusi.

Entahlah, sejak lama kita masih terus-terusan saling melempar tanggungjawab bahkan saling menyalahkan. Seyogianya, Dinas Pendidikan pantas menangani kasus ini dan harus bisa mengambil keputusan yang tepat untuk menyelamatkan siswa dari tekanan mental yang dapat mengakibatkan psikologi perkembangannya terganggu. Karena siswa memiliki masa dalam belajar mendapatkan pondasi kecerdasan dirinya. Bukankah kita harus MENCERDASKAN BANGSA?
Mari kita perbaiki menejemen pendidikan yang ada di Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya.

Semoga bermanfaat.


Sumber: 
pontianakpost.com
www.kompasiana.com



No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat