KOMPI+25

Komunitas Pendidikan Indonesia

Jaringan Komunikasi KOMUNITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Friday, 8 December 2017

Menyimak Kesejahteraan Dari Otonomi Daerah

Posted by   on Pinterest

Seluk beluk Otonomi Daerah

Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah yang anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi, Ryaas Rasyid, dalam diskusi bertemakan ”Quo Vadis Otonomi Daerah” di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11), mengatakan bahwa Pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berlangsung selama lebih dari 12 tahun perlu ditata ulang. Titik berat otonomi diusulkan dipindahkan dari tingkat kabupaten/ kota ke tingkat provinsi. Sekarang waktunya ditata ulang karena bertepatan dengan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Itu bukan berarti mencabut kewenangan yang dimiliki bupati/wali kota. Kewenangan bupati/wali kota mengatur sendiri daerahnya tetap diberlakukan. Pemerintah pusat tinggal menambah kewenangan gubernur, seperti kewenangan mengoordinasikan bupati/wali kota di bawahnya. Pelaksanaan otonomi daerah tetap perlu dipertahankan.

Dia mengingatkan, tujuan pemberian otonomi di tingkat kabupaten/kota adalah untuk mempercepat pembangunan daerah. Percepatan pembangunan diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemberian otonomi daerah yang diikuti dengan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara demokratis, bertujuan membentuk pemerintahan yang mandiri. Pemerintahan harus bisa melayani dan menyejahterakan masyarakat. Jika tak bisa menyejahterakan rakyat, buat apa ada pemerintah. Namun, kenyataannya, pilkada yang sudah menghabiskan anggaran daerah hingga lebih dari Rp 100 triliun justru menghasilkan pemerintahan yang bermasalah. Tingkat korupsi pemerintah daerah semakin tinggi dan kinerja birokrasi terganggu karena dilibatkan dalam dukung-mendukung calon kepala daerah. 

Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah Dani Anwar menambahkan, sekarang ini banyak kepala daerah yang semena-mena melakukan mutasi pegawai karena pertimbangan politis. Pegawai yang tidak menjadi tim suksesnya biasanya dimutasi. Biasanya itu dilakukan petahana yang terpilih kembali. Bukan hanya itu, otonomi daerah juga tidak berhasil membuat pemerintahan di daerah menjadi mandiri. Sebagian besar daerah masih bergantung pada alokasi anggaran dari pusat, baik berbentuk dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus. Menurut Dani, umumnya 70 persen APBD kabupaten/kota habis untuk biaya aparatur, khususnya gaji pegawai.

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).

Beberapa pendapat ahli mengemukakan bahwa :
  1. Otonomi daerah adalah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah [F. Sugeng Istianto].
  2. Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan [Ateng Syarifuddin].
  3. Otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat [Syarif Saleh].
  4. Otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat [Benyamin Hoesein,1993].
  5. Otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda [Philip Mahwood, 1983].
  6. Dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas [Mariun,1979].
  7. Otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi [Vincent Lemius,1986].
Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
  1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
  2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
  3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.

Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
  • Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
  • Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
  • Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
  • Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas. Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.

Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.

Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi daerah adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,  agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
  1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
  2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
  3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
  4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
  5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
  6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
  7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
  8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Tujuan Otonomi Daerah Masih Jauh

Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
  1. Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
  2. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian.
Otonomi daerah dan desentralisasi yang diterapkan di Indonesia pascareformasi tahun 1998 ternyata belum menyejahterakan rakyat. Itu terjadi akibat akses sumber daya ekonomi masih dikuasai elite politik dan pengusaha. Kelompok masyarakat sipil belum benar-benar mandiri dan terlibat dalam pengambilan kebijakan.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan di Jakarta, Selasa (29/11/2011) mengatakan bahwa Tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Rasio daerah penerima transfer dana tertinggi dengan daerah yang menerima transfer terendah berbeda 127 kali lipat. Transfer daerah tidak beranjak dari 31 persen sampai 34 persen dari total belanja negara. Padahal, sudah 70 persen urusan pemerintahan diserahkan ke daerah. Prinsip money follow the function belum dilaksanakan.

Jenis dana perimbangan pun semakin banyak berkembang di luar yang diatur dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta berpotensi merusak sistem dana perimbangan. Dari hanya tiga jenis dana perimbangan dalam komponen dana penyesuaian pada tahun 2009, berkembang menjadi tujuh jenis pada 2011. Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrastruktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktik mafia anggaran. Bahkan, terdapat 10 bidang yang sama pada dana penyesuaian, juga dialokasikan pada dana alokasi khusus. Skema dana perimbangan saat ini, justru memberikan insentif terhadap terjadinya inefisiensi terhadap belanja pegawai dan makin berkurangnya belanja publik. Dana alokasi umum yang sejatinya diberikan untuk keleluasaan bagi daerah mengalokasikannya sesuai kebutuhan, habis terserap untuk pegawai.

Ketua Pengurus Yappika Lili Hasanuddin dan Kepala Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Ani Sucipto dalam diskusi dan peluncuran buku Indeks Masyarakat Sipil di 16 Kabupaten/Kota yang digelar Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) di Jakarta, Selasa (6/12), mengemukakan bahwa desentralisasi dan demokratisasi di daerah di Indonesia masih sebatas menimbulkan keriuhan politik. Masyarakat semakin bebas mengekspresikan diri dan menuntut kesetaraan politik. Namun, akses ke sumber daya ekonomi masih digenggam elite politik dan elite pengusaha. 

Secara bersamaan, tanggung jawab pemerintah lokal untuk menyejahterakan masyarakat juga masih rendah. Kelompok masyarakat sipil yang berdaya kemudian beralih aktif di partai politik sehingga masuk dalam lingkaran elite kekuasaan. Akibatnya, desentralisasi riuh rendah, tetapi masyarakat belum sejahtera. Sumber daya masyarakat sipil di daerah juga masih kurang. Hal ini adalah salah satu kesimpulan dari penelitian indeks masyarakat sipil di 16 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Secara umum, kesetaraan politik masyarakat sipil membaik, tetapi kesadaran lingkungan dan sumber daya masyarakat sipil masih rendah. Partisipasi masyarakat sipil, termasuk kaum perempuan, di daerah masih bersifat prosedural dan belum substansial. Ruang partisipasi memang terbuka, tetapi belum benar-benar dimanfaatkan untuk menjalankan substansi aspirasi masyarakat dalam kebijakan. Gerakan masyarakat sipil belum punya posisi tawar dalam kompetisi politik. Masyarakat tak kebagian sumber daya karena dikuasai elite. Pemberdayaan masyarakat harus diperjuangkan.

Lebih dari satu dasawarsa sejak otonomi daerah diberlakukan, sudah ada 70 persen urusan pusat yang didesentralisasikan ke daerah. Namun, desentralisasi urusan ini tak diikuti dengan desentralisasi fiskal sehingga beban kerja pemerintah daerah yang tinggi tak dibarengi dengan pembiayaannya. Gambaran perimbangan keuangan daerah dan pusat juga sangat buruk. Kesenjangan fiskal antardaerah sangat tinggi. Pemerintah pusat dinilai hanya mentransfer beban kerja ke daerah, tetapi tak diikuti dengan besaran jumlah pembiayaan untuk kegiatannya. Prinsip money follow function tidak terealisasi. 

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan di Jakarta, Selasa (29/11) mengungkapkan bahwa Urusan yang didesentralisasikan itu seharusnya diikuti juga dengan uangnya untuk menyelenggarakan urusan itu. Dari analisis kami, walaupun urusannya sudah diserahkan sebanyak-banyaknya ke daerah, uang yang ditransfer ke daerah hanya sekitar 30 persen dari total belanja negara. Artinya, urusan diberikan, tetapi uangnya dipegang pusat. Lebih dari 10 tahun pelaksanaan otonomi daerah juga mencerminkan buruknya perimbangan keuangan pusat dan daerah. Riset Fitra menemukan, sekitar 80 persen pemerintah daerah di Indonesia sangat bergantung pada dana perimbangan. Kondisi ini diperburuk dengan sikap pemerintah daerah yang tidak memberi porsi besar untuk belanja publik. Di tengah ketergantungan dana ini, kita melihat formulasi dana perimbangan justru memberikan insentif terjadinya pemborosan belanja pegawai dan juga pemekaran daerah. Temuan kami, ada 297 kabupaten/kota atau separuh lebih total kabupaten/kota di Indonesia memiliki belanja pegawai di atas 50 persen, melebihi belanja untuk pelayanan publik. Kondisi ini terjadi, karena formulasi penghitungan dana alokasi umum (DAU), salah satu komponen dana perimbangan, sejak awal memungkinkan terjadi pemborosan. Contohnya, formulasi penghitungan DAU antara lain dari besaran jumlah belanja pegawai di daerah. Hal ini juga memicu maraknya pemekaran daerah.

Guru Besar Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani Yustika mengutarakan, pemberian dana transfer daerah (DAU, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil) juga tak berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Hanya sembilan provinsi yang menunjukkan semakin besar dana perimbangannya, semakin menurun tingkat kemiskinan di wilayah itu. Artinya, di provinsi lain itu tak terjadi.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengakui, selama ini, formulasi penentuan dana bagi hasil tak pernah jelas. Papua dan Aceh mendapat 70 persen, tetapi provinsi lain hanya mendapat 30 persen.


Dalam dunia bisnis, Brand atau merk sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan. Makanya banyak perusahaan mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk dapat mempromosikan brand-nya ke masyarakat luas. Dengan kata lain agar brand-nya dapat menjadi Brand Equity.

Oleh karena itu sebuah daerah membutuhkan Brand yang kuat. Diakui atau tidak di sektor publik, dengan penerapan otonomi daerah dan semakin nyata serta meluasnya trend globalisasi saat ini, daerah pun harus saling berebut satu sama lain dalam hal:
- Perhatian (attention)
- Pengaruh (influence)
- Pasar (market)
- Tujuan Bisnis & Investasi (business & investment destination)
- Turis (tourist)
- Tempat tinggal penduduk (residents)
- Orang-orang berbakat (talents), dan
- Pelaksanaan kegiatan (events)

Secara definisi, City Brand adalah indentitas, symbol, logo, atau merk yang melekat pada suatu daerah. Sebuah pemda harus membangun Brand (brand building) untuk daerahnya, tentu yang sesuai dengan potensi maupun positioning yang menjadi target daerah tersebut. Banyak keuntungan yang akan diperoleh jika suatu daerah melakukan City Branding, antara lain:
  1. Daerah tersebut dikenal luas (high awareness), disertai dengan persepsi yang baik
  2. Dianggap sesuai untuk tujuan-tujuan khusus (specific purposes)
  3. Dianggap tepat untuk tempat investasi, tujuan wisata, tujuan tempat tinggal, dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan (events)
  4. Dipersepsikan sebagai tempat dengan kemakmuran dan keamanan yang tinggi
Brand atau merk yang legendaris dan mampu bertahun puluhan bahkan ratusan tahun, tidak muncul begitu saja. Tetapi mereka melakukan langkah-langkah yang terencana, jelas, dan berbeda dengan para pesaingnya. Demikian juga agar mempunyai Brand yang kuat, sebuah daerah harus memiliki karakteristik khusus yang bisa dijelaskan dan diidentifikasikan. Misalnya tampak fisik kota, pengalaman orang terhadap daerah tersebut, dan penduduk seperti apa yang tinggal di daerah tersebut.

Langkah-langkah yang dilakukan adalah :
  1. Mapping Survey; meliputi survey persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah baik dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang mempunyai keterkaitan dengan daerah itu.
  2. Competitive Analysis; melakukan analisis daya saing baik di level makro maupun mikro daerah itu sendiri.
  3. Blueprint; penyusunan cetak biru atau grand design daerah yang diinginkan, baik logo, semboyan, ”nick names”, ”tag line”, da lain sebagainya beserta strategi branding dan strategi komunikasinya.
  4. Implementation; pelaksanaan grand design dalam berbagai bentuk media, seperti pembuatan media center, pembuatan events, iklan, dan lain sebagainya.
Beberapa contoh kota di dunia yang dianggap memiliki City Brand yang kuat adalah New York, Paris, dan San Francisco. Mengapa kota-kota tersebut dianggap memiliki City Brand yang kuat ? Karena kota-kota itu memiliki kualifikasi yang harus dimiliki oleh suatu brand yang kuat, yaitu mempunyai sejarah, kualitas tempat, gaya hidup, budaya, dan keragaman yang menarik dan bisa dipasarkan.

Kesimpulannya, pemda-pemda di Indonesia, baik level provinsi, kabupaten, atau kota perlu melakukan City Branding, agar daerahnya bisa makin dikenal, sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya makin meningkat.

No comments:
Write comments

Terim Kasih Komentarnya. Semoga menyenangkan

KABAR TEMAN

ARSIP

*** TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG *** SEMOGA BERMANFAAT *** SILAHKAN DATANG KEMBALI ***
Komunitas Pendidikan Indonesia. Theme images by MichaelJay. Powered by Blogger.
Hai, Kami Juga Hadir di Twitter, like it - @iKOMPI25
Kirim Surat