Berbagai Korban UJIAN NASIONAL kita
Beragam
perjuangan ditempuh anak-anak bangsa untuk meraih impiannya, tak terkecuali
dalam Ujian Nasional. Contohnya siswa di Garut, Jawa Barat, tingkat SMP harus
menempuh jarak cukup jauh untuk mengikuti UN SMP. Di Kabupaten Gunungkidul, siswa
tak mengikuti Ujian Nasional Berbasis Kompetensi (UNBK) tingkat SMP karena keluar
dari sekolah dengan alasan bekerja. Di Kabupaten Blitar ribuan siswa tidak bisa mengikuti Ujian Nasional karena terkendala
transportasi untuk menjangkau sekolah lain saat pelaksanaan UNBK April 2018 mendatang.
Sebagaimana
diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo memutuskan ujian nasional tetap
berjalan dengan beberapa penyempurnaan. Ujian nasional ini juga dianggap
sebagai ajang untuk siswa bertarung di dunia internasional. Jokowi ingin setiap
siswa di Indonesia dapat bersaing tidak hanya tingkat nasional tapi juga hingga
ke internasional.
"Presiden
betul-betul menginginkan agar siswa kita bukan hanya menjadi petarung pada
tingkat lokal saja, tetapi juga bisa bersaing pada tingkat internasional. Maka
untuk itu UN tetap dijalankan," kata Pramono di Istana Kepresidenan,
Jakarta, Senin (19/12/2016). Untuk mencapai target itu, pemerintah akan
melakukan serangkaian penambahan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan ujian
nasional.
Sedikitnya,
ada delapan alasan yang diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir
Effendy melatari wacana moratorium atau penghapusan sementara ujian nasional(UN). tersebut. Pertama, menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung Nomor 2596
K/PDT/2008 tanggal 14 September 2008, maka UN dinilai perlu dimoratorium hingga
sarana prasarana sekolah merata di seluruh Indonesia. Kedua, sesuai dengan
nawacita untuk melakukan evaluasi terhadap model penyeragaman dalam sistem
pendidikan nasional. Ketiga, menghindari siswa putus sekolah atau drop-out.
Keempat, hasil UN hingga saat ini belum dapat menjadi instrumen peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia. Kelima, cakupan UN yang luas juga menciptakan
kesulitan dalam memperoleh UN yang kredibel dan bebas dari kecurangan. Keenam,
UN juga dianggap tak berimplikasi sama dan secara langsung terhadap setiap
peserta UN. Ketujuh, UN dinilai belum menjadi alat pemetaan yang tepat. Kedepalan,
UN dinilai cenderung membawa proses belajar ke orientasi yang salah.
Disisi lain, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan siswa yang bermasalah dengan hukum tetap
boleh mengikuti Ujian Nasional. Juru Bicara Kemendikbud Ibnu Hamad mengatakan,
sekolah wajib mengizinkan siswa mengikuti UN, asalkan dia masih tercatat sebagai
siswa dan menyelesaikan persyaratan administratif di sekolah itu. Kata Ibnu,
tidak ada syarat khusus bagi siswa untuk dapat mengikuti Ujian Nasional. Seperti
diberitakan sebelumnya, siswa SMAN 1 Torjun, Dusun Jrengik, Kecamatan Jrengik,
Kabupaten Sampang berinisial HI diduga melakukan pemukulan kepada gurunya Ahmad
Budi Cahyono (27) sehingga mengakibatkan meninggalnya sang guru. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Saiful Rachman mengungkapkan, siswa
yang memukul gurunya hingga tewas tidak akan dikeluarkan dari sekolah. Murid
kelas XII itu juga disebutkan memiliki catatan yang buruk di sekolah, catatannya
termasuk merah. Anak ini juga sering dipanggil orang tuanya oleh guru BK.
Bahkan, yang nersangkutan sudah sering berurusan dengan guru Bimbingan
Konseling (BK) atas ulahnya. Bahkan, jika pun nanti proses hukum berjalan, dan
yang bersangkutan ditahan, masih bisa mengikuti UNBK dan USBN.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memastikan siswa berkebutuhan khusus
tidak akan mengalami kendala ketika mengerjakan ujian nasional (UN). Kepala
Pusat Penilaian Pendidikan (Kapuspendik) Kemdikbud, Nizam mengatakan, para
siswa tersebut akan difasilitasi sesuai dengan kebutuhannya.
Siswa yang
sedang dalam perawatan di rumah sakit tetap mempunyai hak untuk mengikuti UN
sepanjang syarat-syarat sebagai peserta UN terpenuhi. Jika kondisi kesehatannya
memungkinkan, siswa mengikuti UN di rumah sakit, dengan koordinasi antara Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, satuan pendidikan pelaksana dan rumah sakit; Jika
kondisi kesehatannya tidak memungkinkan mengikuti UN, setelah kondisi
kesehatannya memungkinkan, siswa tersebut dapat mengikuti UN susulan sesuai
dengan jadwal, di sekolah atau di rumah sakit; Jika kondisi kesehatannya tidak
memungkinkan mengikuti UN susulan, maka siswa dapat mengikuti UN perbaikan
sesuai jadwal yang ditetapkan.
Apakah Negara
Hadir Di Kalangan Anak Jenius
Masih ingat Diki si Anak Jenius? Karena kecerdasannya di bidang fisika dan matematika di atas
rata-rata, ia langsung meloncat ke bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), tanpa
harus merasakan bangku SMP. Kecerdasan luar biasa anak ketiga Hanni itu diketahui
ibunya sejak Diki masih TK.
"Waktu
TK anak saya sudah bisa baca. Bacaanya juga buka ensiklopedi fisika. Selain
itu, dia juga sering bertanya pertanyaan-pertanyaan kritis," ujar Hanni
saat ditemui di SD Bondongan 2 Kota Bogor , Rabu
(6/5/2015).
Kejeniusan
Diki terbukti dari nilai tes IQ yang mencapai angka 189 di saat dia masih 9
tahun. Saat di SD Diki sering mengajari teman-temannya, bahkan mengajari
anak-anak SMP dan SMA belajar fisika dan matematika. Diki juga telah banyak
mengikuti lomba tingkat daerah, nasional, dan internasional. Seperti saat Diki
masih duduk di bangku kelas 3 SD, ia meraih medali perunggu pada lomba
olimpiade matematika internasional di Beijing. Padalah saat itu, lawan-lawannya
adalah anak-anak setingkat SMP. Akhirnya saat memasuki kelas 3 SD, Diki dibawa ibunya
ke Singapura selama 6 bulan, dan kembali ke Indonesia. Atas saran seorang professor,
Diki masuk di SMA Kesatuan Bogor kelas 1. Tapi karena Diki belum memiliki
ijazah SMP, ia harus mengikuti ujian paket B. Langkah ini
diambil untuk mempersiapkan diri
menghadapi olimpiade fisika tingkat internasional pada Agustus 2016.
Biasanya, Ujian
Nasional (UN) Paket B diikuti oleh siswa peserta di atas umur rata-rata murid
siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun Cendikiawan Suryaatmadja atau biasa
dipanggil Diki, anak yang masih berusia 10 tahun mengikuti ujian paket B di
Bogor, Jawa Barat.
"Tahun
kemarin juga ia sudah ambil ujian paket A untuk ijazah SD-nya, semoga saja
ujian dia kali ini lancar," pungkas Hanni kala itu. Kini, di
usianya yang baru menginjak 12 tahun Cendikiawan Suryaatmadja, berhasil
mendapatkan kesempatan untuk belajar di salah satu universitas ternama di
Kanada.
Sudah pasti
setiap siswa berhak mengikuti Ujian Nasional (UN) yang di laksanakan
pemerintah, namun Dinas Pendidikan Kab. Sidoarjo sempat menolak Pato
Sayyaf, siswa kelas 6 SD dalam Ujian Nasional Tahun 2016 untuk mengikuti UN
Tingkat SMP. Alsannya, Anak jenius itu Baru berusia 8tahun 2 bulan. Padahal Pato aktif mengikuti Kelas akselerasi dengan rapor yang
sudah lengkap dan nilainya tergolong memuaskan, sesuai prosedur. Pato menempuh
kelas satu hingga kelas 6 hanya dengan 4,5 tahun, dan selama itu pula Pato
selalu mendapat ranking 1. Saat Pato mendaftar untuk UN pada mei 2016 di SDN
Tropodo, ternyata Dinas Pendidikan Sidoarjo menolaknya dengan alasan umur. Tidak berani mengambil keputusan, Dinas Pendidikan Sidoarjo menyarankan agar Pato menjalani tes IQ.
Pada tanggal 23 Februari 2016 Pato mengikuti
tes IQ di Lembaga Psikotes milik pangkalan TNI AL Surabaya, dan ternyata hasil IQ
Pato 136. Tapi Diknas Sidoarjo tetap menolaknya karena umur Pato baru 8 tahun.
Padahal untuk IQ di atas 130 sudah di katakan Jenius. Setelah banyak desakan masyarakat
dan DPRD Jatim, akhirnya Patto Sayyaf (8) diizinkan mengikuti Ujian
Nasional SD.
Perlu
diketahu, bahwa di dalam Peraturan Bersama Antara Menteri Pendidikan dan
Menteri Agama Nomor 04/VI/PB/2011 dan Nomor MA/111/2011 dalam Pasal 5 yang
mengatakan untuk tingkatan SD/MI, Menteri mengatur jika anak berumur 7 tahun
sampai 12 tahun wajib di terima. Dan pada pasal 6 mengatakan bahwa calon siswa
baru kelas 7 untuk SMP/MTs boleh di terima dengan usia paling tinggi 18 Tahun.
"Kasihan
anak-anak jenius seperti ini. Pemerintah harus memfasilitasi anak-anak jenius.
Mereka itu harapan bangsa," kata Ketua Hotline Pendidikan Jawa Timur, Isa
Anshori di Surabaya. Isa mendesak pemerintah merevisi Undang Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, Kamis (10/3/2016).
Jika mengacu
pada usia, Musa Izzanardi Wijanarko, atau Izzan, 13 tahun, sudah bisa ikut tes
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2016. Anak jenius kelahiran Bandung, 24 Oktober 2002 itu
lulus Sekolah Dasar pada 2011, lulus SMP 2013, dan SMA 2016. Izzan belajar
penuh di rumah sampai lulus SMA. Ketika Izzan ingin ujian kesetaraan SMP beberapakali
ditolak Dinas Pendidikan karena usianya ketika itu 10 tahun. Dengan bantuan
beberapa orang, akhirnya Izzan bisa ikut ujian kelulusan di kota lain. Kemudian
perlu tiga tahun di tiga propinsi untuk mendapatkan kesempatan ujian setara
tamat SMA. Keberatan
Dinas Pendidikan menolak ujian kesetaraan, menganggap bahwa orang tua
memaksa anak lulus dengan cepat di usia muda, hingga kekhawatiran kasus Izzan
menjadi tren yang akan ditiru banyak orang tua. Setelah dicoba lagi, bocah ajaib ini dinyatakan lulus SMA dan ikut
peserta ujian tertulis SBMPTN di kelompok Sains dan Teknologi, Senin, 31 Mei
2016. Kini, Izzan kuliah di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, di usia
SMA sekolah umum.
Pada usia 6
tahun, Izza telah mampu mengerjakan materi matematika untuk anak usia 15 tahun.
Bahkan menemukan sendiri rumus-rumus matematika yang ditemukan dari hasil
observasinya. Berbagai buku dibacanya, dari mulai novel hingga buku fisika
setebal 740 halaman yang diperuntukkan bagi mahasiswa.
Keunikan
Izzan yang kuat di pelajaran matematika dan fisika dibahas oleh dosen ITB,
psikolog perkembangan anak, juga dengan pegawai Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Izzan didiagnosis
Gifted Disinkroni atau sebutan bagi anak yang secara intelegensi memiliki
kecerdasan luar biasa namun memiliki hambatan perkembangan karena adanya ketidakselarasan
dalam dirinya. Diagnosis oleh psikolog yang menanganinya, mulai dari
hiperaktif, asperger syndrome, austism spectrum disorder, gangguan sensori
integrasi, dan gangguan mobilitas. Skor IQ Izzan berdasarkan skala Wechsler
mencapai 142, yang berarti sangat superior. Akan tetapi kecerdasan otaknya
tidak selaras dengan perkembangan sosial emosinya. Karena masalah itu, Izzan
kesulitan mengikuti pendidikan formal.
Namun
hambatan datang bukan dari Izzan sendiri, tapi justru dari prosedur kelulusan
pendidikan dasar menengah yang diikuti melalui program paket A, B, dan C.
Dimulai dari upaya mendapatkan
ijazah SD, nama Izzan berkali-kali ditolak mengikuti ujian Paket A. Alasannya,
umur Izzan pada saat mendaftar belum mencukupi karena baru berusia 7 tahun. Ia
diharuskan menunggu hingga usianya 9 tahun. Setelah mendapat ijazah SD, Izzan mendaftar
untuk Paket B, namun di Bandung, nama Izzan beberapa kali dicoret. Akhirnya,
Izzan didaftarkan di Tangerang Selatan. Ijazah SMP didapatnya saat Izzan
berusia 10 tahun. Setahun
kemudian, Izzan mendaftar untuk ujian Paket C setingkat SMA di Tangerang
Selatan, tapi ditolak. Kemudian ke Salatiga, pun ditolak. Perjuangan mendapat ijazah SMA
dilakukan hingga menghadap langsung ke Wali Kota Tangerang Selatan, Airin
Rachmi Diany dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda
Gumelar, tapi tidak membuahkan hasil. Setelah pada 2012 dan 2015 terus mendapat
penolakan. Izzan kembali mengajukan ujian Paket C pada 2016. Kala itu, tidak
ada alasan lagi bagi dinas pendidikan untuk menolaknya.
Bukan saja Izzan, di ITB juga ada anak bangsa yang luar biasa, Grandprix Thomryes Marth
Kadja. Di usia 24 tahun, mahasiswa S3 Kimia di Institusi Teknologi Bandung (
ITB) ini memecahkan rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia ( MURI) sebagai pemegang
gelar doktor termuda dalam sejarah pendidikan Indonesia. Berfokus pada material
yang banyak dipakai di industri seperti petrokimia dan pengolahan biomassa, disertasi
yang dipresentasikan di sidang terbuka pada hari ini, Jumat (22/09/2017) berhasil
membuktikan hipotesisnya.
Catatan
akademis pria yang terlahir di Kupang ini memang cemerlang. Dia masuk SD pada
usia lima tahun dan melanjutkan ke kelas akselerasi di SMA sehngga sudah bisa
masuk kuliah S1 di Usia 16 tahun. Grandprix menempuh pendidikan S1 Kimia di
Universitas Indonesia dan lulus di usia 19 tahun sebelum melanjutkan ke S2
Kimia di ITB dengan beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana
Unggul (PMDSU) Kemenristekdikti. Sebagai mahasiswa S3 Kimia di ITB, Grandprix
mendedikasikan waktunya untuk melakukan penelitian tentang zeolite sintesis,
mekanisme, dan peningkatan hierarki zeolit ZSM-5 di bawah bimbingan Dr. Rino
Mukti, Dr. Veinardi Suendo, Prof. Ismunandar, dan Dr. I Nyoman Marsih.
Ujian
Nasional Digugat.
Ujian
sebagai standarisasi kelulusan itu dianggap mengabaikan prestasi yang dibina
anak didik selama bertahun-tahun. Ujian nasional telah mengabaikan prestasi yang dibina anak didik selama bertahun-tahun. Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional. Penetapan standar kelulusan yang hanya didasarkan pada mata pelajaran tertentu, seperti jurusan IPA di tingkat SMA yang hanya melibatkan Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sebagai standar kelulusan. Padahal banyak peserta didik yang memiliki prestasi di luar mata pelajaran yang ditentukan dalam ujian nasional.
Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya
lantaran gagal dalam ujian nasional. Seperti yang
dialami Siti Hapsah pada 2006. Mimpinya kuliah di Institut Pertanian Bogor
sirna gara-gara ujian ujian nasional. Siti selalu menduduki peringkat satu atau
juara umum sejak duduk di bangku kelas 1 di Perguruan Rakyat II Jakarta Timur. Ia
dinyatakan tak lulus ujian nasional lantaran nilainya kurang 0,26. Siti yang
mengambil jurusan IPA meraih angka ujian nasional 4,00. Sementara standar
kelulusan minimal meraih nilai 4,26. Sebelum ujian, Siti sudah dinyatakan lolos
seleksi sebagai mahasiswa Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB
melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).
Pengalaman
serupa dialami Indah, mantan siswa SMA PSKD 7 Jakarta. Ia juga dinyatakan tak
lulus gara-gara nilainya kurang 0,26. Indah, mengisahkan, seorang kawannya
harus kehilangan beasiswa ke luar negeri gara-gara gagal di ujian nasional.
Rusti
Setiyati, mantan siswi SMAN I Setu, Kabupaten Bekasi, yang kehilangan
kesempatan kuliah di Universitas Negeri Jakarta gara-gara tak lulus ujian
nasional. Padahal sebelum ujian, Rusti telah dinyatakan lulus ujian seleksi
PMDK di kampus tersebut. Ia diterima sebagai calon mahasiswa UNJ atas sejumlah
medali emas yang diraihnya di bilang olahraga lari.
Bagaimana Kehadiran Kelas Super?
Anak-anak
berkemampuan super, memang ditengarai sangat banyak di Indonesia. Ketua Yayasan
TOFI Prof Yohanes Suryo, pernah menguji IQ 1.500 siswa SMA di Indonesia. Di
antara anak-anak tersebut, terdapat 40 siswa yang memiliki IQ di atas 150. Sebelumnya,
tahun 2009 Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta
bekerjasama dengan Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), dan
Bayerische Motoren Werke (BMW) Indonesia mengaku telah melaunching kelas super
khusus bagi anak jenius. Hal itu didasarkan karena PRESTASI anak-anak Indonesia
di berbagai olimpiade sains internasional melahirkan inspirasi untuk membuat
wadah bagi anak-anak yang berkemampuan tinggi. Karena itu khusus bagi
anak-anak jenius kelak akan mewakili Indonesia dalam berbagai even
internasional. BMW Indonesia memberikan support yang besar dalam program ini.
Menurut
Kepala Dinas Dikmenti DKI Jakarta Margani M. Mustar kala itu, kelas super baru
dibuka di Jakarta. Ke depan, akan mengembangkan ke beberapa kota, seperti
Surabaya, Semarang, Jogjakarta, dan Bandung. Untuk di Jakarta, Dinas Dikmenti
meminjam salah satu ruang SMAN 3 Jakarta sebagai tempat belajar anak-anak kelas
super. Alasannya, fasilitas yang tersedia di sekolah sudah memadai. Lokasinya
juga cukup strategis, yakni di kawasan Kuningan. Kelas super juga akan
memanfaatkan laboratorium-laboraturium di beberapa SMA lain.
Lantas,
seperti apa kelas super yang dijanjikan itu? Menurut Yohanes Suryo, yang berhak
mengikuti seleksi adalah siswa yang memiliki nilai total minimal 28 dalam ujian
nasional SMP, atau dengan rata-rata nilai minimal 9,33. Syarat lainnya, yakni
memiliki nilai matematika 10. Mereka akan menjalani tes potensi akademik (TPA).
50 siswa untuk mengikuti tes wawancara. Dalam satu kelas terdiri dari 20-40
siswa.
Mereka akan dibimbing oleh tenaga pengajar khusus bergelar master dan
doktor (S2 dan S3). Para guru ini berasal dari beberapa lembaga seperti BPPT,
Puspitek, ITB, dan sebagainya. Honor guru-guru ini juga berstandar
lebih tinggi dibanding guru biasa.
Kurikulum yang diberikan juga sedikit
berbeda. Siswa akan mendapat materi pelajaran selevel dengan perguruan tinggi. Pada
saat kelas I, para siswa akan mendapat pelajaran fisika, biologi, kimia,
matematika, dan komputer. Materi bahasa Inggris, akan diarahkan untuk
penguasaan materi percakapan. Sedangkan, pelajaran bahasa Indonesia difokuskan
untuk memberikan kemampuan menulis karya ilmiah. Para siswa ini juga diberi
materi budi pekerti serta pelajaran musik klasik. Saat naik ke kelas dua, siswa
sudah diarahkan pada spesialisasi pelajaran tertentu. Makanya, materi sains
yang diberikan juga fokus pada salah satu pelajaran, yakni matematika, kimia,
biologi, atau kimia. Kelompoknya dirampingkan menjadi 5 siswa setiap kelas.
Penyampaian materi juga dalam bahasa Inggris. Sedangkan pelajaran bahasa
Inggris diarahkan pada kemapuan TOEFL dan menulis paper. Untuk menambah
wawasan, juga diberikan materi ekonomi, sosial, dan budaya. Juga diberikan
materi kepemimpinan mengasah kemampuan para siswa dalam presentasi dan diskusi.
Entahlah, sejak
lama kita masih terus-terusan saling melempar tanggungjawab bahkan saling menyalahkan.
Seyogianya, Dinas Pendidikan pantas menangani kasus ini dan harus bisa
mengambil keputusan yang tepat untuk menyelamatkan siswa dari tekanan mental
yang dapat mengakibatkan psikologi perkembangannya terganggu. Karena siswa
memiliki masa dalam belajar mendapatkan pondasi kecerdasan dirinya. Bukankah
kita harus MENCERDASKAN BANGSA?
Mari kita
perbaiki menejemen pendidikan yang ada di Indonesia untuk mendapatkan
pendidikan yang sebaik-baiknya.
Semoga
bermanfaat.
Sumber:
pontianakpost.com
www.kompasiana.com
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan