Institusi yang
terkait dengan periklanan
1.
Badan POM
Sesuai
Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi dan Tugas
Eselon I LPND, fungsi Badan POM antara lain adalah (a) Post marketing vigilance
termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan
distribusi, penyidikan dan penegakan hukum, (b) Pre-review dan pasca-audit
iklan dan promosi obat dan obat tradisional, dan (c) Komunikasi, informasi dan
edukasi masyarakat termasuk peringatan publik (public warning).
2.
Industri farmasi dan GPFI
Industri
farmasi dan importir obat dan obat tradisional merupakan institusi pemasang
iklan di media massa. Industri farmasi memiliki kewajiban dan tanggung jawab
dalam memberikan informasi yang akurat mengenai produknya kepada profesi
kesehatan. Industri farmasi di Indonesia merupakan anggota dari GPFI, sedangkan
industri farmasi multinasional merupakan anggota International Pharmaceutical
Manufacturing Group (IPMG). Dalam Kode Etik IPMG antara lain dinyatakan IPMG
dan anggotanya sepakat meningkatkan upaya pendidikan dan promosi yang
bermanfaat bagi pasien, serta promosi dan kerja sama yang meningkatkan mutu
praktek kedokteran. IPMG juga berusaha menjaga kebebasan profesi kesehatan di
dalam mengambil keputusan menuliskan resep obat untuk pasiennya. Industri
farmasi memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam memberikan informasi yang
akurat dan pendidikan mengenai produknya kepada profesi kesehatan sehubungan
dengan penggunaan obat etikal yang tepat.
Industri
obat tradisional di Indonesia merupakan anggota dari GP jamu. GP Jamu mempunyai
kode etik dengan tujuan utamanya adalah untuk membina usaha jamu dan obat
tradisional yang berkaitan dengan kegiatan produksi, pemasaran serta hubungan
dengan masyarakat dan sesama pengusaha
(http://www.gpjamu.com/profile_kode_etik_gpjamu. php).
3.
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)
PPPI
didirikan pada tanggal 20 Desember 1972 oleh perusahaan-perusahaan yang
memiliki izin usaha perdagangan di bidang jasa periklanan Tujuan PPPI antara
lain mewujudkan kehidupan periklanan nasional yang sehat, jujur dan bertanggung
jawab dengan cara menegakkan “Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia”
secara murni dan konsisten, baik dalam lingkup internal maupun eksternal
(http://www.pppi.or.id/ Anggaran-Dasar.html).
4.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
KPI
adalah komisi pengawasan iklan di media penyiaran yang dibentuk di tingkat
pusat, dan KPI daerah (KPID) dibentuk di tingkat provinsi. Siaran iklan niaga
yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran. Masyarakat dapat
mengajukan keberatan terhadap program dan tau isi siaran yang merugikan
(Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal
6, 7, 46 dan 52).
5.
Dewan Pers
Perusahaan
pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan
media cetak, media elektronik dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya
yang secara khusus menyelenggarakan penyiaran atau menyalurkan informasi. Dewan
pers melaksanakan fungsi-fungsi antara lain menetapkan dan mengawasi
pelaksanaan kode etik jurnalistik. Masyarakat dapat memantau dan melaporkan
analisis mengenai pelanggaran hukum, etika dan kekeliruan teknis pemberitaan
yang dilakukan oleh pers (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers pasal 1, 15 dan 17).
6.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
YLKI
adalah Lembaga Non Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Tujuan perlindungan
konsumen antara lain adalah meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri, dan mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
(Undang-undang Perlindungan Konsumen nomor 8/1999 pasal 3). Pemerintah juga
membentuk Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dengan tugas
antara lain melakukan pengawasan iklan bersama pemerintah dan masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen (Peraturan Pemerintah nomor 59/2001
tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 1 dan 3).
Pelaksanaan
peraturan perundang-undangan periklanan
Hasil
diskusi kelompok terarah institusi yang terkait dengan iklan obat dan obat
tradisional sebagai berikut :
1.
Periklanan
Pengawasan
iklan di media cetak sangat longgar, karena tidak ada dewan pers di daerah,
banyak iklan terselubung dalam berbagai program penyiaran berupa sisipan dalam
lagu-lagu di radio daerah dan iklan produk-produk yang seharusnya tidak boleh
diiklankan. Sistem kontrak penyiaran yang sulit dihentikan, dan iklan di media
cetak lokal banyak melakukan penyimpangan merupakan akibat sosialisasi
peraturan ke pengusaha masih kurang. Disarankan agar Balai POM terlibat dalam
lembaga sensor iklan yang akan ditayangkan dan meningkatkan sosialisasi dalam
upaya pemberdayaan masyarakat. Iklan di TV perlu mendapat perhatian dan
pengawasan yang lebih ketat, peraturan perlindungan konsumen perlu di buat
dalam bentuk perda, pemberian penghargaan pada iklan yang baik, perlu dibuat
kebijakan yang dapat ditindak lanjuti oleh Dinkes Provinsi dalam upaya
pengawasan produk-produk lokal, dan perlu peningkatan koordinasi Dinkes dan
Balai POM
2.
Iklan obat dan obat tradisional
Hasil
diskusi kelompok menunjukkan Pelanggaran iklan obat 20% terjadi karena
menyiarkan iklan sebelum mendapat ijin edar. Disarankan agar kewenangan iklan
tetap dipegang Badan POM, tetapi pelaksanaannya dibantu Dinkes Provinsi dan
Dinkes Kabupaten/ kota
Produk
yang paling banyak melakukan penyimpangan adalah obat tradisional, penyimpangan
obat tradisional dengan klaim khasiat berlebihan, banyak brosur obat
tradisional yang belum terdaftar di Badan POM. Disarankan agar dibuat kriteria
baku mengenai iklan yang benar atau salah, dan pemerintah sebaiknya melakukan
pengawasan iklan secara berkala
Perlindungan
Konsumen Atas Iklan Menyesatkan
Dalam
tatakrama dan tatacara periklanan Indonesia yang disusun dan disahkan pada
1978, terdapat tiga hal pokok sebagai asas umum, yaitu: Iklan harus jujur, bertanggung
jawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku; Iklan tidak boleh
menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat agama, tatasusila, adat,
budaya, suku dan golongan; Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.
Kalau dikaitkan ketentuan yang merupakan asas umum tatakrama periklanan itu
dengan promosi niaga, maka selayaknya promosi niaga lewat iklan tidak
dibenarkan memuat janji kosong yang membohongi masyarakat. Isi iklan yang
memuat pernyataan dan janji produk harus dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Oleh karena itu iklan, tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan
dan merugikan masyarakat (konsumen).
Pada
1972 dikenal konsep baru dalam dunia periklanan yang disebut self regulation.
Pada Kongres Internasional Advertising Association di Teheran pada 1974, self
regulation mencapai momentum yang baik untuk menyebar ke seluruh dunia. Pada
dasarnya. konsep self regulation ini mencakup dua hal penting yaitu: Melindungi
konsumen secara efektif dari iklan yang menyesatkan (misleading advertisement);
dan Melindungi produsen secara efektif dari pesaingan curang.
Di
AS pernah terjadi kasus tentang iklan menyesatkan yang diselesaikan berdasarkan
tort (tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melanggar hukum di mana tidak
disyaratkan adanya hubungan langsung dalam perjanjian/privity of contract).
Kalau ada hubungan langsung di antara keduanya, misalnya pembeli dan penjual,
maka dasar gugatan untuk meminta ganti rugi adalah wanprestasi (Pasal 1243
KUHPerdata).
Di
Indonesia, self regulation ini dituangkan dalam bentuk Kode Etik Periklanan,
yang menciptakan persamaan sikap yang merata di kalangan semua pihak yang
berkepentingan dengan iklan. Kode etik ini menentukan hal yang boleh atau
dilarang dilakukan dalam dunia periklanan. Dengan Kode Etik Periklanan ini,
semua pihak yang berkepentingan dengan periklanan secara suka rela dan atas
inisiatif sendiri membangun semacam 'pagar' yang membatasi tindak tanduknya.
Self
regulation di Indonesia tertuang dalam : Kode Etik Periklanan yang disusun dan
disahkan Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) pada 1968; Tatakrama dan Tatacara
Periklanan Indonesia yang disusun dan disahkan pada 1978, kemudian diperbaharui
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPKI) 1980; Ikrar pendukung
berlakunya Tatakrama dan Tatacara Periklanan Indonesia, yang dikeluarkan dalam
Konvensi Periklanan di Jakarta pada 17 September 1981. Pelanggaran terhadap
peraturan tersebut dalam hal ini iklan yang menyesatkan dapat dikenakan sanksi
administratif sebagai ultimum remedium dan sanksi pidana. Di samping itu,
terhadap perbuatan produsen yang melakukan promosi niaga lewat iklan menyesatkan
ini, konsumen dapat mengajukan tuntutan ganti rugi perdata berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata. Dengan adanya self regulation di Indonesia yang berlakunya
didukung oleh kalangan/pihak yang berkepentingan dengan periklanan, maka
selayaknyalah produsen, perusahaan iklan dan media massa bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen secara tanggung menanggung.
Sebenamya
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perilaku periklanan
telah dikeluarkan, untuk mengatur perilaku periklanan yang menyimpang dan
melanggar hukum (iklan yang menyesatkan), seperti: Tata Krama dan Tata Can
Perildanan Indonesia; UU tentang Barang; UU tentang Pangan; UU tentang
Kesehatan; UU tentang Penyiaran; UU tentang Pars; dan yang terpenting UU
tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut,
ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang tata can beriklan yang baik dan
perilaku¬perilaku yang tidak boleti dilakukan oleh pengusaha dalam mengiklankan
produknya. Namun dalam kenyataannnya, berbagai macam peraturan
perundang-undangan tersebut yang bermaksud mengatur perilaku periklanan
seolah-olah hanya menjadi "macan kertas", hanya sekedar
"pajangan etalase".
SUMBER
: www.bitebrands.co; wartakota.tribunnews.com
POSTING TERKAIT
No comments:
Write commentsTerim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan